Suara adzan yang terdengar lima kali dalam sehari, pemandangan silang menyilang kabel listrik, deru sepeda motor hilir mudik, warna-warni bunga kamboja di pinggir jalan, serta hewan-hewan piaraan seperti kucing dan ayam yang kesana kemari, menjadi keseharianku sejak kembali dari Amerika Serikat. Hal yang nampaknya biasa saja. Namun bagiku, inilah rumah.
![]() |
Frangipani-we can find anywhere in Bali |
Tidak sulit bagiku untuk kembali pada rutinitas yang biasa aku lakukan sebelum merantau ke negeri Paman Sam. Semua terasa normal seperti sedia kala. Apa mungkin karena aku hanya pergi selama sembilan bulan? Tidak cukup lama untuk merasa asing? Bisa jadi. Aku bersyukur aku tidak begitu mengalami reverse culture shock. Aku menikmati hari-hariku di rumah bersama kedua orang tuaku dan kucingku, Panda. Kadang beberapa anggota keluarga yang lain datang berkunjung dan kami mengobrol bersama. Hal yang kami bicarakan pun beragam. Ada yang penasaran dengan kehidupanku selama di Amerika Serikat. Ada pula yang memberikanku beragam informasi mengenai negeri ini yang aku lewatkan.
Apa yang aku rasakan setelah kembali ke Indonesia? Apakah ada perubahan yang signifikan?
Aku akui bahwa sembilan bulan di Amerika Serikat memberikan beberapa perubahan dalam caraku melihat Amerika Serikat dan Indonesia. Ternyata pengalaman tinggal di sana menjadi sebuah pelajaran yang merendahkan hati (humbling). Aku merasa bersalah dengan pemikiranku terdahulu yang menganggap bahwa kuliah di luar negeri terutama dengan beasiswa akan membuat orang merasa lebih baik dan keren dari orang lain. Betapa naifnya diriku ini! Mungkin aku berpikiran demikian karena aku terlalu terpaku dengan apa yang terpampang di media sosial. Kita semua tahu bahwa sebagian besar yang kita lihat di media sosial adalah yang bagus-bagus saja. Padahal galeri media sosial hanya menunjukkan sebagian kecil dari apa yang sebenarnya terjadi.
Masih ingat dengan tagar kabur aja dulu yang sempat viral beberapa bulan yang lalu? Berbagai narasi mengenai betapa hidup di luar negeri jauh lebih baik dari tinggal di Indonesia bertebaran di berbagai media sosial. Beragam negara dibanding-bandingkan dengan tanah air. Ada pula yang menyeimbangkan narasi tersebut dengan menjabarkan berbagai tantangan yang diaspora Indonesia alami selama tinggal di luar negeri. Saat membaca cuitan-cuitan tersebut di thread yang terpikir olehku adalah mereka semua memiliki poinnya sendiri. Aku bukan penggemar kabur aja dulu namun aku sendiri tidak menentang ide tersebut. Aku mengambil sikap netral karena keputusan orang lain untuk meninggalkan atau menetap di negeri ini bukanlah urusanku. Namun, ada satu pelajaran berharga yang aku dapatkan setelah tinggal di AS yaitu setiap negara memiliki plus minusnya masing-masing. Rumput tetangga memang akan selalu terlihat lebih hijau.
![]() |
Lotus - I never see it in Btown |
Indonesia bukan negara yang sempurna dalam berbagai hal. Tetapi bukannya memang tidak ada negara yang sempurna? Bahkan negara sekelas Amerika Serikat dan Jepang pun memiliki permasalahannya sendiri. Saat berada di Amerika Serikat aku dimanjakan dengan berbagai fasilitas umum yang bisa aku nikmati seperti perpustakaan dengan koleksi yang lengkap, akses gratis ke museum, trotoar yang nyaman untuk berjalan kaki, lingkungan dan alam yang bersih, pihak keamanan yang bisa dipercaya, dan beberapa kemudahan lainnya. Namun aku tidak bisa memungkiri bahwa negara adidaya ini memiliki area yang perlu mereka perbaiki. Rasa aman tidak aku rasakan saat aku bepergian ke pinggiran kota. Banyaknya gelandangan, penggunaan narkotika di tempat-tempat umum, aturan yang melegalkan senjata api, dan ICE yang menyasar mahasiswa internasional menjadi isu yang mengganggu kenyamananku selama di AS. Untungnya aku tidak mengalami rasisme dengan identitasku sebagai seorang Asia muslim. Aku masih beruntung karena Bloomington dihuni oleh banyak warga asing yang berkuliah di IU. Hal ini adalah sebuah kemewahan karena tidak semua wilayah di AS ramah dengan warga negara lain.
Membandingkan hidup di Indonesia dan negara lain tidak akan ada habisnya. Tinggal di Indonesia pun jelas memiliki banyak sekali permasalahannya terutama yang berkaitan dengan pemerintah. Aku sendiri tidak memiliki solusi akan hal tersebut karena aku bukan ahlinya. Namun, itu bukan berarti Indonesia tidak memiliki sisi positif yang layak untuk dijadikan tempat tinggal. Pengalaman mengalami empat musim di Amerika Serikat sejujurnya membuatku bersyukur Indonesia adalah negara tropis dengan dua musim. Awalnya aku berpikir bahwa tinggal di negara dengan empat musim itu menyenangkan. Beberapa kali aku menulis tentang betapa cantiknya musim gugur dengan daun-daun keemasannya, musim dingin yang magis, serta musim semi dengan bunga-bunga yang berwarna-warni.
Hanya saja, di balik kecantikan semua itu sebenarnya aku tidak betah. Aku selalu kedinginan sepanjang waktu kecuali saat musim panas. Memang aku hampir tidak pernah sakit selama di Amerika Serikat karena kualitas udara yang baik. Namun secara mental, sekarang aku memahami mengapa depresi musiman itu nyata. Durasi hangatnya sinar matahari di Indonesia yang sepanjang tahun relatif stabil adalah sebuah kemewahan yang tidak aku rasakan selama musim gugur, dingin, dan semi. Hampir setiap hari aku mengeluhkan kedua telapak tangan dan kakiku yang selalu kedinginan. Aku tidak suka berlama-lama di luar saat suhu di bawah 10 C. Tetapi, berada di dalam rumah sepanjang waktu juga membuatku amat bosan. Belum lagi ditambah dengan berbagai badai yang bisa mengancam jiwa. Pusing kan? Memang. Makanya setelah kembali ke Indonesia, aku tidak pernah mengeluhkan panasnya sinar matahari lagi. Mungkin perihal musim dan iklim ini terdengar sepele. Ah gitu doang! Silakan alami sendiri dan rasakan bagaimana perbedaan iklim dan musim sangat mempengaruhi kondisi fisik, produktivitas, dan mental seseorang.
Sebenarnya ada banyak hal yang bisa dibahas terkait dengan plus minus tinggal di Indonesia dan di negara lain. Aku tidak akan membahas semua sisi karena tulisan ini akan menjadi amat panjang. Selain itu, aku bukanlah seorang ahli dalam hal kebijakan publik dan kenegaraan. Semua yang aku tulis di sini berdasarkan pengalaman pribadi dan opiniku sendiri. Apakah tulisanku terkesan menakut-nakuti? Aku pikir menjabarkan sisi lain yang aku rasakan dari tinggal di luar negeri bisa membantu untuk memberikan gambaran bagi kalian yang berencana untuk merantau di negeri lain. Aku merasa akan lebih baik jika kita melakukan riset yang menyeluruh mengenai plus minus tinggal di negara asing sebelum memutuskan untuk pindah ke sana. Pindah ke luar negeri hanya karena mengikuti trend atau FOMO bukanlah hal yang bijak. Apalagi jika sampai terkena penipuan beriming-iming kekayaan instan dengan bekerja di luar negeri secara ilegal. Entah sudah berapa jiwa melayang karena hal ini. Memang manusia cenderung untuk mudah sekali tertarik dengan negara asing karena foto dan video estetik yang muncul di beranda media sosial. Percayalah bahwa itu adalah hal yang nampak saja. Banyak hal-hal di luar media sosial yang sebenarnya tidak nyaman juga untuk dijalani. Walaupun begitu, aku percaya bahwa manusia memiliki kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Jadi, selama kita membekali diri dengan pengetahuan, berusaha, dan beradaptasi dengan baik aku pikir segalanya akan jadi lebih mudah.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Sejak kita masih di sekolah dasar dua peribahasa di atas sering diulang-ulang. Kedua peribahasa tersebut adalah pesan bagi kita semua untuk bisa mengendalikan diri di mana pun kita berada. Tidak ada tempat yang sempurna di mana segalanya sesuai dengan apa yang kita harapkan. Namun, itulah bagian dari kehidupan. Justru dengan berbagai tantangan yang ada kita memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik dan matang. Manusia memang ditakdirkan untuk merasakan kekecewaan dalam hidup termasuk dikecewakan oleh “tempat tinggalnya”. Kalau aku pribadi lebih memilih untuk jalani saja apa yang ada dulu. Mengeluh pun hanya akan memperburuk suasana. Walaupun peranku kecil dan dampaknya tidak signifikan dalam skala besar namun aku optimis ada yang bisa aku lakukan untuk kebaikan bersama.
Di luar sana masih banyak generasi muda di Indonesia yang peduli dengan negara ini dan melakukan usaha terbaik mereka untuk memperbaiki keadaan. Banyak di antara mereka yang menimba ilmu di dalam negeri dan di luar negeri dengan harapan ilmu tersebut akan bermanfaat serta memberikan kontribusi untuk Indonesia ke depannya. Aku sangat mengapresiasi dedikasi mereka. Memang usahanya sulit tetapi bukan berarti tidak mungkin dan berakhir sia-sia. Ada pula generasi muda yang menginisiasi berbagai gerakan positif melalui media sosial seperti gerakan peningkatan literasi dengan mengadakan kegiatan membaca buku bersama, gerakan cinta lingkungan dengan pengolahan sampah organik non organik dan reboisasi, serta penguatan industri kreatif. Aku berharap tindakan-tindakan baik besar dan kecil yang mereka semua lakukan bisa memberikan efek riak yang berkelanjutan demi membangun “rumah” yang lebih nyaman bagi semua orang. Ada rasa optimisme yang aku rasakan melihat berbagai gerakan yang diinisiasi oleh generasi muda kita. InsyaAllah, semua akan baik-baik saja. Optimis aja dulu!
Semoga tulisan sederhana ini memberikan beberapa perspektif bagi teman-teman sekalian mengenai plus minus sebuah tempat tinggal bernama negara. Jika kalian memiliki pendapat dan ingin membagikannya silakan tinggalkan komentar di bawah atau jika ingin berdiskusi mengenai hal ini denganku bisa melalui akun media sosial Instagram dan Thread. Akhir kata, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk berkunjung dan membaca tulisanku di sini. Sampai jumpa di tulisanku berikutnya!
Comments
Post a Comment