Malang, 22
September 2017
Masih ingatkah kalian
tentang seorang gadis yang pernah ku ceritakan sebelumnya? Gadis kecil yang
sering muncul dalam mimpi kelam malam-malamku. Entah sudah berapa malam ku
lalui dengan tangisan, keringat dingin, dan napas memburu. Entah sudah berapa
kali aku gagal menghapus wajah menyedihkan itu. Aku telah kehilangan jejak
waktuku. Aku kehilangan diriku.
Ia masih berada di
sana, di desa yang seharusnya ia sebut rumah. Si gadis kecil tumbuh dewasa
dalam kesunyian. Teman? Sahabat? Ia tidak percaya pada paham ikatan
antarmanusia yang bernama pertemanan. Setidaknya ia pernah percaya. Namun,
kenyataan telah mengubah segalanya. Hanya buku dan musik menjadi sahabat
sejatinya.
Pernahkah kamu merasa
bahwa tidak ada seorang pun di dunia yang mampu memahami apa yang kamu pikirkan
dan rasakan mengenai pola, arti, dan kaitan berbagai hal yang hidup, mati, dan
kekal di jagat raya ini? Ketika kamu berbicara tak ada yang menjawab karena tak
ada yang mengerti. Ketika kamu berargumen tak ada yang bersuara karena kamu tak
berada di dunia yang mereka pahami. Ketika kamu mengutarakan kebenaran, mereka
justru menghindar dan menganggapmu gila. Itulah yang gadis kecil itu rasakan.
Bisakah kamu merasakannya? Dapatkah kamu membayangkannya? Tak ada yang mengerti
dirimu. Tak ada yang berbicara bahasamu.
Ia berbeda memang.
Seperti yang pernah aku ceritakan dulu. Ia tahu. Ia melihat. Ia merasakan. Ia
membaca, lebih dari yang orang lain kira. Seperti seorang super hero bukan? Ya,
super hero yang kehilangan arti eksistensi dalam lingkaran hidupnya.
Si gadis kecil
terbiasa dalam kesendirian. Si gadis kecil telah beradaptasi dengan kenyataan
bahwa ia tak memiliki “rumah”. Namun si gadis kecil masih tak sanggup untuk
berdamai dengan gejolak yang berteriak dalam jiwanya. “Apa yang salah denganku?”
jeritnya. “Apa yang membuatku berbeda?”. “Harus ku sebut apa yang ku miliki
ini? A gift or a curse?”
Tak terhitung lagi
sudah berapa kali si gadis kecil kehilangan suara dan kejernihan pandangannya
saat malam tiba. Tak tahu lagi harus bagaimana ketika firasat tajam menghujam
jiwa. Mengatakan bahwa hal buruk terjadi atau seseorang dalam penderitaan yang
menyesakkan. Ia tahu tetapi tak mengerti apa atau siapa itu. Tak ada teman
untuk berbagi. Tak ada jiwa yang mengerti. Tak mampu menghadapi sendiri.
Tetapi, tak tahu harus kemana lagi.
SI gadis kecil hanya
mampu berdoa dan menyerahkan dirinya pada Yang Kuasa. Ia lelah bertanya.
Mengeluh hanya sia-sia. Jawaban entah berada dimana. Kini ia dengan sabar
menanti pertanda yang akan menunjukkan jalan keluar. Kesabaran yang luar biasa
dan kekuatan untuk menghadapi segalanya, itulah yang membuatku mengagumi si
gadis kecil. Aku tahu ia hampir menyerah. Tetapi ia tak kehilangan harapan.
Seseorang di luar sana
membawa apa yang selama ini gadis kecil cari. Seseorang yang akan mampu
menghapus segala tanda tanya. Seseorang yang akan mampu menarik garis
penghubung semua titik yang tersebar. Satu orang yang akan melengkapi puzzle
yang ia berusaha temukan. Ia percaya satu orang itu juga sedang mencarinya. Sama
seperti ia yang sedang berjuang mencari, menemukan, dan ditemukan.
Gadis kecil bersujud
dan berbisik pada bumi. Entah apa yang ia katakan. Namun aku yakin, apapun itu,
ia mengalir hingga ke langit tempat dimana Yang Satu berada.
Sendiki-Malang |
PS : This writing is personally a tribute for all INFJs, Empaths, Old Souls, and HSP out there. I hope it represents what you guys feel.
Postingan ini terkait dengan Kelam Sebelum Lelap
Postingan ini terkait dengan Kelam Sebelum Lelap
Comments
Post a Comment