Malang, 31 Maret
2015
Mungkin bagi orang lain
bangunan-bangunan tua bekas zaman kolonial Belanda merupakan hal yang tidak
menarik atau bahkan menyeramkan. Banyak yang berkata bahwa bangunan-bangunan
tersebut dihuni oleh arwah-arwah gentayangan noni Belanda dan tahanan yang mati
mengenaskan akibat disiksa oleh kompeni. Ada juga yang membenci bangunan
kolonial karena melihatnya saja membuat mereka teringat pada masa-masa kelam
penjajahan. Apakah kalian juga berpikir demikian? Apakah kalian juga tidak
menyukai bangunan eksotis bergaya Belanda zaman dahulu yang menjadi saksi bisu
sejarah Bangsa Indonesia? Kalau aku sih, aku malah jatuh cinta sama
bangunan-bangunan cantik dengan arsitektur Belanda. Salah satunya adalah tempat
yang saat ini aku kunjungi di pusat kota Jogjakarta, Benteng Vredeburg.
Saking
jatuh cintanya sama bangunan benteng ini, aku tak bisa melewatkan satu momen
pun untuk memotret. Aku bahkan menyuruh sahabatku berkali-kali memotretku di
berbagai tempat di dalam benteng.
“Dam!
Ayo dong cepet! Fotoin aku di lorong ini. Mumpung sepi nih!” teriakku pada
Adam, sahabat sejak kecilku yang menemaniku menjelajahi Benteng Vredeburg.
“Are
you kidding? Kamu mau bunuh aku Sar? Capek nih aku muter-muter nemenin kamu
jadi fotografer tanpa bayaran! Mana panas juga! Foto aja sendiri!”
“Ih!
Mana bisa? Udah deh fotoin! Kamu udah janji nemenin aku kalau aku liburan ke
Jogja. Cepetan ah!”
“Ralat!
Nemenin bukan Fotoin! Oke? Udah aku capek. Kapok aku janjiin kamu lagi.” Adam
duduk bersandar di salah satu tiang penyangga. Ia menghela nafas and mengipasi
dirinya dengan topi.
“Ayo
Dam, cepetan istirahatnya. Tuh kan keburu rame deh disini.” rombongan muda-mudi
melewati lorong. Aku dengan kesal menendang kaki Adam. Aku kehilangan momen
foto lagi.
“Nih
ambil nih kamera! Aku males kerja rodi jadi fotografer. Kamu udah kayak kompeni
aja seenaknya sendiri nyuruh orang!”
“Apaan
sih? Ya udah kalau gitu. Biar aku jalan-jalan sendiri!”
Aku berjalan terus melewati
lorong, meninggalkan Adam. Aku benar-benar kesal dengan sikapnya. Sudah 6 bulan
kami tak bertemu dan begitukah sikapnya terhadap sahabatnya yang meluangkan
waktu liburan untuk mengunjunginya. Aku terus berjalan sampai pada akhirnya aku
berada di depan sebuah bangunan seperti rumah. Bangunan lantai satu itu dari
luar terlihat sederhana. Kesan kolonial tak begitu terlihat. Namun, kesan
bersejarah dari bangunan itu benar-benar terasa. Beberapa orang memasuki rumah
itu. Ya tidak salah lagi, rumah itu adalah museum yang belum sempat aku masuki.
Ku lihat ke arah lorong tadi, tak ku dapati Adam mengikutiku. Aku benar-benar
kesal. Aku memasuki musium lalu menutup pintunya.
Menutup pintu musium menjadi hal
yang ku sesali. Ruangan musium terlihat begitu gelap. Gurat-gurat sumber cahaya
hanya berasal dari celah-celah jendela yang tertutup rapat. Seketika ketakutan
mulai ku rasakan menjalar dari ujung kakiku. Walau masih dalam kegelapan, sudut
mataku masih bisa melihat beberapa diorama mengerikan tentang kebengisan
kompeni. Aku pun mengurungkan diri untuk menelusuri musium dan berniat untuk
keluar. Ketika ku coba untuk membukan pintu, pintu itu tidak bisa dibuka. Aku
mulai panik dan ketakutan. Ku kerahkan tenagaku untuk membukanya, namun pintu
itu tak bergeming. Aku menggedor pintu dan berteriak meminta tolong pada siapa
saja agar membukakan pintu itu untukku. Namun, tak ada satu pun yang membalas
teriakanku termasuk Adam. Ia pasti tidak tahu aku di sini. Kenapa dia tidak
menyusulku ke sini? Aku benar-benar ingin sekali marah padanya. Aku mencoba menghubunginya
lewat telepon. Tetapi percuma, tak ada sinyal sama sekali di dalam musium.
Panik,
takut, bingung, putus asa, semua itu bercampur aduk dalam kepala dan batinku
tanpa ampun. Dingin mulai menyelimuti kedua tanganku. Hal biasa yang selalu
terjadi padaku ketika aku merasa takut. Aku lelah berusaha membuka pintu. Aku
pun memutuskan untuk terus berjalan menuju sisi lain bangunan. Aku yakin di
ujung sana aku akan bertemu dengan orang-orang yang tadi memasuki musium. Atau
paling tidak, aku menemukan jalan keluar.
Aku
berjalan terus menyusuri lorong musium. Ruangan musium terlihat lebih terang
karena aku menggunakan telepon genggamku sebagai sumber penerangan. Di kanan
dan kiriku terdapat ruang-ruang kaca yang berisikan patung-patung diorama yang
mengisahkan kisah kebengisan penjajah Belanda membantai rakyat Indonesia. Aku
tahu mereka hanya patung tak bernyawa. Namun, tetap saja aku merasa mereka
seperti melihatku dan berusaha meminta tolong padaku ketika ku lihat ekspresi
wajah korban-korban penjajahan.
Ku palingkan pandanganku dari
diorama dan berusaha fokus berjalan ke depan. Semakin aku berjalan, sensasi
dingin semakin hebat memelukku. Aku berusaha terus melafalkan solawat agar aku
dijauhkan dari ‘penghuni’ musium dan agar ketakutanku segera pergi. Namun
ketakutanku semakin menjadi-jadi ketika ku dengar suara benda terjatuh. Aku
tidak mau repot-repot membuat diriku bertambah panik dengan melihat kebelakang.
Aku pun mempercepat langkah kaki. Namun tiba-tiba saja langkahku terhenti, saat
aku tidak sengaja menabrak sesuatu yang berukuran besar dan terasa dingin
menyentuh pipiku hingga buatku terjatuh. Aku menabrak sebuah lemari kaca besar.
Ku arahkan senter telepon genggamku ke lemari. Begitu melihat apa yang ada di
dalamnya, aku langsung bangkit dan berlari. Sesuatu berwarna putih dengan noda
merah kehitaman di dalam lemari itu bergerak maju mundur seperti berusaha
meraihku.
Aku
terus berlari dan berlari menyusuri lorong musium. Aku mulai merasa aneh karena
aku tidak bertemu dengan siapapun sejauh ini. Aku benar-benar ingin keluar dari
musium itu secepatnya. Air mata tak terasa mulai membasahi pipiku. Aku ingin
pulang. Cahaya kecil nan panjang dari sebuah celah membuatku fokus kembali. Tak
salah lagi, itu adalah celah pintu yang sedikit terbuka. Aku berlari menuju ke
pintu itu dan begitu aku menggapai gagang pintu, aku langsung membukanya.
Semburan cahaya terang membutakan penglihatanku yang terbiasa dengan ruangan
gelap. Tak beberapa lama, aku bisa melihat lagi. Kelegaan dan kesenangan karena
telah menemukan jalan keluar menyelimutiku. Namun, rasa itu seketika pudar
ketika apa yang ku lihat bukanlah apa yang ku harapkan dan ku bayangkan.
Aku yakin
diriku masih berada di kompleks Benteng Vredeburg karena aku tepat berdiri di
depan bangunan musium. Tetapi, banyak hal-hal berbeda yang ku dapati di benteng
tersebut. Bangku panjang dengan pelindung besi dan tanaman merambat yang tadi
aku duduki tidak ada di sana. Di sekitar bangunan aku melihat banyak sekali
karung-karung coklat yang ditumpuk setinggi pinggang orang dewasa. Orang-orang
yang ku lihat pun berbeda. Aku tidak lagi melihat muda-mudi yang asyik berfoto.
Yang aku lihat adalah prajurit-prajurit berwajah asing lengkap dengan seragam
dan senjata mereka. Seketika kepalaku terasa berputar-putar. Semua ini tidak
masuk akal sama sekali.
Saking
bingungnya dan tidak percaya dengan apa yang aku lihat, aku mengambil beberapa
foto tempat itu dengan kameraku. Aku melihat hasil jepretanku dan
membandingkannya dengan foto-foto sebelumnya. Apa yang ku lihat memang tempat
yang sama dengan suasana berbeda. Saat sedang melihat hasil jepretanku, seorang
tentara melihat ke arahku. Aku mendapat firasat buruk ketika ia memberi isyarat
pada beberapa tentara yang lain. Seketika beberapa pasang mara terarah padaku. Mereka
bergerak dan menyiagakan senjata mereka. Tentara yang paling dekat denganku
berteriak dengan bahasa yang sama sekali tidak ku pahami. Walau aku tidak
paham, aku tau bahwa itu adalah pertanda buruk. Aku mundur beberapa langkah.
Mereka kini semakin banyak dengan senjata laras panjang terarah padaku. Aku
benar-benar ketakutan. Aku berusaha menjelaskan pada mereka bahwa aku hanya
tersesat. Namun, mereka justru berteriak makin keras kepadaku dan lagi-lagi aku
tidak mengerti apa yang mereka teriakkan. Aku mundur terus sampai punggungku
menyentuh pintu musium. Keringat dingin membasahi dahiku. Jantungku berdegup
lebih kencang hingga aku dapat mendengarnya. Tangan kananku menggapai gagang
pintu. Aku tau aku benar-benar ketakutan. Tetapi, mau tidak mau aku harus
mengambil resiko demi hidup. Dalam hitungan ketiga aku memutar kenop pintu dan
kembali masuk ke dalam musium yang gelap.
Tak
ingin membuang waktu lagi dikejar kompeni, aku mengunci pintu dan menahannya
dengan kursi kayu. Aku berlari menyusuri lorong musium tanpa penerangan. Aku
terlalu panik dan takut hingga tak terpikir untuk menggunakan cahaya dari
telepon genggamku. Pintu yang tadi terkunci kini telah berhasil dibuka oleh
para tentara itu. Aku bisa mendengar langkah kaki mereka disertai teriakan-teriakan
aneh mengejarku dari belakang. Aku terus dan terus berlari tanpa berani melihat
ke belakang. Ketakutan semakin menjadi-jadi ketika ku dengar suara letusan
senjata api. Bagaimana bisa mereka menembakkan benda itu di tempat tertutup dan
segelap ini? Ketakutanku sedikit hilang ketika mataku menemukan pintu masuk
musium. Namun, kepanikan lagi-lagi melandaku ketika aku sadar bahwa pintu itu
tidak bisa dibuka. Suara letusan lagi-lagi terdengar dan letusan itu hanya
berjarak beberapa senti dari kepalaku. Aku sudah tidak peduli lagi. Ini semua
terlalu mengerikan buatku. Aku menghambur ke arah pintu. Ku dorong pintu itu
dengan sekuat tenagaku. Pintu itu terbuka. Seketika cahaya terang menghujani
mataku. Aku terus berlari hingga aku menubruk seseorang.
“Sar, kamu
gak pa pa?” Orang yang ku tubruk bertanya padaku. Aku benar-benar lega. Itu
Adam.
Aku
menggelengkan kepala. “Dam, tutup pintunya cepet! Nanti mereka ke sini!”
“Mereka?
Siapa?”
“Tentara
kompeni itu. Tadi mereka mengejarku. Mereka bahkan nembakin aku.”
Adam
melihatku dengan ekspresi bingung. Tak hanya Adam, beberapa pengunjung lain
melihatku dengan pandangan aneh. “Sarah, satu-satunya orang yang keluar dari
musium itu cuma kamu. Tentara apa? Gak ada apa-apa. Pengunjung lain tadi
berusaha masuk, tapi pintunya terkunci. Kamu ya yang ngunci dari dalem?”
“Lho?
Tadi aku berusaha keluar dari situ tapi pintunya terkunci. Terus aku keluar
lewat pintu lain dan ternyata aku ketemu tentara kompeni.....” Aku melihat ke
arah musium tetapi tidak aku dapati pasukan kompeni yang mengejarku. Aku
bingung dan berusaha melanjutkan ceritaku tetapi tidak jadi karena Adam dan
pengunjung lain melihatku seperti aku adalah orang paling gila sedunia.
Apa itu
semua hanya mimpi? Tapi tidak mungkin. Itu semua terlalu nyata untuk sebuah
mimpi. Kelelahan, ketakutan, teriakan, dan letusan semua benar-benar terjadi. Aku
teringat dengan kameraku. Jantungku berdebar dengan kencangnya saat aku
melihat-lihat hasil jepretanku. Ada! Aku menemukannya. Foto-foto itu sangat
nyata. Aku menunjukkannya pada Adam. Adam hanya melihatnya dengan ekspresi tak
percaya. Apa yang baru saja ku alami? Semua itu nyata. Tetapi tak terasa nyata.
Kompleks Benteng Vredeburg |
Petualangan masih berlanjut....
Author : Zaturania
Say No to Plagiarism!
bangunan tua itu keren,bnyak cerita dari setiap bngunannya
ReplyDeletekalo aku main2 kejogja,boleh dong ditemnin ke vredeburg hohoho
@oh andrian : hehe memang banyak banget cerita dan imajinasi yang bisa muncul kalo kita lagi main ke bangunan kolonial. Tapi sayangnya, saya gak bisa nemenin kalo masnya mau main ke Vredeburg. Saya tidak tinggal di Jogja soalnya. Cuma pernah liburan aja kesana :) Terima kasih sudah main ke sini
Delete