Ilustration by Izzatur R (zaturania) |
Terbang bebas menembus
awan, melihat segalanya dari atas, tanpa ada tali yang mengikat. Mungkin itulah
arti kebebasan yang ia dapat dari burung-burung yang terbang di luar sana.
Hanya bisa menatap secuil langit dari balik jeruji jendela kecil di atas gerbang
besi, hanya itu yang kini bisa dilihatnya. Melihat luasnya langit biru,
menghirup udara segar, bermain dengan hewan-hewan, merasakan sejuknya air
hujan, menjadi impian terbesarnya sejak hari itu. Hari dimana hidupnya hanya
berteman dengan dinding tebal, peralatan bersih-bersih rumah tangga, alat
memasak, dan bentakan serta kemurkaan dari tiga wanita kaya bersaudara yang ia
sebut sebagai majikan.
Elisa, nama gadis budak
yang masih berusia 10 tahun itu. Tubuhnya kurus untuk ukuran gadis normal yang
sebaya dengannya. Rambut kusut panjang berwarna kecoklatan itu seharusnya lurus
dan berwarna kemerahan. Kulit berwarna kuning langsat itu pun kini berubah
menjadi warna dekil. Wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Namun, wajah
ceria gadis usia 10 tahun kembali terlihat saat ia terbayang akan kebebasan dan
harapan hidup bebas di balik gerbang ini.
Dua tahun
berlalu sejak kebebasannya direnggut dari dirinya. Ia dijual sebagai budak oleh
pamannya yang tak bertanggung jawab yang seharusnya menjaganya. Orang tuanya?
Hilang di luasnya lautan saat hendak pergi merantau. Jadilah kini Elisa
melanjutkan hidupnya dalam kungkungan perintah tanpa keleluasaan untuk
menikmati waktunya sebagai manusia. Tubuhnya memang terikat tetapi hati dan
pikirannya masih memiliki harapan. Suatu hari ia bisa berada di balik gerbang
besi itu.
Elisa
memberanikan diri untuk meminta kebebasan dari ketiga majikannya. Ia tahu ia
sudah menjadi milik mereka saat mereka telah membelinya. Namun ia meyakini,
majikan-majikannya adalah orang yang berpendidikan dan bermoral. Mereka bekerja
untuk negara dan pemerintah. Ia yakin mereka masih memiliki rasa moral yang
tinggi untuk melepaskannya dan hidup selayaknya manusia di luar sana. Bukan
sebagai budak.
Makan
malam, Elisa pikir inilah waktu yang tepat baginya untuk mengatakan
keinginannya. Untuk itu, ia berusaha memasak masakan yang lebih lezat dari
biasanya dengan beberapa menu tambahan yang berbeda pula. Ia yakin jika mood
masternya naik akibat kelezatan masakannya, akan mudah bagi Elisa untuk meyakinkan
mereka. Waktu makan malam tiba, tepat saat pukul 7 malam semua sajian sudah
siap di atas meja makan. Ketiga masternya tiba di ruang makan tak lama setelah
lonceng berhenti berdentang. Mereka terlihat dingin seperti biasa. Tak banyak
sapaan. Tak banyak senyum. Mereka jadi lebih terlihat lebih tua dari umul asli
mereka yang kurang lebih masih kepala empat. Gaya berpakaian resmi pun masih
melekat pada ketiga wanita itu dengan rok hitam selutut dan kemeja berwarna
pucat. Tak heran, mereka adalah wanita lajang pemegang peranan penting dalam
kepemerintahan.
Sebagai
saudara, mereka memiliki kemiripan yang mencolok seperti mata besar dengan
kulit putih pucat akibat jarang diterpa sinar mentari. Namun, secara
kepribadian, mereka semua jauh amat berbeda. Wanita tertua sangatlah pendiam.
Ia jarang bicara, setidaknya tidak sesering saudaranya yang lain, Wanita kedua
dengan rambut keriting abu-abu sebahu
yang juga adiknya, tipe wanita yang terlihat menyenangkan dengan sedikit
senyuman saat ia bicara dengan gayanya yang penuh hormat. Namun jangan sampai
kau membuatnya tersinggung karena ia mudah sekali marah. Sedangkan wanita
paling bungsu, adalah wanita yang banyak bicara dan banyak maunya. Elisa selalu
direpotkan dengan permintaan aneh-aneh seperti membuat semua benda yang ada di
kamarnya berwarna ungu seperti warna bunga lavender yang ia tanam di
halamannya. Walau kepribadian mereka berbeda, satu hal yang membuat kesan
mereka semua sama bagi Elisa. Mereka tak pernah menganggapnya lebih dari
seorang pelayan.
Selesai
makan malam, ketiga wanita itu terlihat puas dengan hidangan buatan Elisa.
Semua hidangan habis. Hanya tersisa sedikit potongan daging asap. Elisa
sesekali ragu untuk mengutarakan niatnya. Bagaimana jika semua masternya marah
dan justru malah mengurungnya di ruang bawah tanah? Bagaimana jika mereka
menyiksanya dengan mengerjakan tugas-tugas berat? Semua pikiran-pikiran buruk
menghantuinya. Tetapi, tidak ada jalan lain. Sekarang atau tidak selamanya!
“Maaf Nyonya.” Ucap Elisa pelan penuh hormat pada ketiga
wanita di hadapannya. “Bagaimana dengan makanannya?”
Wanita
kedua memandang Elisa dengan matanya yang tajam lalu tersenyum yang terlihat
dipaksakan. “Semua terasa lezat namun agak sedikit berbeda dari biasanya
terutama dengan adanya tambahan hidangan berupa puding ubi ungu yang rasanya
cukup pas di lidah kami. Siapa yang meminta dibuatkan hidangan tersebut?”
“Ah, itu saya buat atas inisiatif saya sendiri. Ubi ungu
pemberian tamu kemarin masih banyak. Jadi, saya memanfaatkannya sebagai
hidangan pendamping.”
“Oh begitu. Tetapi jangan sering-sering membuat hidangan
dari ubi itu. Aku tak ingin perutku bermasalah lagi dengan kesalahanmu seperti
dulu. Kau mengerti!” wanita kedua itu kembali menatap Elisa tajam dengan senyum
dingin.
“Baik Nyonya.” Elisa menunduk, wanita itu tampak tak
memperhatikannya. Ia justru sedang bicara dengan kakak tertuanya. Elisa menelan
ludah. Inilah saatnya.
“Maaf Nyonya, bisakah saya meminta waktu Nyonya sebentar?
Ada yang ingin saya katakan.”
“Apa yang ingin kau katakan? Segeralah, aku ingin segera
kembali ke kamar! Jika itu tidak begitu penting, katakan saja besok!” kata
wanita ketiga dengan ketus.
“Ini penting sekali! Sangat penting Nyonya! Saya janji
tidak akan lama.”
“Baiklah! Katakan!” teriak wanita ketiga lagi.
“Bisa dikata bahwa saya sudah lama tinggal di sini. Dan
sejak itu pula saya belum pernah menginjakkan kaki keluar rumah.” Elisa jeda
sebentar. Ia hampir tak bisa melanjutkan akibat melihat ekspresi tidak nyaman
dari ketiga majikannya. “Maka dari itu, jika Nyonya sekalian berkenan, walaupun
untuk sekali saja seumur hidup, saya ingin bisa keluar dan melihat seperti apa
dunia selain rumah ini. Saya selalu memimpikan hal ini. Saya tahu posisi saya
di rumah ini hanya sebagai budak. Tetapi, saya mohon untuk perkara ini
anggaplah saya sebagai manusia yang punya hasrat dan impian.”
“Secara singkat, kau ingin bebas begitu? Bagus, budak ini
semakin tidak tahu diri saja! Kau tidak tahu berapa banyak uang yang kami
habiskan untuk membeli dan memberi makan dirimu setiap hari. Dasar tidak tahu
berterima kasih!” ketus wanita ketiga.
“Maaf Nyonya jika permintaan saya terlalu banyak. Tapi,
tolonglah saya. Saya tahu nasib saya akan terus melayani anda semua. Untuk
itulah, sebelum saya melaksanakan tugas saya, ijinkan saya untuk bisa melihat
dunia di luar sana. Sebelum...” suara Elisa tercekat, kedua matanya mulai
digenangi kesedihan. “Sebelum saya menghabiskan umur saya di sini.”
Ketiga
wanita itu terdiam dengan ekspresi dingin menatap gadis budak malang itu.
Mereka bergumam seperti mendebatkan sesuatu. Akhirnya mereka diam dan memandang
gadis itu lagi. Kali ini wanita kedua angkat bicara.
“Sejujurnya aku tak menyukai berkata seperti ini. Tapi,
apa yang kau katakan ada benarnya juga. Kau membutuhkan sedikit pandangan
mengenai dunia luar sebelum seumur hidupmu kau harus melayani kami dan berada
di rumah ini.”
Wajah
Elisa berubah cerah. Ia memandang wanita kedua dengan pandangan penuh harap.
“Kau bisa pergi keluar! Ya keluar sana. Tetapi, jika kau
ingin keluar kau harus melewati tes yang akan kami berikan. Kami akan melihat
apakah engkau layak untuk diberikan hak meninggalkan rumah ini selama waktu
yang kami berikan.”
“Saya akan lakukan apa saja Nyonya! Apa saja!” ucap Elisa
penuh semangat.
“Baik! Semangat yang cukup bagus tetapi tak akan cukup
untuk melewati tes ini. Kami bertiga ingin kau mengorbankan tiga hal dari
dirimu jika kau ingin keluar. Tiap-tiap dari kami akan memberikan petunjuknya.
Dimulai dari dirimu kak!” wanita kedua menoleh ke arah kakaknya yang berada di
sebelah kanannya.
“Ehem.. Elisa! Kau tahu aku tipe orang yang sangat ketat
dengan manajemen waktu?”
“Iya Nyonya!”
“Oke, jadi aku ingin kau mengorbankan waktumu untuk
mengerjakan segala tugas yang akan aku berikan. Ini akan jauh lebih berat dari
hari-harimu yang lalu. Apakah kau siap?”
“Saya akan berusaha!”
“Bagus! Dik giliranmu.”
“Aku sudah melihat seluruh hasil kerjamu dan hasilnya yah
tidak begitu buruk! Tetapi, kali ini aku ingin kau mengorbakan kekuatanmu untuk
menghasilkan yang jauh lebih baik! Jika kau mengecewakanmu, impianmu hanya kan
menjadi sekedar khayalan!”
Elisa
mengangguk tanda mengerti. Ia lalu memalingkan wajahnya ke arah wanita ketiga.
“Aku benci melakukan ini! Kenapa juga aku harus
repot-repot mengurus impian bodoh gadis biasa seperti dia. Dia...” wanita
ketiga menghentikan ocehannya saat wanita pertama memandangnya dengan tatapan
tajam penuh ancaman. Ia pun terburu-buru menjaga sikapnya dan bicara kembali.
“Baiklah.. aku ingin kau mengorbankan kesabaranmu. Kau tahu aku tipe orang yang
perfeksionis terhadap segala sesuatu. Aku ingin tahu apakah kau bisa menangani
segala perintah yang akan aku berikan. Apakah kau cukup sabar untuk lolos dari
tantanganku.”
“Kau dengar itu?” kata wanita kedua. “Ada tiga tantangan
yang harus kau selesaikan. Waktu tesmu selama tiga hari berarti kau punya satu
hari untuk menyelesaikan satu tantangan. Tiap kali kau lolos satu tantangan,
kau akan mendapat satu potongan kunci. Tiga tantangan untuk tiga potongan. Dan
kau tahu apa yang kan terjadi jika potongan-potongan itu disatukan? Sebuah
kunci gerbang besi akan berada di tanganmu. Kau bisa menggunakannya untuk
keluar dari rumah ini. Namun, kau juga tahu apa yang kan terjadi jika kau gagal
satu tantangan saja? Itu artinya potongan tidak lengkap dan tidak akan berguna
bagimu untuk bisa bebas keluar. Waktu bebasmu jika kau lulus tes ini adalah
sekali setiap minggu. Itu artinya kau bisa bebas keluar rumah ini setiap satu hari
selama tujuh hari. Kau mengerti?”
“Saya.. saya mengerti Nyonya! Terima kasih! Terima kasih
banyak!”
“Dasar gadis bodoh! Kau belum tentu lulus! Jangan banyak
berterima kasih seperti itu! Percuma saja jika kau gagal!” ketus wanita ketiga.
“Saya akan berusaha yang terbaik!” semangat Elisa membuncah.
“Baiklah! Tantanganmu akan dimulai besok! Tantangan dari
kakakku akan menjadi yang pertama. Bersiaplah menjemput impian atau
kemalanganmu, Elisa!” ucap wanita kedua lagi. Seberkas senyum mengembang di
wajahnya. Senyuman aneh yang terlihat dipaksakan.
Ruang
makan telah sepi. Ketiga majikan Elisa sudah kembali ke kamar masing-masing.
Tinggallah Elisa sendiri, berdiri menatap gerbang besi dengan mata berbinar. Aku pasti kan berada di sisi lain gerbang
besi ini! Segera! batin Elisa.
To be Continued....
Author : Izzatur R. (zaturania)
Say No to PLAGIARISM!
Comments
Post a Comment