Malang, 30 Maret 2013
Ku pandangi sebuah kotak berwarna oranye yang berdiri
tegak di seberang jalan tepat di depan gerbang kampus Universitas Islam Negeri
Malang. Jalanan saat itu sedang ramai. Penuh sesak dengan berbagai mesin beroda
yang sliweran tak mau mengalah.
“Bagaimana caraku untuk menyeberang bila seramai ini?”
pikirku.
Ku tunggu sampai ada kesempatan bagiku tuk menyeberang.
Semenit, dua menit, tak ada celah sama sekali untukku. Mereka tak mau
memelankan sedikit saja mesin beroda asal negeri Jepang itu tuk membiarkan
seorang perempuan sepertiku tuk lewat. Hari sudah semakin siang dan langit
semakin tak bersahabat dengan mendungnya. Aku harus ke sana. Memasukkan suratku
ke dalam kotak oranye bertuliskan Bis Surat.
Ku temukan celah tuk bergegas ke seberang jalan. Tak
kusia-siakan kesempatan ini tuk menyeberang. Ku tengok kanan, ku tengok kiri,
mesin beroda masih 3 meter jauhnya dariku. Aku berjalan sambil memberi isyarat
dengan tangan kanan menandakan tolong
pelankan sedikir kendaraan anda karena saya mau menyeberang. Aku merasa
sedikit lega mesin beroda berwarna biru itu mau memelankan kendaraannya. Namun,
tiba-tiba saja ada sebuah sepeda motor yang melaju ke arahku. Ia menyalip mesin beroda biru yang berjalan
pelan dan terus melaju tanpa hambatan. Aku yang kaget langsung melompat ke
belakang sedangkan sepeda motor itu mendadak berhenti di jalur yang berlawanan.
Hampir saja ia menabrak sebuah mesin beroda pribadi berwarna silver berplatkan
N. Untungnya tak terjadi kecelakaan, hanya antrian kendaraan yang tersisa.
Pengendara sepeda motor itu ternyata seorang pria dengan
jaket kulit hitam dan sepatu hitam mengkilat. Sepeda motor berwarna merahnya
terlihat layaknya sepeda untuk balap. Ia turun dari motornya setelah melepas
helm silver yang ia kenakan. Ia menoleh ke arahku dengan wajah menyeramkan
seperti orang yang sangat marah.
“Matamu itu dimana?!” teriak pria itu. “Gara-gara situ
saya hampir saja menabrak mobil! Kalau motor saya rusak gimana? Kalau saya luka
situ mau nanggung biayanya?!”
Aku yang masih tegak berdiri kaku di pinggir jalan kaget
bukan main dengan apa yang ia katakan. Yang salah siapa yang disalahkan siapa?
Aku hanya diam tak menyahuti apa yang ia katakan walaupun hati ini geram dengan
ucapan yang terlontar dari mulutnya.
"Seharusnya ia minta maaf padaku dan menanyakan
keadaanku bukannya marah dan mencelaku!" batinku.
Beberapa bapak-bapak menyuruh
si pria itu untuk segera pergi. Seorang ibu muda bersama anaknya yang
berseragam TK mengajakku untuk menyeberang bersama agak jauh dari lokasi
insiden itu. Pria itu masih memandangiku dengan sorot mata tajam dan ekspresi
mengerikan saat aku beranjak dari tempatku berdiri. Ia berlalu bersama sepeda
motor merahnya. Melaju kencang tak peduli ada nyawa berharga yang berusaha tuk
menyeberang. Tak mau tahu dengan orang lain. Hanya peduli dengan diri sendiri.
Sumber : vandabundadea.blogspot.com |
Hanya luapan
kesal penulis dengan ramainya jalan di Kota Malang dengan pengendara yang
seringnya tak bertanggung jawab.
Comments
Post a Comment