Jogjakarta,
09 Maret 2013
Pagi pertama di Jogja hampir saja ku lewati
dengan tidur. Mengobrol dengan Gita sampai larut malam buatku kesiangan. Tak
apa! Kapan lagi aku kesiangan di rumah Gita? Saat jam tangaku menunjukkan pukul
9 pagi, aku dan Gita berangkat menuju ke Malioboro untuk berburu buku. Awalnya
aku mau diajak ke kampus Gita yaitu Universitas Sanata Dharma supaya aku tidak
sendirian di rumah mengingat Gita ada kuliah pagi. Syukurnya, acara kuliah Gita
dibatalkan dan dia bisa menemaniku jalan-jalan.
Setelah sarapan semangkuk soto di angkringan
pinggir jalan kami langsung meluncur ke Malioboro. Sepanjang jalan ku amati dan
ku dapati bahwa Jogjakarta sangatlah ramai dan padat dengan kendaraan bermotor.
Dimana-mana terlihat kendaraan berplat AB. Matahari bersinar dengan teriknya
dan panasnya berkali lipat bila dibandingkan dengan Malang. Tapi, aku tak
peduli. Memandangi kota Jogjakarta yang rapi dengan barisan bangunan khas
Belanda buatku selalu lupa akan terbakarnya wajahku oleh pancaran si matahari.
Kalau kemarin malamnya aku melihat tugu jogja dengan cahaya lampu sebagai
latarnya, di kesempatan kali itu aku melihat tugu Jogja berlatar bentangan
langit biru dan gumpalan awan putih yang beriringan. Sungguh pemandangan yang
indah.
Tugu Jogja di siang hari. |
Sampai di Malioboro, Gita mengajakku masuk ke
dalam Mall Malioboro. Aku ingat terakhir kali aku pergi ke sana saat aku masih
kelas 3 SMA. Sekarang, Mall itu terlihat masih sama dengan dulu kalau pun ada
perbedaan yang dominan adalah penataan bagian depan yang terlihat lebih cantik
dengan tanaman merambat. Tujuan utamaku adalah toko buku yang menjual buku
impor. Dan di sebuah toko buku yang entah namanya apa, aku menemukan jubelan
novel-novel impor yang terpajang rapi di atas meja. Kartu pos beraneka ragam di
etalase toko itu buatku ingin sekali membelinya tetapi sebelum itu aku harus
memenuhi tujuanku tuk memiliki novel impor. Sayang aku tak menemukan novel yang
aku cari. Akhirnya aku memutuskan tuk keluar.
Gramedia menjadi tujuan selanjutnya. Ada
banyak buku bagus yang ingin aku miliki seperti Rectoverso karya Dee. Namun,
novel yang aku cari tak ku temukan di sana.
Gita mengajakku pergi ke pasar buku Taman
Pintar yang masih berada di Malioboro. Letaknya lumayan jauh dari MM apalagi
kalau jalan kaki seperti yang aku dan Gita lakukan. Tidak rugi kok berjalan
kaki! Banyak hal menarik yang bisa aku lihat selama perjalanan. Yang buatku
ternganga adalah banyaknya bis surat besar yang terletak di pinggir jalan. Di
Malang jarang sekali ada yang seperti itu. Pedagang-pedagang pakaian di emperan
jalan menjadi pemandangan khas Malioboro. Ada banyak sekali kaos-kaos khas
Jogja yang unik-unik dengan slogannya yang juga unik. Berbagai produk batik
seperti dress, tas, blangkon, dan kaos juga tersedia sepanjang mata memandang.
Jajanan khas Jogja seperti bakpia juga gampang sekali ditemukan. Harga yang
ditawarkan juga bisa dibanting murah asal pintar menawar itu sih kata orang.
Aku sendiri sama sekali tidak membeli baju di jogja dengan alasan penghematan
dan memang tidak tertarik.
Suasana Jalan Malioboro |
I'll miss this sight for sure! |
Aku yang belum
pernah masuk ke pasar Beringharjo akhirnya diajak lewat sana oleh Gita.
Kesanku, ramai! Dimana-mana yang terlihat hanya batik. Dimana-mana yang
terlihat orang berlalu lalang dan sibuk menawar harga. Ah! Seandainya aku
seorang yang gila belanja, aku pasti sudah kesurupan melihat yang seperti itu.
Selain pakaian banyak komoditi lain yang dijual di sana seperti rempah-rempah,
makanan, dan lain-lain. Kalau dilihat lagi, pasar Beringharjo mirip dengan
Pasar Besar di Kota Malang.
Setelah berdesakan melewati pasar dan jalan
yang sempit akhirnya aku dan Gita sampai di pasar buku Taman Pintar. Well, that
place is amazing! Jauh lebih besar dan toko bukunya lebih bervariasi daripada
Pasar Buku Wilis di Malang. Banyak sekali varian buku yang dijual dan buku
impor bekas mudah sekali ditemukan di sana.
Setelah berkeliling di lantai 2, pertama aku
membeli buku karya Dee, Rectoverso dengan harga yang jauh lebih murah dari yang
dijual di toko buku. Cuma Rp 13.000 aku mendapatkan Rectoverso yang aku cari.
Aku menemukan satu novel berbahasa Inggris yang berjudul Where the Heart Is
karya Billie Letts. Ini memang bukan novel yang aku cari. Tetapi, sedikir
banyak novel itu buatku tertarik. Setelah berkeliling lagi, aku menemukan
berbagai buku yang ingin aku baca seperti Syekh Siti Jenar karya dosen FIB UB
Bapak Agus Sunyoto. Yang paling buatku senang adalah aku menemukan buku karya
penulis favoritku Putu Wijaya yang berjudul Goro-Goro. Buku itu ternyata cuma
ada di satu toko buku di penjuru pasar. Banyak penjual buku yang sudah tak
memiliki buku karya Putu Wijaya. Mereka berkata bahwa buku karya Putu Wijaya
sudah tidak terbit lagi. Aku merasa beruntung sekali bisa memiliki Goro-Goro
dengan harga Rp 49.000 lebih murah dari harga awal Rp 69.000.
Di pasar buku aku bertemu dengan Bayu. Aku
memang sudah memintanya untuk menemaniku selama 2 hari aku berada di Jogja. Aku
buta akan Jogja jadi aku perlu guide dan teman yang bisa menunjukkan jalan dan
menemaniku.
Lapar setelah berputar-putar kian terasa saat
waktu makan siang tiba. Aku, Gita, dan Bayu memutuskan untuk makan siang.
Awalnya mau makan di McD MM tetapi akhirnya beralih ke KFC dengan alasan
kemahalan. Agak sayang juga sih jauh-jauh ke Jogja tetapi makannya di KFC.
Tetapi, di tengah cuaca yang panas, makan di Mall adalah pilihan terbaik untuk
mengademkan diri.
Kami mengobrol bersama saat makan siang. Bayu
dan Gita yang awalnya tidak saling kenal akhirnya bisa akrab dengan mudah.
Mereka memang tidak saling kenal namun ada berbagai hal yang sebenarnya membuat
mereka saling terhubung. Kenyataan bahwa kami sama-sama berasal dari daerah
yang sama menjadi salah satu penghubung tak terlihat tersebut. Sialnya, mereka
kompak sekali walau baru kenal. Dengan mudahnya mereka membully aku. Beberapa
kali mereka bercanda membanding-bandingkan Kota Jogja dengan Kota Malang. Buruk
sekali aku tak bisa menjawab candaan mereka. Apa anak Jogja memang kayak gitu
ya? Entah, tapi dilihat dari kekompakan mereka sepertinya memang benar.
Kami memutuskan untuk pulang dan melanjutkan
acara jalan-jalan pada malam hari. Tujuan kami selanjutnya adalah Taman Lampion
yang terdapat di Taman Pelangi. Kami bertiga berjanji untuk berangkat pada
pukul 7 malam.
Lokasi taman lampion ternyata lumayan jauh
dari rumah Gita di daerah Godean. Tapi biar jauh aku tetap bersemangat karena
ini akan menjadi pengalaman pertamaku mengunjungi taman lampion. Di lokasi aku
dan Gita sampai berbarengan dengan Bayu. Malam itu temanku satu lagi yaitu Bayu
Adhi juga ikut. Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp 15.000 per orang dan
parkir seharga Rp 1000 kami berempat memulai ritual menikmati cahaya
warna-warni yang terpancar dari berbagai lampion dengan berbagai bentuk.
Tiket masuk taman lampion! |
Jejeran lampion Hello Kitty yang terlihat dari bawah! |
Bentuknya lucu! Jamur jamur jamur |
Nuansanya romantis sekali untuk pasangan. |
Kupu-kupu! |
Nuansa Natal! |
Indah sekali warna-warni lampion yang terdapat
di taman lampion. Aneka bentuknya sangat unik. Ada yang berbentuk bunga, jamur,
jack o lantern, hello kitty, presiden Indonesia, Santa Klaus, kupu-kupu, ular,
dan lainnya. Ingin rasanya berfoto dengan mereka semua. Sayang kami berempat
tidak ada yang membawa kamera yang ada blitznya. Aku pun hanya bermodal kamera
handphone. Akhirnya kami berempat tidak berfoto sama sekali dan hanya menikmati
keindahan yang disajikan. Tak apalah. Ini saja sudah cukup. Semoga suatu hari aku bisa mengunjungi tempat seindah ini bersama orang yang berharga sekali buatku. Amin...
Ada satu hiburan yang entah bisa disebut
hiburan atau tidak terdapat di taman pelangi. Kami berempat memutuskan untuk
menjajal wahana seram yang bernama Rumah Hantu itu. Dengan membayar sebesar Rp
10.000 per orang aku bersama ketiga temanku mengadu nyali dihadapan hantu-hantu
khas Indonesia. Aku sebenarnya tidak tertarik dengan wahana satu ini. Karena di
Malang banyak sekali wahana rumah hantu yang pernah aku masuki. Tetapi, karena
kesempatan bermain bersama mereka bertiga sangat sayang dilewatkan akhirnya aku
pun ikut masuk ke wahana yang bikin anak-anak kecil menjerit bahkan sebelum
memasukinya.
Sebenarnya wahana itu kurang tepat jika
disebut sebagai rumah hantu. Labirin hantu itu nama yang pas. Ketika aku masuk
lewat sebuah gerbang yang dihias dengan boneka manusia gantung diri di atasnya,
sontak semerbak wewangian menyan menyeruak menyengat indera penciumanku.
Terdapat sebuah kuburan yang menganga lengkap dengan pocong imitasi yang tidur
di atasnya. Kesan menyeramkan ku pikir berusaha ditampilkan si pembuat wahana
itu dengan menaruh lampu remang-remang di sekitar kuburan. Itu menurutku kurang
seram karena kelihatan banget buatannya. Nah, yang bikin agak seram itu adalah
pohon-pohon besar yang berdiri tegak di tengah-tengah wahana. Sudah hal umum
jika makhluk astral suka tinggal di
pohon. Makanya aku rada ngeri juga kalau nanti setelah keluar wahana aku ketempelan dan diikuti sampai ke Malang.
Hiii....!
Melewati jalan demi jalan bersama rombongan,
sudah tak terhitung berapa jumlah hantu imitasi yang berusaha menakut-nakuti
aku dan temanku. Mulai dari pocong, kuntilanak, dan entah makhluk hitam apa
dengan rambut panjang bersuara dan bertingkah aneh yang aku sendiri tak tahu
apakah setan asli bertingkah seperti itu. Aku sendiri yang jalan paling
belakang hanya tertawa mendengar jeritan gadis-gadis berjilbab yang berjalan di
depan. Sering aku berkata “Biasa ae Mas!”
kepada hantu-hantu imitasi tersebut. Niatku berkata seperti itu adalah
supaya ia tidak mendesah dan bersuara layaknya cowok gak bermoral mau melakukan
hal jahat terhadap gadis tak berdosa. Ah aku nulis apa sih? Namun sepertinya
aku kualat berkata seperti itu kepada mereka. Karena tepat saat aku mau keluar
melewati gerbang, aku yang berjalan paling belakang tiba-tiba saja dikejar oleh
sebuah pocong yang lompat-lompat. Namanya juga reflek, kontan saja aku berlari
mendahului teman-temanku yang berada di depan. Sontak Bayu, Bayu Adhi, yang
berada di depanku menertawai aku yang berlari cepat. Aku bukannya takut sama
hantu imitasinya. Aku cuma takut ia melakukan hal buruk padaku karena aku
berjalan paling belakang dan jarakku dengan rombongan di depan lumayan juga.
Setelah memasuki wahana labirin hantu dan
menikmati indahnya cahaya, kami memutuskan untuk makan malam. Awalnya mau makan
di warung-warung taman lampion. Namun, akhirnya kami memutuskan untuk makan di
luar yakni di SS atau Sambal-Sambal yang entah berada di cabang mana. Menuju ke
SS menurutku rada ruwet. Melewati kampus UGM yang gedenya berpuluh kali lipat
dari kampus UB. Jalan-jalan gelap yang entah namanya apa. Aku sih pokoknya ikut
yang mengantar aku saja karena aku buta akan Jogja. Saat itu waktu sudah
menunjukkan pukul 21.30 WIB, setengah jam sebelum SS tutup. Jujur saja, aku
sudah sangat mengantuk saat itu. Tapi tetap saja, aku butuh makan demi mengisi
perutku. Makanan yang aku pesan adalah nasi, telur yang mirip telur dadar,
sambal kecap diimbangi dengan minuman teh hangat. Aku pikir makan malam itu
akan menjadi makan malam pertama di Jogja yang nikmat bersama dengan
teman-temanku yang lama tak ku temui. Namun apa yang ku dapat! Aku sama sekali
tidak bisa makan! Telurnya pedas sekali ternyata! Apalagi pedas sambalnya yang bikin
tubuhku kesemutan. Dan pilihan teh hangatku menambah buruk nafsu makanku. Oh My
God! Makan malam terburuk yang pernah aku rasakan karena kepedasannnya yang
tidak toleran.
Setelah makan malam disertai obrolah yang
buatku agak merasa bersalah karena sedikit banyak menyinggung cerita hidup
temanku Bayu, kami memutuskan untuk pulang dan melanjutkan petualangan keesokan
harinya. Jika dilanjutkan malam itu juga, aku yakin aku bisa tidur di atas
motor. Capek, lemas, dan ngantuk menghantam tubuhku tanpa ampun. Pikiranku
hanya tertuju pada satu hal saat perjalanan pulang, tidur.
Comments
Post a Comment