Malang, 30
Maret 2017
Surabaya!
Oh Surabaya! Oh Surabaya!
Kota
Kenangan...Kota Kenangan...Kota Kenangan...
Jujur aku cuma inget
dua lirik lagu di atas dan aku enggak pernah tahu ini lagu lengkapnya kayak
apa. Hehe maklumlah. Kan aku aslinya dari pulau tetangga sebelah timur. Tapi
aku setuju banget lho sama lagu di atas. Bagiku Surabaya punya banyak kenangan.
Jadi keinget pertama kali ke kota ini kalau gak salah waktu aku masih SMA.
Waktu itu bela-belain ke Surabaya sama Ibu, Mas Wahyu dan anaknya Arvin, serta
Ading adikku demi menghadiri wisuda S2 Bapak. Sebagai anak yang dibesarkan di
kota kecil, waktu itu aku merasa Surabaya itu gede banget. It is such a huge
city. Banyak gedung-gedung tinggi, mall, jalannya juga lebar banget, dan banyak
mobil. Ditambah panasnya yang ngalahin panasnya Bali. I was so amazed and happy
at the same time. Gak nyangka aja Surabaya rame banget!
Begitu menjadi
mahasiswa dan salah satu member klub bela diri asal Jepang, aku mendapat beberapa
kesempatan main ke SBY. Tetapi itu cuma sebatas ke SJS (Sekolah Jepang
Surabaya) demi mengikuti ujian kenaikan tingkat dan pertandingan regional
SBY-MLG. Jadi walaupun sudah sering ke SBY, aku belum pernah benar-benar
mengeksplor kota besar ini. Sempet sih sedikit jalan-jalan ke mall SUTOS
(Surabaya Town Square) waktu masih jadi anak magang di Juanda. Tapi cuma
sekedar aja. Enggak pernah tau kayak apa wajah lain kota ini.
So, thanks to this
journey I can finally know how this city is. Ya enggak bener-bener tau banget
sih. Tapi paling enggak punya gambaran lebih baik lah. Begitu sampai di Gubeng,
aku dan teman-teman naik taksi menuju tujuan shopping pertama kami yaitu Mall
Tunjungan Plaza. I heard from my friends that this mall is “enormous”. And they
are right! Bahkan satu mall besar itu dibagi menjadi TP 1,2,3,4, dan 5 saking
gedenya. Ya ampun!
Begitu sampai di depan
mall, aku enggak langsung masuk. Temen-temen ngajakin muter dulu nyari gerbang
TP entah berapa. Aku ikut aja sekalian menikmati pemandangan kota. And you know
what? Surabaya is so beautiful. Tata kotanya rapi dan apik! Banyak taman yang
rindang. Jalan rayanya besar. Pedestriannya gueedee banget! Supporting pejalan
kaki pol ini kota. Ditambah banyak gedung-gedung unik baik kuno maupun modern
di sepanjang jalan. Favoritku adalah gedung Monumen Pers Perjuangan Surabaya.
Unik banget arsitekturnya. Ada jam besar SEIKO di bangunan depan dan menghadap
ke jalan. Apa gedung itu peninggalan zaman penjajahan ya? Pokoknya gak bosen
liatin itu gedung. Keren!
Monumen Pers Perjuangan Surabaya |
Di depan TP entah berapa |
Nah, begitu nemu
gerbang masuk mall, aku disambut dengan nuansa mall yang berbeda dari yang
biasa aku temukan di Malang. There are like countless branded stores there! Mau
cari apa aja kayaknya ada semua di sana. And it feels like a maze! Enggak salah
kalau temenku pernah cerita dia sering nyasar di sana. Karena kita baru aja
nyampe dan kelaparan, akhirnya mencari makan adalah prioritas utama. Dan tujuan
makan siang kami adalah Marugame Udon! Waahaa akhirnya kesampean makan ini udon
setelah hampir 3 tahun!
The Best Udon Ever!! |
In my opinion,
Marugame Udon is the best ever! Jadi inget dulu waktu training TEFL-A di
Jakarta, aku buka puasa dengan Niku Udon di Kota Kasablanca Mall. Tottemo
Oishii! Enak banget! Dan kemarin aku pesen Beef Curry Udon. Gak kalah enak sama
Niku Udon. Enggak rugi deh merogoh kocek lumayan dalem demi seporsi mi gede
ini. It’s totally worth it guys! You better try it next time you go to TP. Di
Kota Malang sendiri belum ada Marugame Udon. Semoga next time ada. Starbucks
aja mau nambah lagi tuh.
Ini sumpah enak banget!! |
With the genkz! |
Saking capeknya, kami
beristirahat di KFC. Setelah beberapa lama mengumpulkan energi, kami memutuskan
untuk ke Daiso, toko yang menjual household impor dari Jepang. Banyak hal
menarik sih di sana dan harganya terjangkau. Hanya saja aku tidak tertarik
membeli apapun. Habis dari Daiso, temen-temen ngajakin ke toko sepatu Payless.
Memang sejak awal mereka niat beli sepatu di sana sih. Koleksi sepatu di sana
ku akui bagus-bagus dengan harganya yang lumayan terlampau “bagus” tetapi aku
tidak membeli apapun dengan alasan sepatuku masih banyak yang bisa dipake.
Well, sudah sekian banyak toko baju, sepatu, dan lain-lain aku kunjungi dan aku
tidak tertarik membeli apapun. Sepertinya, pergi belanja tanpa punya rencana
mau beli apa membuatku tidak tertarik belanja.
Setelah menemani tiga
cewek-cewek belanja sepatu, giliran mereka yang nemenin aku ke toko favoritku.
Yupz! Apalagi kalau bukan toko buku Gramedia! Kami nggak pergi ke Gramedia yang
berlokasi di dalam TP. Kiki ngajakin ke Gramedia store yang terletak enggak
jauh dari TP karena lebih besar dan lengkap. Aku yang mana aja sih oke aja
selama Gramedia hahaha. Kami memutuskan untuk berjalan kaki menuju ke tkp.
Lumayan deket sih tapi kalau jalan kaki lumayan capek juga. Untung Surabaya
lagi enggak panas, jadi kami bisa survive. Dan dengan berjalan kaki, aku
memiliki kesempatan untuk melihat-lihat kota. Rasanya Surabaya kayak Jakarta.
Gede dan rame. Tapi trafficnya enggak seruwet Jakarta. Tata kotanya juga rapi.
This is it the second biggest city in Indonesia with Mrs. Risma as the chief.
:) |
Nah sampailah aku dan
teman-teman di Gramedia. Lucu banget itu tempatnya. Enggak ada plang nama
besar, cuma tanda kecil di pojokan tembok. Bangunannya juga unik banget. Banyak
tiang-tiang segitiganya. Enggak kelihatan kayak Gramedia pokoknya. Tetapi
begitu masuk ke dalam, ini dia bookstore! Aku langsung menuju rak yang
berisikan novel-novel fiksi dan fantasi. Sebenarnya aku sedang mengincar The Tale of Two Cities novel karya
Charles Dickens. Sayangnya aku enggak nemu. Adanya yang Great Expectations. Akhirnya aku cuma membeli Dunia Sophie karya Jostein Gaarder. Udah lama banget aku tahu ini
novel, cuma aku enggak pernah tertarik membacanya. Baru kali ini aja tertarik
gara-gara tersihir Misteri Soliter.
My new book! |
Oh iya, ada cerita
menarik ketika aku berada di Gramedia. Jadi begitu aku mendekati rak buku
bergenre fiksi, ada satu mas-mas yang tiba-tiba aja ngajak ngomong aku. Well,
aku enggak bisa menghindar karena dia tepat di depanku. Okay, I have a bad
feeling. Dari penampilannya mas-mas ini terlihat seperti salesperson. Dan
tebakanku hampir tepat. Ternyata ia salah satu aktivis sebuah organisasi untuk
anak-anak yatim piatu dan ia sedang mensosialisasikan gerakan yang
organisasinya lakukan. Dari keterangan yang ia katakan, jujur gerakan mereka
mulia banget. Mereka membantu anak-anak yatim piatu untuk tinggal secara layak
sampai mereka bisa mandiri.
Namun, di akhir
obrolan mas-mas ini nawarin aku untuk jadi donatur organisasi mereka. Aku
sempet tertarik karena aku pikir aku bisa nyumbang on the spot. Eh bukan begitu
cara kerjanya ternyata. Aku diminta untuk jadi donatur tiap bulan dan
menyumbang beberapa ratus ribu rupiah lewat rekening. Oh wow. That’s really something.
Aku sadar niat mas-mas itu baik banget. Namun aku agak keberatan dengan cara
dia ngajak aku jadi donatur. Dari yang aku rasakan, dia berkata-kata
seakan-akan membantu orang lain dengan menjadi donatur bener-bener mulia yang
akan dibalas sekian kebaikan dari Yang Kuasa. Dan yah dia agak maksa gitu
ngajak aku jadi donatur.
Aku jujur enggak
tertarik jadi donatur kalau sistemnya semacam itu. You can judge me all you
want guys but I have my own reasons. Pertama, aku enggak suka cara masnya
ngajakin. Seakan seluruh amal kebaikan itu berasal dari menyumbang uang. Is
that how the world goes? I don’t think it that way! Kedua, ketika aku bilang
aku harus minta ijin orang tua dulu buat mutusin jadi donatur, eh dia malah
bilang orang tua pasti ngijinin kita melakukan kebaikan walau kita enggak ijin
dulu. Dia jelasin dengan berbagai metaforanya.
Okay! That’s too much!
Kalau masalah ini jujur aku strict banget. Parents are everything for me. Jadi
apa-apa harus konsultasi dulu. Memutuskan untuk jadi donatur itu enggak
segampang mau mutusin mau makan apa siang ini. Walau aku sudah bekerja dan
punya penghasilan sendiri, aku tetep menyertakan orang tuaku dalam mengambil
keputusan. What that man said to me didn’t make any sense for me. I really
wanted to escape from that man. He made me feel uneasy. Akhirnya aku bilang aja
“enggak harus hari ini kan?”. Dia pun menjabat tanganku dan berterima kasih
dengan ekspresinya yang flat banget. Ya elah mas... Bring back my 10 minutes!
Meeting that man
nearly ruined my day.
Ternyata enggak dia aja yang jadi sales, ada beberapa mbak-mbak yang melakukan
hal yang sama. Semoga cara mbak-mbak itu ngajakin orang jauh lebih baik dari si
mas itu. Sabar...Sabar... you did learn something from what happened to you Za!
To be Continued...
sabar...sabaar mba hehehe manis diawal pahit diakhir :p
ReplyDeletebtw aku ke Surabaya cuman ke Pasuruan ke taman Dayu sama makan bebek to udahannya blasss :D
Haha thank you udah mampir. Wah saya malah belum pernah makan bebek di Surabaya. Taman Dayu emang favorit ya XD
Delete