Malang, 18
November 2017
Sering ketika masih
kecil, aku membayangkan “Kira-kira kalau aku sudah berusia 25 tahun, aku bakal
jadi kayak apa ya? Apa yang akan aku lakukan? Apakah aku masih tinggal bersama
kedua orang tuaku di Bali? Apakah aku sudah menikah dan memiliki keluargaku
sendiri? Anak? Seperti apakah penampilanku? Apakah aku masih pendek?” Melihat
diriku yang berusia belasan tahun dan membayangkan hal-hal seperti itu saat
ini, aku jadi geli sendiri. Kenapa? Ya karena apa yang aku bayangkan dulu
ternyata tidak sama dengan apa yang aku alami saat ini, ketika aku sudah
berusia 25 tahun.
Melihat kembali
tahun-tahun yang telah aku lewati selama ini, rasanya seperti menonton film
bisu. Gambaran dan angan-angan masa kecil. Impian dan harapan yang terwujud dan
pupus. Tangis dan tawa yang sudah ku bagi dan ku dapat. Semua berputar dan
menyadarkanku sudah banyak yang aku alami selama 25 tahun aku berada di dunia.
Ternyata semua terasa berbeda dengan apa yang selalu aku bayangkan. Mungkin
kalian merasakan yang sama denganku jika kalian berusaha mengingat apa yang
dulu kalian angan-angankan saat kalian masih kecil dan apa yang kalian alami di
kenyataan.
Sebagai anak yang
dibesarkan di lingkungan muslim dengan adat melayu yang kental, banyak ekspektasi
yang keluarga dan masyarakat suku melayu letakkan padaku ketika aku mencapai
usia 20an. Bisa ditebakkan? Salah satunya dan yang paling jadi obrolan apalagi
kalau bukan Getting Married atau Menikah.
Aku sadar benar dengan
ekspektasi ini sejak aku masih kecil. Banyak gadis dan jejaka di lingkungan
rumahku menikah saat mereka berusia 20 hingga 25 (bahkan banyak yang masih usia
belasan). Aku pun sempat berandai-anda untuk menikah saat aku berada di usia
antara 20-24. Namun, ketika aku menginjak usia 20an, ekspektasi tersebut aku
letakkan di prioritas paling akhir. Kenapa? Selain karena memang belum bertemu
dan berjodoh dengan “the one”, ada berbagai hal lain yang sebenarnya ingin aku lakukan
sebelum aku melangkah kesana.
Berada di usia 25
dengan segala yang dunia dan hidup tawarkan, membuka cakrawala berpikirku dan
kesempatan baru. Segala yang terjadi baik konflik maupun cerita inspiratif,
membuatku selalu penasaran. Apalagi yang bisa aku pelajari? Kemungkinan apalagi
yang akan terkuak? Buku apalagi yang bisa aku baca? Tempat apalagi yang bisa aku
kunjungi? Siapa lagi yang akan aku temui? Apa yang bisa aku lakukan untuk
diriku sendiri dan orang lain?
Berteman dengan
kesendirian dan tenggelam dalam pemikiran dan musik menjadi rutinitas yang ku
rasa membuatku lebih mengerti akan diriku sendiri, apa yang bisa aku lakukan,
dan aku inginkan. Aku jadi sangat menghargai waktu yang aku alokasikan demi
sekedar duduk diam bertemankan alunan melodi, buku, dan laptop untuk menulis. Waktu
luang yang aku miliki juga aku habiskan untuk melatih diriku bermain ocarina dan flute, alat musik yang sudah menemaniku beberapa tahun terakhir. Sewaktu
kecil dulu aku tidak memiliki banyak kesempatan untuk bermain musik karena
terlalu sibuk dengan sekolah. Aku sangat bersyukur dewasa ini aku diberkahi
waktu untuk melakukan apa yang sejak dulu aku inginkan, bermain musik.
Dapat menghabiskan
waktu bersama teman-teman dekat menjadi hal yang sangat berharga di usiaku
kini. Di kala sebagian besar teman-teman seperjuangan merantau ke kota yang
jauh atau sudah memiliki kehidupan baru bersama keluarga kecil mereka, aku
merasa sangat bersyukur masih memiliki beberapa teman dekat yang masih
menemaniku di kota perantauan ini. Meet up dan jalan-jalan bareng menjadi
agenda yang tidak ingin aku lewatkan sekali pun. Berbagi cerita, canda, tawa,
dan tangis bersama di cafe sampai lupa waktu menjadi pelepas rindu dan beban
rutinitas. Aku sangat bersyukur masih memiliki mereka yang dengan ikhlas
mendukung satu sama lain, mau berbagi dan mengerti tanpa memandang siapa diri.
Rutinitas memang
membuat penat dan suntuk. Tidak jarang mengeluh menjadi kebiasaan apabila
dirasa terlalu lelah. Wajar memang. Namun, rasanya itu hal yang kurang pantas
dan aku sadari itu. Banyak orang yang berharap berada di posisi dimana kita
berada saat ini. Sudah seharusnya, bersyukur menjadi keharusan dan pelajaran
seumur hidup. Inilah yang aku sadari saat menginjak usia 25. Syukur, syukur,
dan syukur tiada henti atas segala yang telah Tuhan anugerahkan. Memberikan
usaha dan raih yang terbaik demi kebaikan diri sendiri dan orang lain menjadi
salah satu perwujudan syukur yang sedang aku usahakan. Entah apakah aku bisa.
Untuk sekarang aku hanya ingin melakukannya dan biarlah waktu yang kan
menunjukkan hasilnya.
Waktu terasa amat
berharga bagiku kini. I’m twenty five and I like it! Berbagai kemungkinan
terbuka lebar dan muncul di depan mata. Rasa ingin tahu benar-benar buatku
ingin mengeksplor semua. Aku sadar saat-saat seperti tak akan bertahan
selamanya. Karena itu, aku sangat bersyukur dan berusaha untuk memanfaatkan
waktu ini dengan baik.
There will come time
when I have enough and want to change my life direction with the one who is
destined for me. Until that time comes, I’ll patiently wait and set aboard to
uncover the mysterious possibilities this life has.
The Njlorots :p |
Garlic Breed :D |
Comments
Post a Comment