Awal bulan November 2024 ditandai dengan gugurnya dedaunan warna-warni sebagian besar pepohonan di Bloomington. Daun-daun coklat yang gugur, saat ini menjadi pemandangan sehari-hari hampir di seluruh sisi kota. Jadi ketika aku sedang berjalan di trotoar aku menginjak dedaunan dengan berbagai bentuk dan variasi warna coklat. Cantik sekali! Musim gugur sudah separuh jalan. Jadi, cuaca semakin tidak menentu. Ada hari di mana langit begitu cerah tetapi angin kencang melanda kota. Kadang hujan deras turun sepanjang hari dan malam. Tak jarang suhu udara terasa hangat dan matahari bersinar cerah. Musim gugur susah ditebak ternyata.
Hai, apa kabar? Aku baik-baik saja di sini. Aku harap kalian yang membaca tulisanku juga dalam keadaan baik dan sehat. Bulan November 2024 menjadi bulan ketigaku berada di Bloomington, Indiana, Amerika Serikat. Alhamdulillah, aku sudah terbiasa dengan rutinitasku sebagai pengajar BIPA di Hamilton Lugar School, IU Bloomington. Kelas Bahasa Indonesia level Intermediate berjalan dengan lancar. Keempat siswaku mengikuti pelajaran dengan baik dan mereka rajin sekali. Mereka saat ini sedang mempelajari desa-desa adat dan wisata yang ada di Indonesia. Untuk pertama kalinya di kelas mereka mempresentasikan hasil riset sederhana mereka tentang salah satu desa di Indonesia dalam Bahasa Indonesia. Bagaimana hasilnya? Mereka bisa lho! Mereka bisa menggunakan ekspresi dan apa yang mereka pelajari di kelas dengan baik dalam presentasi yang mereka lakukan.
Memasuki bulan ketiga hidup di Amerika Serikat bukan berarti segalanya menjadi lebih mudah karena sudah terbiasa. Aku justru merasa beberapa hal yang aku anggap remeh sebelumnya menjadi tantangan tersendiri saat ini. Salah satunya adalah perihal iman dan ibadah. Hidup sebagai seorang muslim di Bloomington tidak terasa sulit bagiku. Mahasiswa, dosen, dan staf cukup toleran. Aku tidak pernah diperlakukan buruk karena agama dan penampilanku sebagai hijabi. Aku sering berjumpa dengan sesama umat Islam saat berada di kampus dan sekitarnya. Saat berpapasan kami selalu bertukar salam. Bahkan ada dua orang asing yang dengan ramah mengucap salam padaku di dua kesempatan yang berbeda. Mereka dengan sopan mengajak berbincang sebentar tentang Islam dan Indonesia. Ternyata salah satu dari mereka adalah muallaf dan satu lagi pernah belajar Bahasa Arab dan Islamic Studies di IU. Selain itu, makanan yang disajikan di kampus ada pilihan halal dan vegan. Jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan kehalalan makanan. Ada juga masjid dekat tempat tinggalku di mana aku sholat Jumat di situ.
Bagiku sendiri tantangan terbesar mengenai iman dan ibadah justru datang dari orang-orang yang setiap hari berinteraksi denganku. Uniknya, sebagian besar FLTA yang bertugas di IU Bloomington adalah muslim. Hanya ada sedikit pemeluk kepercayaan lain seperti Budha, Kristen, dan Katolik. Kalian tahu pertanyaan pertama yang aku terima saat pertama bertemu mereka yang juga seorang muslim?
“Do you pray 5 times a day?”
“Do you observe Ramadan? Do you fast?”
Apakah kamu sholat 5 waktu dalam sehari? Apakah kamu berpuasa di bulan Ramadan? Dalam batinku, pertanyaan macam apa ini? Aku merasa pertanyaan tersebut aneh karena sholat 5 waktu dan puasa Ramadan adalah wajib bagi tiap umat Islam dan itu adalah standar. Jadi asumsiku adalah setiap orang Islam dari mana pun dia berasal harus sholat wajib 5 waktu dan puasa tanpa perlu dipertanyakan. Kalau pun ada umat yang tidak sholat dan puasa itu adalah urusan dia dengan Allah SWT. Kita perlu mengingatkan namun pada akhirnya semua kembali pada orang tersebut.
Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jawaban singkat yang ternyata cukup membuat mereka kaget. “Of course!” Aku merasa ini makin aneh. Kenapa kaget? Bukannya ini jawaban yang normal? Ternyata, hampir semua dari mereka tidak sholat 5 waktu dan puasa. Ada juga yang tidak bisa membaca Al Quran. Dan yang lebih anehnya lagi ada yang mengaku sebagai penganut Islam moderat dan dia minum minuman beralkohol. Hukum Islam moderat mana yang menghalalkan minuman keras? Aku baru menyadari bahwa akulah yang dianggap agak “berbeda” di kumpulan rekan pengajar bahasa asing ini karena normal bagi mereka untuk tidak sholat dan tidak puasa bahkan minum bir. Ada pula yang menganggap tidak apa-apa bersenang-senang di bar dan berpesta hingga tengah malam. Mindblowing!
Aku tidak pernah menganggap diriku alim atau sebagai muslim konservatif. Selama ini aku lebih banyak fokus ke ibadah yang wajib. Aku melaksanakan ibadah sunnah saat aku bisa meluangkan waktu. Aku membaca Al Quran secara rutin tetapi aku tidak menghafal surah-surah panjang. Aku juga tidak memiliki amalan tertentu. Aku tidak ikut kelompok kajian. Jadi kesimpulannya, aku melakukan yang standar saja. Aku beribadah untuk diriku sendiri bukan untuk jadi alim ulama atau apapun. Bare minimum lah kalau standar Islam di Indonesia. Nah, ternyata ketika tinggal di sini apa yang aku lakukan itu ukurannya bukan bare minimum lagi tapi sudah cukup maksimal. Karena lumayan sulit ternyata untuk menjaga sholat 5 waktu jika tidak benar-benar memiliki komitmen untuk itu. Alasannya itu tadi, bagi orang-orang muslim di lingkunganku tidak sholat adalah hal yang normal.
Aku tidak bermaksud untuk mengucilkan satu pihak atau menyalahkan mereka karena memang beberapa dari pemeluk Islam di sini tidak menerima pendidikan agama yang sesuai syariat dari keluarga mereka sendiri bahkan dari negara mereka. Ada yang berasal dari aliran islam yang berbeda jadi mereka memiliki pandangan sendiri mengenai ibadah. Ada juga yang memang orangnya tidak taat walaupun sudah mendapatkan ilmu agama yang memadai. Selama ini aku tidak pernah bermasalah dengan mereka mengenai ibadah. Setiap kali ada kegiatan bersama dan aku harus sholat di tengah acara, mereka cukup toleran. Jadi, aku bisa dengan mudah pergi dan beribadah. Hanya saja, ada beberapa momen di mana aku kesulitan untuk menjelaskan kepada teman yang berbeda agama saat mereka bingung lalu bertanya,
“Why are you praying and they are not?”
“Kenapa kamu sendiri kok sholat tapi temen muslim yang lain enggak?” Aku harus gimana? Bagaimana aku harus menjelaskan ini tanpa menyinggung teman muslim yang lain? Aku bisa saja ceramah selama satu jam mengenai kewajiban sebagai seorang muslim tapi ya gak mungkin. Aku tidak pernah menjawab pertanyaan tersebut di depan mereka. Aku hanya tersenyum lalu pergi.
Perihal ibadah, sudahlah. Aku tidak memahami jalan Islam mereka. Namun, perkara makanan mereka ternyata amat taat dengan aturan Islam. Kita semua tahu bahwa dalam Islam daging babi dan berbagai jenis olahan berbahan dasar daging babi hukumnya haram. Selain itu, hewan ternak seperti sapi dan ayam yang tidak disembelih secara Islam, dagingnya juga haram. Namun, aturan yang kedua ini memiliki kelonggaran di beberapa paham. Jadi sebenarnya tidak terlalu mengikat juga apalagi jika seorang muslim tinggal di luar negeri. Secara mengejutkan, mereka ternyata amat menjunjung tinggi aturan-aturan tersebut. Jadi ada salah satu rekan yang selalu membeli daging di toko bahan makanan yang hanya menjual daging halal. Orang ini adalah orang yang sama yang berkata padaku bahwa dia tidak sholat 5 waktu. Gimana bingung gak? Sholat 5 waktu yang wajib tidak dijalankan tetapi takut makan babi dan harus makan daging yang dipotong secara islam. Sholat wajib 5 waktu itu rukun islam yang kedua lho!
Di tengah-tengah berbagai paham berbeda dari rekan-rekanku tentang menjadi seorang muslim ini, ada aku dengan rutinitas ibadahku dan aturan islam yang aku jalankan. Sedihnya, aku merasa aku tidak memiliki rekan seiman dan sejalan denganku walaupun sebagian besar dari mereka juga muslim. Aku selalu menolak saat diajak jalan-jalan ke pesta, festival, atau pusat kota di malam hari karena aku tahu pasti kegiatan itu akan melibatkan minuman beralkohol. Mereka sering berkelakar seperti “It’s okay. You can just order juice or water.” Dalam hati, “Me a hijabi? In a bar or a club?” Seharusnya aku menjelaskan pada mereka bahwa seorang muslim tidak seharusnya berada di tempat-tempat seperti itu. Sayangnya, ada salah satu rekan muslim yang sudah biasa pergi ke bar dan club walaupun dia tidak minum-minuman beralkohol. Aku dilema dan bingung bagaimana harus menjelaskan aturan islam yang sudah ditegakkan oleh Rasulullah SAW dengan kenyataan yang harus aku hadapi. Jadi ya aku bilang saja bahwa aku tidak pergi ke bar atau klub malam saat diajak oleh mereka.
Aku rasa pengalaman yang aku alami juga mungkin dialami oleh sebagian besar orang islam dari Indonesia yang kuliah atau bekerja di luar negeri terutama di negara dengan islam sebagai agama minoritas. Menjaga aqidah dan ibadah itu tantangannya luar biasa. Aku sudah terbiasa menjadi minoritas karena selama ini aku dan keluargaku tinggal di pulau Bali. Namun, di Bali masih banyak komunitas muslim dengan paham dan rutinitas ibadah yang sama. Jadi, tidak sulit untuk beribadah dan menjalankan aturan agama. Di Bloomington ada cukup banyak orang Islam namun paham dan jenis ibadah yang dilakukan tidak selalu sama bahkan bisa jadi amat berbeda. Yang bisa aku lakukan adalah tetap menjalankan ibadah sesuai syariat Islam dan tetap terbuka dengan berbagai pendapat dan paham yang rekan sesama muslim jalankan. Aku tidak punya hak untuk menghakimi apa yang mereka lakukan karena ada berbagai faktor yang bermain di balik apa yang mereka lakukan dan percayai. Faktor-faktor itu bisa dibilang amat sistematis jadi ini bukan sekedar perkara mereka taat pada ajaran agama atau tidak. Aku tidak ingin membahas hal ini lebih dalam karena ini bisa menjadi sebuah penelitian yang memakan waktu lama untuk dipelajari. Jadi, kalian bisa riset sendiri jika penasaran ya.
Aku tidak menormalisasi meninggalkan sholat saat ada event di kampus. Tetapi memang hal ini menjadi tantangan tersendiri bagiku. Beberapa kali aku meninggalkan sholat karena aku tidak bisa meluangkan waktu untuk sholat di kala aku menjadi panitia kegiatan kemahasiswaan. Bahkan untuk menemukan tempat sholat yang aman bagiku di kampus IU Bloomington pun sulit sekali. Aku tidak berani sembarangan menggunakan ruang kelas untuk sholat karena aku takut mengganggu dan aku juga takut jikalau hal buruk terjadi padaku. Walaupun aku tahu IU dan Bloomington relatif aman untuk semua orang, aku tetap harus waspada karena apapun bisa terjadi. Aku selalu menggunakan ruangan supervisorku untuk sholat jika kepepet. Untungnya beliau jarang di kantor jadi aku bisa leluasa beribadah. Dalam hal meninggalkan sholat ini, aku mengakui dosaku. Seharusnya aku lebih tanggap dan disiplin mengenai ibadah saat ada kegiatan di kampus. Ampuni hamba-Mu ini Ya Allah. Amin.
Semoga apa yang aku tulis dan bagikan di sini bisa memberi kalian sedikit banyak perspektif tentang menjadi seorang muslim di Amerika Serikat terutama di Bloomington, Indiana. Kota ini aman bagi pemeluk agama Islam karena penduduknya memiliki sikap toleransi yang tinggi. Hanya saja jika kalian ingin rutinitas ibadah kalian tetap terjaga, kalian harus benar-benar disiplin dan berkomitmen. Install aplikasi jadwal sholat di gawai kalian supaya kalian tahu waktu sholat. Kalian hampir tidak akan mendengar suara adzan bergema di penjuru kota karena memang tidak ada. Di Bloomington sendiri ada masjid dekat IU namun adzan hanya terdengar di dalam masjid dan pada saat-saat tertentu saja. Semangat semua! Tenang saja. Jika kalian nanti mendapat kesempatan untuk kuliah, mengajar, atau bekerja di luar negeri dan mengalami hal yang sama lalu kalian berhasil menaklukkan tantangan iman ini, InsyaAllah keimanan kalian akan semakin kuat. Amin!
Who wouldn't fall for fall? |
My first Jumat prayer, Nov 08, 24 |
Islamic Center of Bloomington |
Comments
Post a Comment