Malang, 31 Januari 2018
Everyone
is doing their best. Itu adalah hal pertama yang terlintas di benakku saat aku
keluar rumah. Semua orang sedang berusaha menjalani hidup mereka dengan
menekuni profesi masing-masing. Ada bapak-bapak ojek online sedang istirahat
melepas penat dan beberapa sedang menunggu calon penumpang. Ada petugas
kebersihan mengumpulkan sampah di tengah teriknya matahari. Ada pula bapak tua
penjual jipang keliling yang baru saja turun dari angkot dengan barang
dagangannya yang masih menumpuk. Banyak lagi yang ku lihat sedang berjuang
untuk menghidupi diri dan orang-orang yang menunggu di rumah. Berjuang untuk
apa yang kita sebut sebagai hidup.
Takdir
dan nasib memang sudah tertulis. Apapun yang sudah, sedang, dan akan terjadi,
semua berdasarkan keputusan-Nya. Namun, apakah itu berarti manusia harus
berdiam diri tanpa berusaha untuk menjalani hidup dengan lebih baik? Ada salah
satu ayat suci Al Quran yang memiliki arti Tuhan tidak akan mengubah nasib
suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubahnya. Ayat tersebut menjadi
acuan bagi semuanya untuk berusaha dan berjuang mencari nafkah, meraih
cita-cita, mengganti kemalangan dengan keberuntungan, dan mengubah jalan hidup
ke arah yang lebih baik.
Aku
tahu semua sedang berusaha keras dan sebaik-baiknya. Dan itu semua buatku
merasa kecil. Tak dapat dipungkiri kadang ada perasaan bahwa usahaku belum
cukup keras. Apa yang aku perjuangkan itu semua aku lakukan dengan setengah
hati. Pasti ada alasan dibalik setiap usaha keras. Seringnya alasanku hanya
karena mengejar ego pribadi tanpa ada sangkut pautnya dengan manfaat bagi orang
lain.
Melihat
semuanya sedang bekerja keras demi kehidupan orang-orang yang sedang menunggu
mereka di rumah membuatku merasa bahwa usaha mereka patut dihargai. Mungkin suatu
kali secara sengaja atau tidak sengaja kita pernah tidak mengapresiasi kerja
keras orang lain dengan berkata atau berpikir bahwa pekerjaan mereka tidak “sekeren”
pekerjaan kita. Hanya karena jabatan yang saat itu kita dapat adalah sebagai
manajer atau orang penting di perusahaan lantas kita merasa pekerjaan sebagai
petugas kebersihan adalah pekerjaan rendahan. Apakah kita berhak membuat
kesimpulan sedemikian rupa? Padahal sudah jelas di mata Tuhan yang terpenting
adalah kita mencari rejeki dengan cara yang halal tak peduli jenis pekerjaan
apa yang kita lakukan. Bentuk pemikiran dan sikap menderajatkan orang dari segi
pekerjaan inilah sebagai salah satu contoh tindakan tidak menghargai kerja
keras orang lain.
Tindakan
lain yang mencirikan sikap tidak menghargai kerja keras orang lain adalah
bertindak tidak jujur. Dan ini aku alami sendiri. Suatu ketika aku naik angkot
dari perpustakaan Kota Malang menuju ke kos. Waktu itu aku duduk di sebelah
supir karena di dalam angkot sudah penuh. Sebenarnya penumpangnya tidak begitu
banyak. Hanya saja ada seorang bapak tua duduk dekat pintu sambil membawa
tumpukan jipang yang memenuhi sebagian ruang dalam angkot. Karena itulah aku
memilih untuk duduk di depan yang kebetulan juga sedang kosong.
Bapak
tua tersebut turun di depan mini market. Dia menurunkan tumpukan jipangnya dan
sebuah tongkat bambu yang biasa digunakan untuk memanggul jualan. Dari situ aku
tahu bahwa bapak tua itu pedagang jipang keliling. Alhamdulillah si bapak
terlihat bugar dan sehat. Beliau juga membantu seorang ibu penjual jamu
keliling untuk naik ke dalam angkot. Beliau bertutur kata dalam bahasa Jawa
yang sopan saat sedang bicara dengan penumpang angkot lainnya dan si supir
angkot.
Ketika
hendak membayar ongkos si bapak mengeluarkan uang kertas Rp 10.000. Masih ada
beberapa uang lagi di dompetnya. Syukurlah si bapak masih punya uang. Paling tidak
dia ada bekal. Namun, saat si bapak mendapatkan kembalian ada satu kejadian
yang bikin aku tak habis pikir. Bapak sopir angkot hanya memberi uang Rp 2000 pada
si bapak. Padahal seharusnya uang kembalian itu sebesar Rp 6000 mengingat tarif
angkot di Kota Malang jauh dekat sebesar Rp 4000. Si bapak tua tidak mengecek
lagi kembaliannya dan langsung berkata terima kasih dengan tulusnya. Jujur aku ingin
sekali protes waktu itu. Sayangnya aku tidak berani mengingat aku berada di
sebelah sopir dan aku takut jika sesuatu yang buruk terjadi padaku apalagi aku
sendirian. Ya Allah, sama-sama berjuang keras mencari nafkah walaupun dengan
cara yang berbeda tapi ada aja yang masih dengan teganya main curang
memanfaatkan ketidaktahuan dan kebaikan orang lain.
Karena
tidak bisa berbuat apa-apa, dalam hati aku hanya bisa berdoa supaya rejeki si
bapak tua dilipatgandakan dan diganti dengan yang lebih baik. Semoga si bapak
supir angkot juga segera tobat dan tidak melakukan kecurangan lainnya. Dari
pengalaman ini aku belajar bahwa tingkat apresiasi atas usaha keras orang lain
masih harus ditingkatkan. Tuntutan ekonomi tidak bisa dijadikan alasan untuk
melakukan kecurangan demi meraup keuntungan. Apalagi mencurangi rakyat kecil
yang untuk makan sehari-hari saja harus bekerja seharian dan penghasilan itu
pun pas-pasan. Sangatlah menyedihkan jika hal seperti ini kerap terjadi. Dimana
hati nurani berada?
Melalui
tulisan ini aku harap kita semakin sadar akan pentingnya menghargai upaya keras
orang lain dalam hal baik apapun itu. Mari berhenti merendahkan pekerjaan orang
lain yang berbeda dengan kita. Mari lebih sering mengucap 3 kata ajaib; tolong,
maaf, dan terima kasih sebagai salah satu wujud apresiasi kita pada mereka.
Mari saling mengingatkan untuk menghindari perbuatan curang yang dapat
merugikan orang lain. Mari buat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik dengan
menyebarkan kebaikan kepada siapapun itu terutama bagi mereka yang sedang
berjuang keras demi hidup. Semoga kerja keras kita semua dibayar oleh
keberkahan dan anugerah dari Yang Kuasa. Amin.
Comments
Post a Comment