Malang, 06 Januari 2013
“Jika ada sebuah batu ajaib yang dapat mengabulkan satu
permintaan, apa yang akan kamu minta ri!” tanya Lori padaku saat aku sedang mengumpulkan
dedaunan berwarna merah yang gugur dari pohonnya.
“Umm... mungkin baju baru.”
“Ah tidak seru! Kalau aku punya benda seperti itu aku
akan meminta sebuah pesawat luar angkasa yang bisa membawaku terbang menuju Planet
Venus!” ucapnya penuh semangat sambil menunjuk langit biru dengan jari telunjuk
tangan kanannya.
“Kenapa Venus?”
“Karena ia terlihat indah dari bumi.”
“Cuma itu?”
“Iya.” Lori memandangku sejenak lalu merebahkan tubuhnya
ke atas hamparan rerumputan yang menguning.
Ku rebahkan diriku di sebelahnya. Angin yang mulai dingin
menyibak rambut hitam pendekku. Suasana tenang ditemani dengan mentari yang
masih cerah bersinar di atas sana benar-benar buatku ingin tertidur. Dan yang
jelas suara dengkuran Lori menandakan ia sudah tertidur pulas. Ku pandangi
wajahnya sesaat. “Venus ya?” bisikku pelan.
***
Sejak mengatakan keinginannya waktu itu, Lori menjadi
terobsesi untuk menemukan berbagai benda ajaib yang dapat mengabulkan
keinginan. Suatu ketika ia membeli banyak batu warna-warni dari seorang peramal
yang mengaku peramal sakti mandraguna dari negeri Mesir. Ia berkata batu itu
bisa mengabulkan permintaan apapun. Namun, untuk dapat mengabulkan permintaan,
batu-batu seukuran kelereng itu harus direndam dengan air dari hulu sungai
selama 40 malam. Pada akhirnya, batu-batu tersebut tak dapat mengabulkan
permintaan Lori. Hal sebaliknya justru terjadi. Lori harus kehabisan uang
sakunya akibat ditipu oleh si peramal gadungan dan menderita beberapa luka di
beberapa bagian tubuhnya yang ia dapat dari usaha mengambil air hulu sungai
yang letaknya amat jauh dari Desa Sweet Palm. Aku hanya bisa menertawakan
kebodohan parahnya saat ia menceritakan hal itu padaku. Dari penampilannya yang
selalu berpakaian berantakan dengan baju yang kebesaran dan celana panjang yang
robek di bagian lutut kanan, aku tahu ia bodoh dan kekanak-kanakan. Namun, aku tak menyangka
seburuk itu kebodohannya.
Masih belum kapok, Lori justru semakin semangat mencari
benda-benda ajaib yang dapat mengabulkan permintaan. Suatu ketika, Lori dengan
napas yang terengah-engah masuk ke rumahku tanpa mengetuk pintu terlebih
dahulu. Ia datang dengan pakaian yang basah karena keringat dan sepatu yang
kedua talinya terlepas. Sebuah gulungan kertas lusuh dibawanya di tangan kanan.
Sedangkan tangan kirinya menguncang-guncang tubuhku. Dengan mata yang
berbinar-binar ia mengatakan padaku bahwa kertas itu adalah peta yang
menunjukkan letak sebuah kristal ajaib peninggalan seorang penyihir yang
katanya sakti. Ia menunjukkan peta itu padaku dengan bangganya. Walaupun
pandangan mataku sedikit kabur, aku bisa melihat gambar-gambar unik dan
sepertinya aneh karena aku tak mengenal satu pun objek yang ada di peta itu.
Namun, Lori menjelaskan objek-objek itu dengan pengetahuannya yang dicampur
dengan sebaskom raksasa imajinasi. Aku hanya bisa mengangguk dan menggeleng
mendengar segala yang ia katakan. Tetapi, seketika aku tertegun ketika membaca
tulisan kecil yang berada di pojok kanan bawah peta itu. “Ancient Egypt” begitulah yang tertulis. Dengan kata lain peta ini
merupakan peta Mesir jaman kuno. Bagaimana bisa Lori pergi ke Mesir dengan
jarak ribuan kilometer dari desa kami? Ke luar desa saja ia tidak pernah pikirku.
Begitu ku tunjukkan fakta akan tulisan itu, Lori terkejut disusul dengan
ekspresi wajah kecewa bagaikan wajah seorang anak kecil yang sedih saat kedua
orang tuanya tak jadi mengajaknya jalan-jalan. Aku berusaha menyemangatinya
dengan memuji betapa hebatnya ia bisa memiliki peta kuno seperti itu walaupun
sebenarnya aku tahu kalau dia mendapatkan peta itu dari pasar loak desa.
***
Hari demi hari berlalu, aku tak bertemu Lori lagi setelah
kedatangannya dengan peta kuno itu. Udara di luar semakin dinging dan
pemandangan pun berubah putih. ‘Apakah ia masih mencari benda ajaib yang bisa mengabulkan
permintaannya itu?’ pikirku. ‘Jika iya, apakah ia di luar sana baik-baik saja?’
Dari atas ranjang tidurku aku hanya bisa berdoa agar ia segera menghentikan
pencarian itu sebelum waktu berakhir. Waktu yang membiarkan aku bisa bersama
dengan Lori, bocah laki-laki berusia 13 tahun yang sebaya denganku dan telah menjadi sahabatku sejak aku
pindah ke desa ini saat musim semi menyapa setahun yang lalu. Tubuhku semakin kurus, kulitku
semakin pucat, pandanganku semakin kabur hari demi hari, untuk mendengar pun
semakin sulit. Tetapi, tidak apa-apa. Aku sudah mempersiapkan diri dengan baik.
Namun, aku belum bisa pergi. Tidak sebelum aku bertemu dengan Lori.
***
Mataku semakin terasa berat saat ku lihat jendela kamarku
mulai tertutupi benda putih bagaikan kapas. Aku mengantuk. Namun, rasa kantuk
ini lebih berat dari biasanya. Aku belum mau tertidur dulu. Masih ada seseorang
yang ingin ku pandangi wajahnya sebelum aku tertidur. Nafasku mulai terasa
berat. Aku masih mau menghirup wangi khas Lori yang selalu bau keringat sebelum
nafasku usai.
‘Hei, kamu
dimana Lori? Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi! Nanti kamu akan ku
tinggal!’ batinku menjerit. ‘Apakah kamu lebih mementingkan batu ajaib itu
lebih dari aku sahabatmu?’. Ah, aku baru ingat aku tidak pernah menceritakan
kondisi kesehatanku padanya. Wajar saja dia tak datang padaku. Kenyataan itu
membuatku lega namun takut. Aku lega karena tak mambuat Lori mengkhawatirkanku.
Namun, aku takut jika dia datang saat aku telah pergi. Aku tak bisa
membayangkan apa yang kan terjadi padanya. Aku tak bisa membayangkan betapa
menyesalnya jika aku pergi dengan cara yang seperti itu. Sesak dada ini terasa
karena sulit bernafas. Namun, jauh lebih sesak lagi jika aku pergi tanpa pamit
padanya. Perih sekali rasanya penyakit yang menggerogoti tubuhku ini. Tetapi,
jauh lebih perih rasanya jika aku melihatnya menangis karena kepergianku. Rasa
sakit di tubuhku ini memang selalu buatku menangis setiap malamnya. Namun,
tangisanku jauh lebih keras dan lebih sering saat aku teringat bagaimana
sedihnya saat Lori menderita karena aku. Kelainan darah ini memang tak mungkin
buatku hidup lebih lama. Hidupku memang hanya sebentar. Namun, waktu singkat
yang aku habiskan sudah lebih dari cukup untuk menganggap Lori adalah orang
yang berharga dalam hidupku. Sebentar saja, sebentar saja berikan aku waktu
Tuhan untuk bertemu dengannya. Aku tidak ingin diriku menyesal. Aku tidak ingin
buatnya menyesal dan bersedih untuk yang terakhir kali.
Aku mendengar suara derak sepatu yang familiar itu. Suara
itu terdengar samar di telingaku namun masih bisa ku dengar bahwa suara itu
semakin dekat. Suara pintu terbuka keras dan suara napas yang tersenga-sengal
yang ku dengar itu jelas milik Lori. Mataku ku paksakan untuk terbuka.
Pandanganku kabur namun masih dapat ku lihat Lori berada di sampingku. Bisa ku
lihat wajahnya yang kelelahan dengan butiran-butiran keringat menghias di
sana-sini. ‘Akhirnya aku bertemu dengannya’ batinku bicara. Ku sunggingkan
senyumku padanya. Hanya senyum tipis ini yang dapat ku berikan padanya sebagai
sambutan.
“Nuri! Lihat! Aku menemukan batu ajaib itu. Dengan ini
permintaan dapat terkabul!” ucapnya semangat dengan ekspresi wajah yang sedih.
Lori menaruh sesuatu di telapak tangan kananku. Bisa ku
rasakan bentuk benda itu bulat dan halus sekali. Lori menggenggam tanganku
dengan tangan kanannya yang terasa kasar. Ia mengarahkan kedua tangan kami ke
wajahku. Aku bisa melihat batu itu kini. Batu bulat indah berwarna putih kecoklatan bagaikan warna Planet Venus yang sering aku lihat di buku. Aku terkesan dengan
keindahan warna batu itu. Tetapi, aku masih tak yakin batu itu memiliki
kekuatan ajaib untuk mengabulkan keinginan.
“Batu apa ini?”
“Aku menamainya Batu Venus. Itu batu ajaib asli yang bisa
mengabulkan permintaan.”
“Ho?" aku sedikit merasa yakin akan batu itu saat mendengar jawaban Lori yang begitu yakin. "Ini bukan untuk aku kan?” tanyaku terbata-bata.
“Bukan, ini masih jadi milikku namun untuk sementara aku
titipkan padamu.”
“Kenapa?”
“Untuk saat ini kamu lebih membutuhkannya daripada aku.
Tapi, aku janji nanti akan ku ambil kembali. Aku sudah bersusah payah
menemukannya. Aku tidak rela memberikannya padamu seutuhnya.”
“Tapi Lori, kamu bilang kamu ingin pergi ke Planet Venus,
lagipula aku tidak...”
“Karena itu
berjanjilah kamu akan mengembalikannya! Kapan pun itu! Aku akan datang padamu
saat permintaanmu terkabul!”
Lori memotong
ucapanku sebelum aku sempat menyelesaikannya. Ada apa ini? Nada suara Lori
terdengar bergetar. Ia tertunduk. Aku tak bisa melihat wajahnya. Kini ia
terisak. Suara isakan itu dibarengi dengan gerakan tangan Lori yang mengusap
matanya. ‘Tidak! Bukan ini yang ingin ku lihat dari Lori! Aku ingin dia yang
ceria di hari terakhir ini. Aku tidak ingin pergi dengan meninggalkan kesedihan
padanya. Ku mohon tersenyumlah padaku sekali saja! Jangan tunjukkan wajahmu
yang sedih padaku. Biarkan senyummu menjadi bekal terindah untukku bawa ke
dunia sana.’
“Aku janji.” ucapku
pada Lori. Aku berusaha menggenggam tangan kanan Lori dengan erat sebisaku.
“Namun, bolehkah aku meminta permintaan bersamamu? Kali ini saja. Supaya
permintaan kita berdua terkabul. Ya?”
Lori
mengangguk pelan lalu mengeratkan genggaman tangannya. Wajahnya masih terlihat
lesu. Aku mencoba untuk tersenyum. Ku harap senyumanku bisa membuatnya lebih
baik.
Di tengah
dinginnya udara dan ketenangan musim dingin, kami memejamkan mata lalu berdoa
dalam hati. Doaku yang ku panjatkan pada Tuhan adalah rasa terima kasihku atas
keajaiban hari terakhir yang diberikannya melalui batu ajaib bernama Batu
Venus. Aku berterima kasih pada-Nya karena Lori akhirnya datang tepat pada
waktunya. Aku memohon pada-Nya agar selalu menjaga dan melindungi Lori selama
ia di dunia. Aku memohon pada-Nya agar suatu saat kami bisa dipertemukan
kembali. Mungkin ini agak egois tetapi aku ingin tempat pertemuan itu di Planet
Venus yang indah. Ah aku terlalu banyak meminta ternyata.
“Lori, apa
yang kamu minta?” tanyaku pelan.
“Jelas rahasia
dong! Mana boleh dibuka!” ucapnya dengan nada suara yang lebih ceria tentunya
dengan wajahnya yang malu-malu.
“Oh ya, apa
kamu masih ingin pergi ke Venus?”
“Tentu, itu
cita-citaku.”
“Jelaskan
padaku kenapa? Tak mungkin hanya karena ia cantik kan?”
“Itu karena
namamu. Namamu Nuri Aprilia Venus kan? Aku ingin tahu seindah apa Planet Venus
hingga Ibumu memberi nama Venus padamu. Venus yang berarti dewi cinta sangat
cocok dengan dirimu.” wajahnya yang memerah bisa ku lihat walaupun tak terlalu
jelas.
Aku tersenyum
mendengar alasan aneh namun manis itu. Tak ku duga itu semua berawal dari
namaku. “Sepertinya aku akan lebih dulu pergi ke sana, Ri.”
“Kalau begitu
tolong sampaikan salamku pada makhluk misterius yang ada di sana ya.”
“Baiklah akan
ku sampaikan salam dari Lori si bocah pencari batu ajaib.” Aku tersenyum
melihat ekspresi wajah Lori yang cemberut mendengar ucapanku. “Lori, bisa
tolong genggam tanganku erat sampai aku tertidur?” pintaku
“Iya, akan ku
temani dirimu hingga terlelap Nuri.”
“Oh ya,
sebelum aku tertidur aku ingin mengucapkan terima kasih padamu.”
“Untuk apa?”
“Terima kasih
untuk membuatku menyukaimu. Semoga keinginanmu terwujud ri.”
“Aku juga
Nuri. Semoga keinginanmu dalam Bola Venus terwujud.” ucapnya dengan senyuman di
wajah yang buatku tenang sedamai saat-saat turunnya salju di luar jendela
kamarku. Setidaknya senyuman itu menjadi bekal untukku bawa pergi.
Rasa kantuk
itu semakin berat dan dengan segera akan membawaku terlelap. Masih bisa ku
rasakan genggaman tangan Lori yang semakin lama semakin tak terasa akibat
tanganku yang mati rasa. Ketika aku terlelap dalam rasa kantuk yang berat, aku
yakin aku tak bisa melihat, menyentuh, dan bicara pada Lori lagi. Namun aku
yakin, itu bukan berati aku tidak akan bertemu dengannya lagi.
--THE END--
Comments
Post a Comment