Malang, 12 April 2014
Aku melihatnya! Makhluk-makhluk ajaib yang aku ciptakan
dengan guratan pena di atas kertas, datang padaku. Aku merasa takjub! Aku tak
menyangka semua ciptaanku terlihat begitu sempurna seperti yang selama ini aku
bayangkan dan ku lukiskan dalam kata-kata. Dan mereka terlihat amat hidup!
Sebagai pencipta mereka aku merasa
berbangga diri. Semua tepat! Sempurna! Tak ada cacat sama sekali! Peri-peri
kecil dengan sayap seperti capung dan pakaian lucu dari daun, terbang kesana
kemari. Menaburkan serbuk peri mereka yang berkilauan di atas rerumputan. Tawa
kecil mereka terdengar nyaring bagai suara lonceng kecil di telingaku.
Kurcaci-kurcaci dengan pakaian warna-warni dan topi kerucut mereka berjalan
beriringan ke arahku. Beberapa di antara mereka ada yang tersandung batu lalu
berguling di atas tanah menimpa teman-teman mereka yang ada di depan. Mereka
saling menyikut dan menyalahkan satu sama lain. Ah! Itu pemandangan yang sangat
lucu. Tingkah-tingkah mereka sangat membuatku geli. Aku sangat senang! Semua
seperti apa yang ku harapkan. Dan kini mereka datang kepadaku. Menyambutku!
Akulah pencipta mereka.
Aku menyambut mereka dengan penuh suka cita. Ku
rentangkan tanganku agar aku bisa memeluk mereka semua dalam dekapanku.
Beberapa jarak lagi mereka semua dapat ku rengkuh, ingin ku ayun mereka ke
udara, seperti yang selalu aku ingin lakukan. Kurcaci kecil yang tingginya
hampir menyamai lututku menjadi yang pertama datang menghampiriku. Kedua
tanganku sudah bersiap menyambutnya. Ia berlari kecil ke arahku dengan membawa
sebuah buku tebal yang ia angkat dengan sebelah tangannya. Ia berteriak!
Suaranya terdengar serak! Matanya nanar! Ia menyeringai seram hingga
gigi-giginya yang besar pun terlihat. Tanpa sadar, aku melompat ke belakang.
Aku terlalu terkejut dengan apa yang ku lihat. Teriakan kurcaci pembawa buku
itu diikuti oleh teriakan-teriakan kurcaci-kurcaci lain. Para peri bersuara
lonceng pun ikut berteriak dengan suara lengkingan yang menyakitkan telinga.
Mereka juga membawa buku tebal seperti yang dibawa oleh si kurcaci. Rupanya
buku itu terlalu berat hingga mereka harus terbang rendah dan membawanya
bersama-sama. Mereka berlari ke arahku. Cepat dan semakin cepat! Aku tak tahu
apa yang terjadi! Tetapi instingku berteriak, jika itulah saat yang tepat untuk
lari.
Secara bersamaan mereka berteriak padaku. Aku hampir tak
memahami apa yang mereka katakan. Namun sedikit- sedikit aku menangkap ucapan
mereka.
“Kenapa
kau membuat cerita yang seburuk ini? Kenapa kau harus membuatku memiliki tubuh
secebol ini? Tak seharusnya kau membunuh adikku dalam ceritaku! Apa maksudmu aku
keracunan jamur yang membuatku gila hingga aku harus dirawat di rumah sakit
jiwa? Kenapa kau membuat suara peri seperti lonceng, mana ada yang bisa
mengerti bahasa mereka? Dasar penulis gila!”
Oh Tuhan! Mereka semua protes padaku karena cerita yang
ku buat untuk mereka. Mereka hidup untuk membalas dendam padaku.
Karakter-karakter imajinasiku. Makhluk-makhluk ajaib ciptaanku, bangkit dari
buku karena mereka tak bisa menerima jalan cerita yang ku tuliskan! Sebenarnya
apa yang terjadi di sini? Aku tak mengerti!
Aku berlari dan terus berlari menghindari mereka dengan
pikiran yang amat kacau. Di satu sisi, aku senang melihat ciptaaku begitu nyata
hingga aku sangat bisa menyentuh mereka (tapi tidak untuk saat ini). Di sisi
lain, aku tak mengharapkan jalan cerita seperti ini. Seorang penulis
dikejar-kejar oleh karakter-karakter ciptaannya karena mereka tak menerima
jalan cerita dari si penulis. Bagaimana bisa ini semua terjadi? Bagaimana bisa
mereka hidup hanya untuk protes padaku? Seharusnya ini menjadi momen yang penuh
kebahagiaan dan suka cita dimana si pencipta bertemu dengan ciptaannya. Aku
tidak pernah mengharapkan yang seperti ini! Dikejar-kejar hingga kedua kakiku
terasa kebas! Mendengar jeritan dan teriakan yang menyakiti telinga dan hatiku.
Tidak ini tidak boleh terus terjadi! Akulah pencipta mereka, jadi akulah yang
seharusnya memegang kendali di sini. Semua harus diluruskan! Semua harus
baik-baik saja!
Aku berhenti berlari. Aku membalikkan tubuhku dan
menghadap mereka langsung. Serentak mereka berhenti mengejarku. Mereka mulai
menyebar, mengelilingiku dari berbagai arah. Peri-peri kecil yang kelelahan masih
terbang rendah di atas kepala-kepala kurcaci tanpa buku tebal yang tadinya
mereka bawa. Sepertinya mereka melepaskannya akibat terlalu berat. Para kurcaci
menarik nafas dengan cepat. Rupanya mereka juga kelelahan akibat mengejarku.
Namun kelelahan itu tak mengganggu mereka terlalu lama. Mereka kembali
mengangkat buku di atas kepala dan bersiap untuk melemparkannya padaku kapan
saja. Mereka semua menatapku dengan pandangan penuh kebencian. Wajah imut dan
bersinar seperti yang ku gambarkan kini telah terganti oleh wajah yang amat
menyeramkan. Aku harus berkali-kali meyakinkan diriku untuk bersikap berani di
depan mereka. Akulah pencipta mereka. Dan akulah yang harus meluruskan
persoalan ini.
“Aku sudah mendengar
jeritan kalian mengenai jalan cerita yang ku tulis dalam buku yang kalian bawa.
Aku tahu kalian tidak menyukai apa yang aku tulis untuk kalian.”
“Ya! Ya! Kami membencinya!”
para kurcaci berteriak serempak.
“Apa yang kau perbuat pada
kami, gadis tanggung?! Apa kau pikir kau bisa membuat hidup kami semengerikan
ini dalam bukumu? Kau harus menerima hukumanmu!” teriak si kurcaci setinggi
lutut bertopi merah.
“Tunggu! Kalian adalah
karakter ciptaanku jadi kalianlah yang harus mengikuti jalan cerita yang ku
buat! Tidak peduli seperti apapun itu!”
“Mana ada karakter yang
betah dengan akhir jalan cerita mengerikan dan menyedihkan yang kau buat untuk
kami?! Apa kau selalu memperlakukan karakter dalam ceritamu seperti itu? Coba
kalau kau yang berada di posisi kami, kau juga pasti akan memprotes
penciptamu!”
“Apa maksudmu akhir cerita?
Kau tidak mengerti! Aku sama sekali...”
“Diam! Kaulah yang tidak
mengerti perasaan kami! Kami harus hidup dengan jalan cerita menyedihkan yang
sudah ditentukan tanpa bisa berbuat apa-apa untuk mengubahnya. Harus disakiti
oleh manusia! Hutan rumah kami dihancurkan oleh mereka. Kau tak mengerti! Kami
tak bisa menerima jalan ceritamu! Untuk itulah kami datang kesini untuk
memberimu pelajaran seperti apa merasa tak berdaya dengan kungkungan alur yang
sudah ditentukan!”
Kurcaci bertopi merah itu mengangkat buku tebal bersampul
hijau itu tinggi dan semakin tinggi. Bersiap untuk melempar buku itu. Buku itu
pun terlepas dari tangannya. Melayang ke arahku! Dengan sigap aku menangkap
buku itu yang hampir menyentuh dahiku.
“Tidak baik melempar buku
seperti itu, topi merah! Kau bisa melukai seseorang dan merusak bukunya.” Aku
mengusap buku itu lalu membuka halamannya. Halaman demi halaman ku perhatikan
dengan baik. Pada akhirnya aku sadar, dugaanku tepat, aku harus menyelesaikan
semua ini.
“Apa?! Bagaimana bisa kau!
Awas ya!” kurcaci bertopi merah itu lalu merebut buku bersampul hijau yang sama
dan hendak melemparkannya ke arahku lagi.
Sebelum dia melempar buku itu, secepat kilat aku membuka
halaman kosong buku yang ku bawa dan menunjukkannya tepat di depan mata di
kurcaci bertopi merah.
“Lihat! Halaman ini
kosong!”
“Lalu kenapa?! Apa bedanya
dengan kertas kosong lain!”
Aku tersenyum lalu menunjukkan halaman kosong itu pada
peri-peri dan kurcaci lain.
“Sebenarnya, buku tentang
kalian ini belum selesai aku tulis. Halaman-halaman kosong ini belum aku isi
dengan cerita-cerita kalian yang lain.” Aku menghela nafas dalam-dalam. Aku
agak takut melanjutkan apa yang ingin aku katakan.
“Maafkan aku. Aku belum
sempat menuliskan kisah-kisah indah yang berakhir dengan bahagia untuk kalian
semua. Kehidupan duniawiku membuatku lupa akan kisah yang ku buat untuk
makhluk-makhluk ajaib ciptaanku. Padahal kisah-kisah indah tersebut sudah
terbayang di benakku sejak lama. Maafkan aku telah membuat kalian semua
tersiksa dengan kisah yang masih kelam. Aku berjanji akan menuliskan kelanjutan
cerita kalian yang jauh lebih baik.”
Kurcaci bertopi merah mundur, mendekati para kurcaci lain
yang bertopi warna-warni, berkerumun dan mendiskusikan sesuatu dengan
kasak-kusuk penuh rahasia. Kurcaci merah sesekali berbalik menatap wajahku.
Lalu, kembali berdiskusi dengan yang lain. Tak lama, ia meninggalkan kerumunan
kurcaci dan peri, dan berjalan mendekatiku. Aku terkesiap. Aku hanya berharap
ia tidak berusaha untuk melempar buku ke arahku lagi atau hal-hal berbahaya
lain.
“Baiklah! Kami akan
melepaskanmu, jika kau berjanji untuk menuliskan kelanjutan kisah yang
bahagia!”
“Aku berjanji! Dan akan ku
tepati!”
“Segera?”
“Segera!”
“Tak akan lupa
menuliskannya?”
“Umm..kalau itu...”
“Jika kau lupa, maka kami
akan datang lagi dan akan melemparkan buku-buku ini padamu tanpa ampun!” Wajah
kurcaci itu menyeringai. Kepalan tangannya terangkat ke atas.
Aku mengurai senyum dan mendekati kurcaci bertopi merah
itu. Aku duduk di hadapannya.
“Aku tak akan melupakan
kewajibanku. Kalian adalah ciptaanku dan teman-teman yang selalu membuat
imajinasiku berwarna. Aku tak ingin membuat jalan cerita kalian menjadi
menyedihkan. Tuhan saja memberiku hidup yang bahagia, kenapa aku harus membuat
hidup kalian menderita terus. Aku berjanji dan akan ku tepati segera! Dan aku
akan berusaha agar tidak melupakan kalian. Percayalah padaku.”
Kurcaci bertopi merah itu melirik ke arah kurcaci-kurcaci
dan para peri yang ada di belakang mereka. Aku pun mengalihkan pandanganku ke
arah mereka semua. Mereka semua sudah melepaskan buku-buku itu dari tangan.
Mereka terus memandangiku, dengan mata besar penuh harap dan senyum kecil
malu-malu. Kurcaci bertopi merah kembali menatapku. Matanya terlihat besar dan
wajahnya memerah. Entah apakah ia merasa malu atau apa.
“Baiklah! Kami sudah
seharusnya mempercayai pencipta kami. Dan umm... maafkan atas sikap kami yang
sudah menakutkanmu. Kami hanya ingin membuatmu mengerti.”
Tanpa pikir panjang, aku memeluk kurcaci bertopi merah
yang amat imut dengan pipinya yang merona itu. “Aku mengerti dan amat sangat
mengerti. Terima kasih sudah menjadi nyata untukku. Terima kasih.”
Aku melepaskan pelukanku dan menatap kurcaci itu lagi. Ia
tersenyum. Senyumnya amat sangat manis, membuatku ingin memeluknya lagi.
“Tetapi, kalau boleh tahu,
ini dimana? Aku tak bisa melanjutkan menulis di tengah hutan seperti ini! Yah
walaupun hutan ini amat sangat indah.”
“Ini adalah duniamu, nona
manis.”
“Duniaku? Maksudmu
imajinasi atau mimpi?”
“Ya...bisa dibilang begitu,
dan kau harus kembali ke dunia nyatamu untuk bisa menuliskan kisah kami lagi.”
“Bagaimana caranya? Aku
tidak punya pintu kemana saja atau lemari yang bisa membawaku pulang.”
“Ini adalah duniamu dan kau
tahu bagaimana cara untuk pulang. Kau hanya perlu mengingatnya.”
Aku terdiam. Berpikir. Duniaku. Semua yang aku ciptakan.
Keajaiban. Secepat kilat pikiran itu datang. Membawa jawaban. Aku pun tertawa
senang.
“Oh... ya bagaimana aku
bisa lupa? Serbuk peri! Ya itu yang bisa membawaku pulang!”
“Dan itulah yang kau
butuhkan, nona manis.”
Serbuk berwarna keemasan menerpa wajahku tanpa ku sadari.
Rupanya kurcaci bertopi merah itu meniupkan serbuk peri padaku. Aku tak bisa
mengingat banyak apa yang terjadi setelah itu. Rasanya aku ditarik menuju ke
bawah oleh sesuatu. Kilauan cahaya warna-warni menyilaukan mataku. Terus dan
terus jauh ke bawah. Begitu aku sadar yang ku lihat adalah langit-langit
kamarku dan kegelapan malam yang menyelimutinya. Rupanya aku bermimpi. Mimpi
yang benar-benar terasa nyata!
Aku bangkit dari ranjangku dan menyalakan lampu. Mimpi unik
itu membuatku seakan bingung dengan segalanya yang aku lihat di kamar yang
sudah ku tempati selama 14 tahun. Saat aku menoleh pada cermin, aku terkejut
melihat kilauan-kilauan keemasan di wajah dan rambut hitamku yang panjang. Aku
terburu-buru mencari kacamataku. Aku hanya ingin memastikan aku tidak terkena
efek cahaya lampu. Saat berusaha meraih kacamata yang ku letakkan di meja
samping ranjang tidurku, aku melihat sesuatu familiar yang juga terletak di
sana. Buku bersampul hijau muda dengan ukiran huruf-huruf keemasan. Ya ini buku
karanganku! Yang bercerita tentang kisah-kisah para kurcaci dengan topi
warna-warni mereka dan peri-peri hutan bersuara lonceng. Aku segera membuka
buku itu dan mencari halaman yang masih kosong. Aku tersenyum. Sekarang aku tahu,
semua tak hanya sekedar mimpi. Tanpa pikir panjang, aku meraih pulpen
kesayanganku dan mulai mengukir kata-kata yang bercerita. Kisah mereka harus ku
lanjutkan! Dan itulah janji yang harus dan ingin ku tepati.
The Writer and Dwarfs! (Maaf ya kurang bagus hehe) |
FIN
Author : Izzatur R
(zaturania)
Say No to Plagiarism!
P.S : Cerita ini
terinspirasi dari novel fantasi berjudul Tintenherz
(Inkheart) karya Cornelia Funke. One of my favourites!
nice story :)
ReplyDeletekeep on writing !
@Izzatul : hehee thank you :3 wah nama kita berdua mirip :D
DeleteHai, nice post :)
ReplyDeleteIjin blogwalking yaa, ada info lomba blog loh, mau ikutan gak?
Klik ini!
Makasih.
@puja putri : terima kasih sudah berkunjung :) lomba blognya menarik, InsyaAllah ikutan nanti :D
Delete