Malang, 01 Okt. 19
Ada satu hal yang aku sukai
ketika membaca buku. Hal itu adalah tutup buku. Mungkin bagi sebagian orang
menutup buku bisa jadi menyebalkan atau menyedihkan karena itu artinya petualangan
sudah usai. Tamat. The End. Namun bagiku menutup buku adalah hal yang
menyenangkan. Kenapa? Karena itu berarti petualangan baru menunggu dan aku
tidak sabar untuk membuka lembar baru.
Bulan Oktober ini, aku
menutup bukuku tentang Kota Malang. Yup, aku sudah memutuskan untuk
meninggalkan kota yang telah aku tinggali selama 9 tahun ini. Rasanya masih
segar diingatan pertama kali memutuskan untuk pindah ke Malang di tahun 2010
demi mengejar ilmu di Universitas Brawijaya sampai akhirnya lulus di tahun 2014
lalu lanjut mengejar karir sebagai guru di LB LIA Malang hingga bulan September
2019. Wow, kalau dihitung 9 tahun itu lama juga ya tapi jujur aja aku yang
menjalaninya sebenarnya tidak merasa kalau selama itu.
Dalam bukunya yang berjudul Happiness Inside Gobind Vashdev
mengatakan “kelahiran dan kematian adalah awal dan akhir, tetapi yang penting
adalah apa yang ada di antaranya.” Apakah kalian setuju dengan pernyataan
tersebut? Aku sendiri sependapat dengan Bapak Vashdev. Kita dibentuk oleh apa
yang kita alami setelah kita lahir dan sebelum kita pergi meninggalkan dunia
ini. Semua yang telah terjadi selama 9 tahun membentuk siapa diriku sekarang.
Tidak terhitung lagi ada berapa jumlah kenangan menyenangkan bersama
temen-temen kuliah dan kantor yang kalau diinget-inget lagi rasanya kayak
kemarin padahal udah berlalu sekian lama.
Kejadian yang membuatku
harus menguras tenaga, pikiran, dan perasaan juga tidak sedikit. Berkali-kali
harus berurusan dengan ego orang lain dan diri sendiri. Sering kali mengalami
kekecewaan karena apa yang aku dapatkan tidak sesuai dengan apa yang ku
harapkan. Bingung harus ngapain di masa
depan nanti. Kehilangan diri sendiri karena harus selalu menuruti apa yang
orang lain inginkan. Gak sekali dua kali dikecewakan orang dengan ucapan atau
perbuatannya yang menurutku sudah keterlaluan. Mengingat semua itu masih
menyisakan perasaan sebel tetapi alhamdulillah sekarang lebih banyak bersyukurnya.
Terima kasih Tuhan aku bisa melihat ke belakang dan tersenyum sekarang.
Aku percaya bahwa tidak ada
yang namanya kebetulan. Segalanya terjadi karena sebuah alasan. Rasa sakit dan
pahit yang kita rasakan memiliki pelajaran yang mendewasakan. Seperti kata
pepatah pelaut yang kuat tidak terlahir di laut yang tenang. Aku tidak ingin
mendewakan segala yang baik dan mengutuk segala yang buruk. Aku yakin semua hal
yang terjadi sudah memiliki fungsi dan maksudnya masing-masing. Manusialah yang
memberikan label mana yang menyenangkan dan menyebalkan, mana yang baik dan mana
yang tidak. Semua yang terjadi selama 9 tahun ini sudah jelas hadir demi membantuku
untuk menjadi versi diriku yang lebih baik. Kebijaksanaan, kesabaran,
keikhlasan, keimanan, kecerdasan, kasih sayang, cinta kasih, dan syukur menjadi
beberapa hal dari sekian banyak pelajaran hidup yang ku dapatkan sepanjang 9
tahun ini.
Mengenali diri sendiri
menjadi highlight bagiku. Pengalaman hidup mandiri selama 9 tahun telah membuka
mataku tentang apa yang penting bagiku dalam hidup ini, memberikanku jawaban
dari segala pertanyaan mengenai eksistensi, dan menunjukkan pilihan apa yang
bisa ku pilih. Apakah kalian tahu bahwa hal terbaik menjadi seorang manusia
adalah kita diberkahi berbagai pilihan oleh Yang Kuasa? Banyak yang pengen jadi
seperti malaikat. But hey, malaikat hanya punya satu pilihan selama mereka
hidup lho. Masih enakan manusia kan? Namun sayangnya, pilihan tersebut
seringnya dibatasi oleh ekspektasi yang orang lain atau diri kita sendiri tetapkan.
Nietzche pernah berkata bahwa keyakinan adalah penjara. Keyakinan orang lain
tentang apa yang harus kita lakukan dalam hidup ini seringnya membuat kita
menjadi seorang tawanan. “Pokoknya kamu
harus sekolah di sekolah atau kampus yang bagus biar nilai kamu bagus terus
nanti kerja di perusahaan gede atau jadi PNS biar dapet duit banyak dan dapet
pensiunan. Kalau udah kerja terus nanti nikah pas umur 25. Punya anak. Punya rumah,
mobil dan seterusnya dan seterusnya.” Pernah mendengar pernyataan di atas.
Udahlah... kaum millenials pasti udah bosen dan muak denger yang beginian.
Aku bebas memilih apa yang
ingin aku lakukan dan jalani dalam hidupku. Aku bebas untuk memilih kapan akan
menikah dan menikahi siapa. Aku bebas untuk membaca buku apa saja. Aku bebas
untuk tidak menuruti ekspektasi yang orang lain katakan. Aku bebas membuat
standar kebahagiaanku sendiri. This is my life and I’m the one who decides. Bebas
di sini dalam arti yang baik lho ya. Bebas bukan berarti seenaknya sendiri.
Kita juga harus tetap bertanggung jawab atas apa yang kita pilih untuk
dilakukan dan jalani. Karena bagaimanapun juga apa yang kita lakukan pastinya
tetap memiliki dampak baik atau buruk pada diri sendiri dan orang lain. Jadi
tetep ya buatlah standarmu dengan mengindahkan norma dan nilai moral yang
berlaku.
Aku merasa memiliki mindset
seperti ini membuatku lebih fleksibel dengan hidup. Tidak perlu membebani diri
dengan ekspektasi. Aku tidak perlu kehilangan diriku lagi karena aku hidup dengan
standar yang aku buat sendiri dan tentunya standar tersebut sudah aku sesuaikan
dengan kebutuhan dan pertimbangan lain. Aku menjadi lebih toleran pada orang
lain yang berbeda denganku karena aku tahu mereka juga memiliki standar mereka
sendiri. Sebelumnya bagi sebagian orang karakterku sulit sekali untuk dimaklumi
karena betapa idealis, detail, dan perfeksionisnya diriku. Aku sering
menetapkan standarku pada orang lain yang bekerja sama denganku. Sayangnya
sering sekali ini berakhir dengan buruk sampai aku sendiri kehilangan kesabaran
dan emosi. Setidaknya dengan pemikiran seperti ini aku tidak lagi mengorbankan
perasaan orang lain dan perasaanku demi memenuhi standar pribadi.
Yak, jadi begitulah teman-teman.
Saya merasa menjadi manusia bebas yang bertanggung jawab setelah menjalani
hidup selama 9 tahun di Malang. Kalau Nietzche bilang manusia unggul adalah
manusia yang menjadi tuan dari dirinya. Rumi berkata manusia adalah pancaran
ilahi. Aristoteles bersabda kita adalah apa yang kita lakukan berkali-kali.
Menurutku manusia bisa jadi apa saja termasuk yang disebutkan para filsuf di
atas. Sekarang tergantung manusianya sendiri mau pilih yang mana. Bukankah hidup
manusia itu sungguh menyenangkan karena ada banyak pilihan yang tersedia?
Aku merasa aneh menuliskan
ini semua dengan Bahasa Indonesia karena ya kalau kalian mengikuti Mind BoX
sejak dulu, aku lebih sering menulis dengan Bahasa Inggris memang. Ini bukan
berarti aku tidak cinta Bahasa Indonesia lho ya. Hanya saja aku lebih bisa
mengekspresikan diriku lebih baik dan sesuai dengan yang ku inginkan ketika aku
menulis dengan Bahasa Inggris. Jadi mohon pengertiannya teman-temanku... Terima
kasih Kota Malang yang ku cinta. Terima kasih Universitas Brawijaya. Terima
kasih LB LIA Malang. Terima kasih semua atas segalanya. Mohon maaf atas segala
kesalahan saya di masa lalu. Semoga di masa depan kita bisa bersua kembali.
Amin...
Saya pamit.
Kok sedih ya bacanya. Jujur beberapa hari yang lalu juga ingin buat tulisan pamit seperti ini untuk Jakarta. Baru mau nulis paragraf pertama aja udah mau nangis, ga jadi nulis deh.
ReplyDeleteBerarti kita sisipan mbak. Aku baru mau Balik Malang, while you are vice versa.
Kok aku membaca tulisan disini ada sosok kuat gitu lho, mau ninggalin Malang tapi kuat.
Wah waktu perpisahan sama temen-temen langsung ambyar kok mbak. Nangis sejadinya. Antara gak rela tapi ya excited juga mau pulang. Terima kasih sudah berkunjung ke Mind BoX.
Delete