Malang, 11 Juli
2014
Gadis kecil memeluk boneka beruangnya. Ia memandang keluar jendela, melihat
malam yang selalu terasa mencekam. Gadis kecil bertanya pada Ibunya yang sibuk
memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas kecil sambil menggendong bayi.
“Ibu, kapankah kita bisa tidur nyenyak di rumah?” tanya Gadis Kecil.
Sang Ibu menghentikan kegiatannya, menatap gadis kecilnya dengan pandangan
mata sedih. “Tunggulah nak! Tidak lama lagi. Sekarang ayo cepat pergi dari
sini.”
Sang Ibu menggandeng tangan anaknya dengan tangan kanan dan membawa tas
kecil di tangan kiri. Bayinya tertidur pulas dalam gendongannya. Ibu dan anak
itu berjalan bergegas melewati puing-puing bangunan dan tubuh-tubuh manusia
yang tak bernyawa lagi. Sang Ibu terus menarik tangan gadis kecil agar berjalan
lebih cepat. Ia berusaha mengalihkan perhatian anaknya dari pemandangan
menyedihkan yang membuat air matanya mengalir tanpa dapat dibendung.
Gadis kecil bertanya lagi pada Ibunya, “Ibu, kapankah aku akan mendengar
cerita-cerita dunia ajaib yang selalu Ibu ceritakan padaku setiap malam sebelum
aku tidur?”
Sang Ibu terhenyak dalam batinnya. Dengan mata berlinang air mata ia
menjawab, “Tunggulah Nak, Ibu akan menceritakan semua cerita indah tentang
tanah ajaib ini ketika tidak terdengar lagi suara-suara keras itu.”
Ibu dan anaknya berjalan dan terus berjalan tanpa tujuan yang pasti. Sang
Ibu terus berdoa semoga ia menemukan tempat yang aman bagi keluarganya.
Suara-suara ledakan dan asap tebal berwarna merah dan kelabu membumbung tinggi
di angkasa. Perhatian Sang Ibu tidak teralihkan. Ia terus dan terus berjalan di
antara puing-puing. Sang Ibu berusaha menepis ketakutannya dengan terus
berdzikir. Gadis kecil meringis kesakitan karena harus berjalan di atas puing-puing
tajam. Kelelahan yang gadis kecil rasakan membuatnya memperlambat langkah.
“Ada apa? Kita harus cepat pergi Nak!” kata Sang Ibu.
“Ibu, aku ingin naik sepeda! Aku capek berjalan. Kapan aku bisa naik
sepeda?”
“Tunggulah Nak. Kamu akan naik sepeda tidak lama lagi. Kamu bisa pergi
kemanapun yang kamu mau. Kamu bisa bermain dengan teman-temanmu. Kamu bisa ke
sekolah. Tapi, sekarang kita harus pergi supaya kamu punya kesempatan untuk
melakukan semua yang kamu inginkan. Ya?”
Gadis kecil mengangguk. Sang Ibu menggandeng tangan anaknya dan mulai berlari.
Ledakan keras di belakang mereka membuat Sang Ibu dan anaknya berlindung di
balik tembok setinggi satu setengah meter yang hampir hancur. Sang Ibu memeluk
kedua anaknya erat. Bayi dalam gendongannya mulai menangis. Air mata Sang Ibu
terus mengalir saat ia berusaha menenangkan bayinya. Gadis kecil mengusap air
mata Ibunya dengan lengan bajunya.
“Kenapa Ibu menangis? Ibu lebih cantik kalau tersenyum.” Kata gadis kecil.
“Maafkan Ibu Nak! Kamu harus hidup dan tumbuh besar dengan semua kekejaman
ini. Maafkan Ibu.”
“Jangan berkata seperti itu Ibu. Tidak apa-apa. Aku senang menjadi anak
Ibu. Ibu sudah merawatku dengan baik, menceritakan padaku kisah-kisah Nabi
Allah SWT, mengajariku untuk selalu sekuat mereka, dan mengingatkanku untuk
selalu bersyukur pada-Nya atas apa yang aku miliki. Kalaupun disini bukan
tempat ajaib yang selalu Ibu ceritakan. Aku yakin diluar sana ada dunia ajaib
untuk kita bisa hidup dengan damai. Tempat itu pasti tempat terbaik yang telah
Allah SWT persiapkan untuk kita semua. Jadi, Ibu tidak usah sedih. Aku tidak
apa-apa.”
Mendengar ucapan anaknya, Sang Ibu merasakan kelegaan dalam batinnya.
Dipeluknya kedua anaknya erat-erat, dikumandangkannya adzan di telinga mereka.
Ibu dan kedua anaknya tenggelam dalam khusyuknya doa ditengah gempuran martir
dan bom. Doa itulah yang pada akhirnya mengantar mereka menuju tempat terindah
yang telah Allah persembahkan untuk hamba-Nya yang beriman, Al Firdaus.
Curhat Penulis...
Tulisan ini hanya sebuah bentuk kepedulianku pada saudara-saudara kecilku
di Gaza. Di usia yang sangat muda mereka telah hidup bertemankan suasana
mencekam, senjata, kekejaman monster Zionis, dan ketakutan. Bahkan hal-hal
sepele yang selalu anak-anak kecil di Indonesia bisa lakukan dengan mudah
seperti tidur nyenyak, mendengar cerita yang dibacakan orang tua, dan naik
sepeda menjadi mimpi yang tak berkesudahan bagi mereka. Banyak di antara mereka
yang terbunuh dengan cara yang amat keji. Dimana kemanusiaan? Dimana kita? Mereka
hanya anak-anak yang seharusnya hidupnya dipenuhi dengan suka cita dan bermain.
Sekarang, untuk menghirup udara saja mereka harus berteman dengan kematian.
Aku memang tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolong mereka selain dengan
doa. Karena itulah, aku mengajak semua pembaca di sini untuk sejenak
menundukkan kepala dan mendoakan saudara-saudara kita di Gaza. Percayalah, doa
tulus kepada Yang Kuasa memiliki kekuatannya sendiri untuk menolong mereka.
Semoga kekejaman kemanusiaan ini segera berakhir. Semoga saudara-saudara kita
di Gaza juga bisa menikmati indahnya Bulan Ramadhan seperti kita yang ada di
Indonesia. Amin Amin Amin Ya Rabb....
Zaturania
Comments
Post a Comment