Malang, 16
Desember 2017
“Adakah suatu tempat
di dunia ini yang tak mengenal konsep waktu? Tempat dimana masa lalu tak akan
menghantui dan masa depan tak mampu menakuti diri. Dunia impian dimana masa
kini tidak mengingkari apa yang diinginkan hati.” ucapku. Tak ku harapkan jawaban
langsung darinya karena aku sudah tahu jawaban apa yang kan ku dapat. Ku
pandangi halaman 195 novel Brida karya Paulo Coelho tanpa benar-benar ku baca
apa isinya. Pikiranku tak ada disana.
“Sebenarnya apa itu
konsep waktu menurutmu? Matahari terbit sampai matahari terbenam? Lahir lalu
kemudian berakhir? Hidup lalu mati? Kalau memang seperti itu, dunia impian yang
kamu cari bukan disini. Mungkin kamu bisa menemukannya ketika waktumu di dunia
ini sudah berakhir. Kamu harus mati.”
“Benar kan?” pikirku.
“Lalu, bagaimana caranya supaya tak terjebak oleh waktu? tanyaku lagi. “Ketakutan
masa lalu? Keraguan masa depan? Kebimbangan untuk menjalani masa kini? Aku
tidak tahu harus bagaimana. Semua terlalu membingungkan.” Aku merasa agak menyesal
dengan nada suaraku yang naik. Sudahlah, aku lelah.
Ia diam sejenak. Hanya
memandangi cangkir kelam dengan isi yang masih setengah. Ia sandarkan punggung
tegapnya pada kursi kayu hitam. Menghela napas. “Sudah, jalani saja dulu. Tak
ada gunanya mempertanyakan hal-hal semacam ini. Tak ada yang tahu jawabannya.
Hanya waktu itu sendiri yang mampu menjawab cepat atau lambat. Kamu tahu itu
kan? Sebenarnya apa yang mengganggu benakmu? Kamu takut? Takut salah kan?”
Here
we go again. I
can’t hide it from him. “Ya! Aku takut. Aku takut salah jalur. Salah
mengambil keputusan. Menyesal. Waktu seakan mengejar-ngejar aku tuk segera
menentukan apapun itu pilihan mengenai hidup. Dan aku...aku tidak tahu. Selama
ini aku hanya melakukan apapun yang aku pikir buatku merasa senang dan bahagia.
Tetapi, itu hanya untuk sementara bukan jangka panjang.” Hampir saja aku
membanting novel di tanganku ke atas meja. Ku lipat lenganku dan ku pandangi
langit-langit berhiaskan lampu gantung. Bahkan lampu gantung kuno pun membuatku
kesal karena mengingatkanku akan almarhumah nenek dan kematiannya yang
mengenaskan.
“Bentar-bentar... yang
mengejar-ngejar kamu itu siapa atau apa? Yakin itu waktu? Atau orang-orang di
sekitar kamu yang menuntut ini itu?”
Aku diam. Tahu
jawabanku. Tetapi terlalu takut tuk bersuara. Terlalu malu tuk mengatakan yang
sebenarnya.
“Kamu salah kalau
menyalahkan waktu. Waktu akan terus ada. Terus berjalan walau kamu berusaha
untuk menghindarinya. Waktu memberimu banyak kesempatan untuk belajar, mencoba
hal-hal baru, menggapai sesuatu, jatuh cinta, dan segalanya. Kamu seharusnya
bersyukur masih memiliki waktu. Banyak pintu kesempatan yang bisa kamu buka.”
“Lalu, kalau ternyata
jalan yang aku pilih salah dan aku menyesalinya bagaimana? Masa depanku menjadi
taruhannya. Dan masa lalu yang tidak menyenangkan akan selalu menghantuiku.”
Ia diam. Meraih
novelku lalu membukanya. Diambilnya pembatas buku berwarna merah dan ditunjukkannya
padaku lekat-lekat di depan mata. “Nih, yang kemarin posting ginian di
Instagram Story siapa ya? Coba dibaca lagi.”
Tidak
ada hal yang benar-benar salah. Bahkan jam rusak pun benar dua kali dalam
sehari – Paulo Coelho
“Membuat kesalahan itu
bukan akhir dari dunia. Kesalahan adalah pembelajaran. Kalau kamu takut membuat
kesalahan, ya kamu tidak akan belajar. Tidak akan maju dan berkembang menjadi
lebih baik. Tidak ada yang namanya kesalahan mutlak. Di setiap kesalahan pasti
ada hikmahnya. Lagian kan kamu belum mencoba, sudah tahu itu salah dari mana
coba?”
He
is right. “Entahlah, namanya juga takut. Terus sekarang
bagaimana?”
“Stop blaming the time
and just go with the flow! Whatever that makes you happy, do it! No matter what
people say, just ignore them.”
“Can I?”
“Can you?”
“Kamu enggak waras.” ucapku
menahan rasa geli dalam perut.”
“Emang kamu bakal suka
sama aku kalau aku waras?”
“Ya enggak juga sih.
Haha.. Apaan coba?”
Dan obrolan pun
berlanjut membahas hal-hal yang tidak penting, agak penting, dan penting
sekali. Adu debat juga sempat mengganggu orang-orang di sekitar kami. Not
everyone is happy. But, we are.
Comments
Post a Comment