Malang, 06 Mei 2013
Aku tidak tahu harus berbuat apa saat melihat pemandangan
itu. Hanya mengalihkan pandangan sedihku, berlalu, sambil memanjatkan doa.
“Tuhan, berikanlah rezeki yang halal dan
lancar untuk mereka. Maaf jika rezeki dari-Mu untuk mereka tak berasal dari
tanganku.”
Tak hanya berhenti sampai di situ. Aku merasa malu. Aku
teringat akan bagaimana menyedihkannya aku yang masih belum bisa hidup mandiri
seperti mereka. Apa yang ku lakukan selama ini? Aku belum bisa membantu mereka.
“Tuhanku, sebegini menyedihkannya aku? Masih
saja merepotkan orang lain tanpa memberi manfaat yang berarti?”
Aku tak kuat membendungnya lagi. Air mataku tumpah saat
melihat saudaraku yang berjuang demi sekedar tuk bernafas di muka bumi.
Dibandingkan dengan aku, mereka jauh lebih susah. Lalu aku harus bagaimana? Aku
merasa tak berani tuk bersyukur dengan kehidupanku yang lebih baik. Aku takut!
Aku takut!
“Katakanlah Tuhan, haruskah aku merasa
bersyukur aku mendapat yang lebih baik dari mereka? Aku takut! Aku takut itu
menyakiti mereka Tuhan! Aku takut mereka berpikir Dirimu tak adil!”
Bapak dan Ibu nan jauh di sana berdoa dan berjuang demi
diriku di sini. Air mata, keringat, dan emosi terkuras demi aku. Berharap aku
kan serius menggapai cita-citaku dan cita-cita kami bersama. Aku tahu itu.
Tetapi, apakah usaha ini cukup? Aku tak tahu apakah ini cukup tuk membuat
mereka bangga memilikiku.
“Wahai Tuhanku, bisakah Kau memberiku satu
ukuran pasti kebahagiaan orang tuaku? Apakah itu keberhasilanku dalam belajar?
Apakah itu sikapku yang baik? Apa itu Tuhan? Beri tahu aku supaya aku tahu cara
tuk membuat mereka bahagia.”
Hanya ini?!
Risalah hatiku yang tak menemukan jawabnya!
Comments
Post a Comment