Malang, 11 Mei 2013
Mei sudah berjalan selama 10 hari. Ya tak diragukan lagi
memang. Namun, aku masih meragukan musim apa sekarang. Seharusnya memang musim
kemarau. Apa benar kemarau?
Mentari memancarkan sinarnya yang terik membakar kulit di
atas sana. Hawa panas terasa menyengat wajah saat terpapar olehnya. Debu-debu
jalanan terbang kemana-mana. Daun-daun kuning kecoklatan jatuh dengan pelannya
diterpa angin yang datang entah darimana. Asap kendaraan terasa makin memanaskan
udara. Keringat dari badan mengucur sebagai akibatnya. Pertanda bahwa di kota
dingin ini, musim kemarau sudah menyapa tanpa diundang.
Selalu ada cahaya di dalam kegelapan sekecil apapun itu.
Dalam hal ini mungkin lebih tepat jika ku tuliskan “Selalu ada hujan di tengah
kemarau sekalipun”. Apakah ini berlaku untuk semua kemarau? Entahlah, siapa
yang tahu? Namun, di kota ini sepertinya ini berlaku. Air langit turun dengan
derasnya di tengah panas yang terik. Hari ini, ya hari ini hujan datang lagi.
Menyejukkan, menyegarkan, serta memberi berkah bagi alam serta makhluk-Nya.
Wangi khas hujan tercium walaupun saat itu aku berada di
dalam kamar. Wangi tanah yang basah akibat air yang turun dari langit, membawa
rasa lega yang teramat dalam. Sudah lama sekali rasanya tak mencium wangi itu.
Aku tidak ingat kapan terakhir kalinya. Dan hujan kali ini, dengan tak disangka
membawa wangi yang selalu membuatku rindu akan ketenangan saat hujan turun.
Mengapa hujan turun hari ini? Apakah ini pertanda
perpisahan yang kan lama? Apakah alam kan lama tak kan bertemu dengannya? Apa
ini hujan terakhir? Ataukah ini sebuah ucapan pertemuan bahwa ia kan turun di
musim kemarau sekalipun? Ah, aku tidak tahu! Kenapa harus memikirkan itu
sekarang? Mengapa tak kita nikmati saja rezeki Yang Kuasa ini? Hujan di tengah
kemarau.
Comments
Post a Comment