Malang, 07
September 2014
Ada sebuah kursi di tengan taman bunga yang menghadap lautan biru. Aku
selalu duduk di kursi itu. Dan aku ingin selalu duduk di sana memandangi laut
biru dengan ditemani bunga-bunga. Disana aku hanya mendengar suara deburan ombak,
hembusan angin lembut, dan gemerisik rerumputan. Aku tidak mencium apapun
selain wangi garam bercampur manisnya harum bunga-bunga liar. Mentari bersinar
dengan hangat. Angin berhembus sepoi-sepoi melambaikan rambutku. Tak ada lagi
yang aku inginkan. Aku ingin duduk di sini. Biarkan aku duduk di kursiku selama
mungkin.
Jangan paksa aku tuk menoleh ke belakang. Aku tidak akan mau melakukannya.
Aku telah berjanji pada diriku sendiri
untuk tidak menoleh ke sana sekali pun. Disana hanya ada bergulung-gulung awan
gelap yang dihembus angin kencang. Petir menyambar dengan suaranya yang
mengguncang jiwa bagai jeritan kepedihan. Bahkan saat duduk di kursiku pun, aku
masih bisa merasakan kegelapan mengerikan berusaha memelukku dari belakang.
Namun, walau sudah ku pastikan diriku tak akan menoleh sekali pun, tanpa
sanggup ku kendalikan kegelapan itu mulai datang. Pasir putih di pantai tak
terlihat berkilauan lagi. Sinar mentari semakin redup. Awan gelap
berlomba-lomba menyembunyikan sang mentari. Angin sepoi-sepoi yang tadi
mengayun lembut rambut panjangku, kini bertiup kencang hingga menerbangkan
topiku. Kegelapan datang semakin mendekat dan mendekat. Kursiku hilang ditelan
olehnya. Semua berubah gelap dalam sekejap. Tak ada laut. Tak ada taman bunga.
Semua hilang.
Rasa takut mulai menguasaiku. Aku sendiri. Tak bisa melihat, mendengar, dan
mencium apapun. Bahkan ketika mataku terbuka lebar, hanya gelap menantiku di
depan. Aku mulai panik. Aku mulai berteriak. Berharap ada yang kan mendengar
dan memberiku pertolongan. Namun, tak ada yang terjadi. Aku benar-benar
sendiri. Tanpa terasa, pipiki mulai basah.
“Apa yang harus aku lakukan?”
Sudut mataku menangkap setitik cahaya di kejauhan. Titik itu semakin
mendekat dan mendekat ke arah dimana aku berada. Apakah itu pertanda baik
ataukah buruk? Aku tidak tahu. Aku hanya memandanginya dari tempat aku berdiri.
Ketika cahaya itu tepat berada di hadapanku barulah aku tahu, dia datang
membawa sebuah lentera. Dalam remangnya cahaya, aku bisa melihatnya tersenyum
dan mengulurkan tangannya kepadaku. Seketika beban dalam hatiku menghilang
bagai dihempas ombak. Air mataku berhenti mengalir. Senyuman menghias wajahku.
Ku sambut tangannya dan ia mengajakku pergi.
Awalnya aku ragu untuk melangkahkan kaki ini. Ku pandangi tempat kursiku
berada. Ini kursiku. Dunia ini tempatku. Apa yang akan terjadi jika aku
meninggalkannya?
Dia terdiam, memandangi apa yang ku lihat. Ia menggenggam tanganku lebih
erat. Waktu aku menoleh ke arahnya, ia tersenyum lalu menggelengkan kepalanya.
Di saat yang sama kegelapan mulai menelanku. Aku semakin ketakutan. Ia pun
membawaku berlari, berlari, dan terus berlari tanpa ku tahu kemana.
Tangannya tak pernah melepasku walau sering diriku memperlambat lajunya. Ia
tak pernah mengeluh walau aku sering terjatuh. Ia selalu membantuku untuk
bangkit dan selalu menggenggam tanganku. Kami berdua berlari bersama berusaha
menjauh dari kegelapan yang dengan tanpa ampun menelan semua yang ada di
hadapannya. Menjauh dan terus menjauh sampai pada akhirnya kami berdua berhenti
ketika cahaya lentera menerangi sebuah kursi panjang berwarna putih dan sebuah
gantungan lentera yang juga berwarna putih. Dia mengajakku mendekati gantungan
lentera itu. Ia memandangku lalu memberiku isyarat untuk memegang lentera
bersama-sama. Ku raih lentera itu dengan tangan kiriku. Kami berdua
bersama-sama meletakkan lentera keemasan di gantungan.
Ketika lentera itu telah tergantung, keajaiban terjadi di depan mataku.
Seketika dunia kembali terang. Kegelapan yang mengejarku dihapus oleh cahaya
keemasan. Aku bisa melihat pasir dibawah kakiku berkilauan. Angin sejuk kembali
berhembus lembut. Wangi garam laut tercium. Suara ombak dan cicauan burung
camar terdengar merdu. Laut dan langit terlihat amat biru. Awan putih melayang
beriringan memunculkan sang mentari. Semua kembali. Duniaku kembali.
Sekarang ketakutanku benar-benar menghilang. Aku berputar-putar di atas
pasir yang lembut. Aku membawanya menari bersamaku sampai aku merasa kelelahan.
Dia mengajakku duduk di kursi
panjang berwarna putih itu. Kami berdua duduk bersama memandang laut nan biru.
Ku pejamkan mata dan kunikmati suasana damai dengan suara ombak, wangi garam,
dan hembusan angin laut. Tiba-tiba sesuatu yang ringan menimpa kepalaku. Ku
buka mataku lalu kudapati topiku kembali.
“Ini topimu kan?” ucapnya padaku lalu. Ia tersenyum lagi padaku.
Aku hanya bisa tersenyum. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Hatiku benar-benar
terasa penuh. Kalau dia tak datang padaku saat itu dengan lenteranya, mungkin
saat ini aku telah tenggelam dalam kegelapan. Kalau saja dia tak membawaku
kemari, apakah aku masih bisa melihat keajaiban seperti ini?
“Terima kasih ya...” kataku. Ku sembunyikan wajahku di balik topi. Wajahku
benar-benar terasa panas.
“Sama-sama..” jawabnya.
Kursiku memang sudah menghilang. Tetapi, kini aku memiliki kursi baru. Dan
aku tahu, aku sudah tidak sendiri. Ada dia yang akan menemaniku, duduk
disampingku. Sudah tidak ada lagi yang perlu aku takutkan. Kegelapan tak akan
menelanku selama aku bersamanya.
Taken from Google |
Author : Zaturania
Please be kind to leave your comment :) Say no to Plagiarism!
Bagus nih kak :))
ReplyDelete@fandhy : hehe terima kasih buat komentarnya :D sering-sering berkunjung ke sini ya...
Delete