Malang, 04 Januari 2013
Ibu pernah bercerita padaku tentang kesetiaan seekor
burung merpati putih betina yang setiap sore bertengger di atas dahan tertinggi
Pohon Ek besar yang terdapat di pinggir hutan. Burung merpati betina itu selalu
berada di sana menunggu pasangan hidupnya kembali. Burung merpati betina ingat
akan janji yang dikatakan pasangannya bahwa ia akan kembali saat mentari
kembali ke peraduannya.
‘Tunggulah aku
di dahan tertinggi Pohon Ek. Aku akan muncul dari arah mentari terbenam. Aku
janji.’ ucap burung Merpati jantan pada merpati betina sebelum ia pergi
mengantarkan surat.
Hari
demi hari, sore demi sore merpati betina bertengger di dahan tertinggi
menghadap ke ufuk barat. Sudah lama ia menunggu namun sang belahan hati tak
kunjung kembali. Merpati betina tak bersedih dan tak berputus asa menunggu
kedatangannya. Ia percaya pada janji sang kekasih hati dan jiwanya.
Aku tidak tahu
akhir kisah sang burung merpati. Ibu berkata lembar terakhir buku dongeng itu
hilang. Aku sangat ingin tahu akhir ceritanya. Sampai sekarang pun aku selalu
bertanya-tanya bagaimana nasib si merpati betina putih. Apakah merpati jantan
putih menepati janjinya?
***
Pagi yang cerah dengan udara yang hangat menyapa Desa
Sugar Ginger. Wewangian bunga dan kicauan burung masih mendominasi harmoni
pagi. Ku nikmati rasa nyaman ini di jendela kamarku yang berada di loteng. Ya,
musim semi yang hangat telah tiba. Ibu yang berada di dapur memanggilku dan
menyuruhku untuk bergegas turun ke ruang makan. Sarapan pagi ini bisa ku tebak
dari wanginya adalah pancake dengan saus stroberi. Sesampaiku di ruang makan
aku menyapa adik perempuanku Rima yang berusia 6 tahun. Seperti biasa aku duduk
di sebelah Rima menghadap sebuah kursi kosong. Ku tatap kursi kosong itu sambil
berharap suatu saat di pagi hari, kursi itu tak kosong lagi. Ibuku masih dengan
celemeknya mempersiapkan sarapan kami bertiga Aku, Rima, dan Ibuku. Saat sarapan
sudah tersedia di meja makan, Ibu duduk di hadapan Rima. Kami berdoa bersama.
Lalu makan bersama, hanya bertiga.
***
Sebelum berangkat ke sekolah yang dimulai pukul 9 pagi,
aku menemani Rima belajar membaca. Aku bersyukur memiliki banyak buku dongeng.
Cerita dan dongeng itu membantu Rima menyukai membaca. Namun, Rima mengeluh
padaku bahwa ia bosan membaca buku dongeng yang ku berikan padanya. Ia ingin
buku dongeng yang lain yang belum pernah dibaca olehnya. Aku pun teringat akan
satu buku dongeng yang disimpan oleh ibuku. Aku ingat Ibu menaruhnya di atas
lemari kayu hitam di ruang baca. Aku pun berniat mengambilnya tanpa meminta
bantuan pada Ibuku.
Ku ambil sebuah kursi dari ruang makan untuk ku gunakan
sebagai pijakan. Ku bawa kursi itu ke ruang baca dimana lemari itu berada.
Setelah ku letakkan kursi di depan lemari, ku naiki kursi tersebut dan ku
temukan sebuah kotak besar terdapat di atas lemari. Kotak itu dipenuhi debu.
Aku yakin buku dongeng itu ada di dalam kotak. Aku berusaha meraih kotak itu
dengan kedua tanganku. Apa daya tanganku tak sampai dan hanya dapat menggeser
kotak itu ke samping lemari. Ku tarik lagi kotak itu hingga setidaknya ia bisa
ku raih dari pinggir lemari. Tak diduga Ibu memanggilku dan berkata bahwa aku
harus segera berangkat sekolah. Langkah kaki Ibu bisa ku dengar menuju ke
ruangan di mana aku berada. Aku panik. Aku tahu ibu pasti tidak akan senang
mengetahui perbuatanku.
“Ah! Sedang apa kamu di sini Loli? Sejak tadi Ibu
memanggilmu kenapa kamu tak segera keluar?” Ibu menghampiriku yang sedang duduk
di atas kursi yang tadi ku gunakan untuk mengambil kotak. Namun, kali itu aku
sudah berada di depan rak buku bukan di depan lemari.
“Aku sedang melihat-lihat buku bu. Aku pikir aku bisa
menemukan buku yang menarik untuk ku baca. Aku sudah kelas 5 jadi aku ingin
membaca lebih banyak lagi.” ucapku berusaha meyakinkan Ibuku yang terlihat
curiga padaku.
“Kenapa rambutmu jadi berwarna putih begini? Kamu tidak
bermain debu kan? Katakan pada Ibu apa yang sedang kamu lakukan tadi?”
Aku terkejut mendengar ucapan Ibu. Aku segera bercermin
pada kaca jendela ruang baca dan mendapati bahwa rambutku yang panjang masih
berwarna hitam seperti biasa. Aku tahu ini. Ini pasti trik Ibu untuk mengetahui
aku berbohong atau tidak. Ibu mulai memandangku penuh kecurigaan. Aku bingung
harus berkata apa. Aku ingin bicara tetapi aku takut. Akhirnya, aku hanya diam
dan membereskan kursi yang tadi aku ambil. Ibu yang sedari tadi menatapku
akhirnya mengalihkan pandangannya ke lemari besar dan kotak yang berada di
atasnya. Bisa ku lihat sorot matanya yang sedih. Aku ingin tahu apa yang ada di
dalam kotak itu. Jika memang di dalam kotak itu hanya terdapat buku dongeng,
kenapa ekspresi wajah Ibu seperti itu?
***
Terlihat dari kejauhan seorang yang kami kenali sedang
menuju ke kediaman kami. Dia adalah Paman Will si pengantar surat. Jika Paman
Will datang, Ibu selalu terlihat senang penuh harap. Aku tahu. Ibu sedang
menunggu surat dari orang yang penting dalam hidupnya dan hidupku. Namun, wajah
Ibu yang cantik dengan lesung pipit di pipi kanannya kembali terlihat sedih.
Sepertinya surat yang dinantinya tak datang hari ini.
Aku berniat untuk mengambil buku dongeng itu lagi. Kali
ini aku ditemani Rima yang memaksa untuk ikut. Ku ambil kembali kursi dari
ruang makan dan ku bawa ke hadapan lemari besar di ruang baca. Kali ini aku
tambahkan beberapa buku besar sebagai pembantu penambah tinggi pijakanku. Kotak
kardus coklat itu kini bisa ku raih. Namun, ternyata kotak berukuran sedang itu
lebih berat dari yang terlihat. Dengan susah payah aku berusaha menurunkannya
dari atas lemari. Rima yang berada di bawah melihatku dengan tatapan khawatir
jika aku jatuh. Benar saja, keseimbanganku yang berdiri di atas tumpukan buku
tak terkendali. Bisa ku rasakan buku-buku itu mulai bergeser ke arah kanan. Aku
yang keberatan membawa beban tak kuasa menghindari kemungkinan bahwa aku akan
jatuh. Namun, ternyata Rima yang cerdas ini menghapus kemungkinan itu. Ia
dengan cekatan memegangi buku sehingga aku tak jadi jatuh.
Kotak kardus coklat itu kini ada di hadapan kami berdua.
Kotak itu dipenuhi debu tebal yang aku yakin menandakan bahwa tak ada seorang
pun yang menyentuh benda ini sebelum aku. Rima terlihat tak sabar ingin membuka
kardus itu. Namun sebelum kotak itu dibuka, aku harus memastikan suara mesin
jahit ibu terdengar. Jika suara mesin jahit terdengar maka itu berarti ibu
sedang sibuk menjahit baju pesanan. Setelah situasi aman dengan ditandai suara
mesin jahit, aku dan Rima mulai membuka kotak itu. Debu-debu beterbangan dan
membuat hidungku gatal. Untung saja aku dan Rima tak sampai bersin karenanya.
Kami berdua melihat ke dalam isi kotak itu. Benar dugaanku, sebuah buku dongeng
tersimpan di dalamnya. Rima mengeja judul buku dongeng itu.
“Penantian Sang Merpati Putih”
Aku ingat judul buku dongeng ini. Dongeng yang kisah
akhirnya tak pernah ku ketahui. Walaupun aku pernah mendengar dongeng ini
diceritakan padaku, sekalipun aku tak pernah membacanya atau membukanya. Waktu
itu aku usiaku masih 4 dan belum bisa membaca. Ku buka halaman pertama terdapat
sebuah tanda tangan dan tulisan ‘To my
beloved daughter Loli. Ferdinand’. Ferdinand? Buku ini hadiah dari Ayahku
untukku? Ku buka lagi halaman ke dua dan seterusnya. Aku terkejut bahwa buku
itu bisa memunculkan gambar yang timbul. Rima terlihat kagum dengan keajaiban
buku itu. Begitu pula aku. Ku buka lagi buku itu sampai ke halaman terakhir.
Terdapat bekas sobekan kertas di halaman terakhir. Ternyata halaman terakhir
buku itu tidak ada. Seseorang telah menyobeknya entah kapan.
“Kenapa buku ini sobek Kak?” ucap Rima dengan nada
protes.
“Ssstt! Jangan keras-keras nanti Ibu dengar.”
“Dengar apa Loli?”
Itu suara Ibu! Aku terkejut dengan keberadaan Ibu yang
sudah berada di pintu ruang baca yang terbuka. Dengan terburu-buru aku
memasukkan kembali buku itu ke dalam kotak. Ibu mulai mendekat ke arahku dan
Rima. Aku tak sanggup membuka kedua mataku. Aku takut Ibu akan memarahiku atas
apa yang telah ku lakukan.
“Jangan memindahkan benda seberat ini sembarangan. Nanti,
kamu bisa jatuh Loli, Rima.” ucap Ibu tanpa nada marah sedikitpun. Ibu lalu
mengambil kotak itu dan hendak menaruhnya kembali ke atas lemari. Aku
terheran-heran dengan reaksi Ibu atas apa yang telah aku lakukan. Ibu tak
seperti biasanya.
“Ah! Bukunya? Bisa berikan buku itu padaku bu? Itu buku
pemberian Ayah untukku bukan?” ucapku sedikit takut.
Ibu tak bereaksi apapun. Ia terdiam di depan lemari besar
berwarna hitam itu dengan kotak yang ia bawa dengan kedua tangannya. “Buku ini
sudah lama. Biar nanti Ibu belikan yang baru saja ya?”
“Tapi bu, aku ingin baca buku burung itu. Buku itu
bagus.” rengek Rima.
Ibu kembali terdiam. Tak bergerak hanya berdiri di depan
lemari. Wajah Ibu tertunduk. Setitik dua titik cahaya telihat jatuh dari kedua
mata Ibu. Itu bukan cahaya tetapi air mata.
“Ibu kenapa?” tanyaku ragu
“Sayang, maaf ya kalian harus lihat Ibu yang seperti ini.
Maaf ya jika Ibu menangis di hadapan kalian. Ibu minta maaf.” Ibu lalu
bersimpuh sambil memeluk kotak itu. Baru kali itu aku melihat Ibu menangis
seperti itu. Aku dan Rima memeluk Ibuku. Aku harap setidaknya apa yang kami
lakukan bisa membuatnya lebih tenang. Namun, hatiku belum tenang. Aku pun
menangis saat Ibuku memelukku kembali.
***
“Terima kasih sayang. Ibu sudah tidak apa-apa.”
“Maafkan Loli dan Rima jika kami bersalah bu. Kami tidak
bermaksud membuat Ibu sedih.” ucapku pada Ibu.
“Tidak apa-apa. Justru kalian buat Ibu sadar. Ibu sudah
berdosa karena menyembunyikan hal berharga seperti buku ini.”
“Hal berharga?” tanya Rima.
“Buku ini merupakan hadiah dari Ayah ketika Kak Loli berusia
4 tahun, Sayang. Buku ini sangat bagus, Ibu sangat suka.”
“Kalau Ibu suka kenapa Ibu tak mau menceritakan kisah ini
padaku lagi? Dan kenapa halaman terakhirnya hilang?”
Ibu menatap mataku dalam-dalam. Bisa kulihat cahaya dari
kedua bola matanya yang biru redup. Dia lalu mengeluarkan buku itu dari kotak
dan membukanya.
“Kamu tahu? Kisah Ibu bagaikan kisah burung merpati putih
betina yang menunggu belahan jiwanya kembali padanya. Namun, akhir kisah ini
tidak berakhir bahagia. Ibu tak tahan dengan dengan kisah sedih ini. Ibu takut
jadi seperti merpati betina putih. Ibu memutuskan untuk menghilangkannya saja.
Lalu, Ibu meletakkannya di atas sana supaya jauh dari jangkauan Ibu dan
anak-anak Ibu. Maaf ya sayang Ibu tak mengatakannya padamu. Selama ini kamu
pasti penasaran akan akhir dari cerita ini.”
“Tidak akan! Aku percaya kisah Ibu tak akan berakhir
seperti yang tertulis di halaman yang Ibu sobek. Lihat!”
Aku membuka sebuah halaman buku dongeng yang selama ini
rupanya tak diketahui bahwa itulah akhir yang sebenarnya oleh Ibuku. Halaman
itu memang sulit dibuka karena menempel pada sampul buku. Aku sebenarnya tak
sengaja mengetahui halaman itu saat berusaha memasukkan buku itu ke dalam kotak.
Saat apa yang muncul dari halaman tersbut terbuka, aku bisa melihat ekspresi
terkejut Ibuku.
“Ibu lihat kan, akhir kisah ini bahagia. Pada akhirnya
merpati putih betina yang setia menunggu di dahan tertinggi bertemu dengan
belahan jiwanya. Dan merpati putih jantan terbukti menepati janjinya. Mereka
berdua terbang dari dahan tertinggu Pohon Ek menuju ke arah matahari terbenam.
Loli yakin Ayah pasti akan pulang. Ayah sudah janji ke Ibu kan kalau ia akan
pulang. Jika kita percaya, apapun menjadi mungkin. Ayah pernah bilang ini
padaku!” ucapku pada Ibu.
“Rima juga percaya bu!” ucap Rima ceria.
“Terima kasih sayang. Ibu sungguh bersyukur memiliki
kalian berdua. Ibu juga percaya Ayah kalian pasti pulang.”
Ibu memelukku dan Rima kembali. Pelukannya selalu terasa
hangat. Senyuman indah menawan menghiasi wajah Ibu saat ia menceritakan kembali
kisah penantian merpati putih betina. Aku ingin kisah Ibu berakhir bahagia
seperti kisah ini. Aku ingin Ibu segera bertemu dengan Ayah.
Sementara itu...
“Tuan Ferdinand Dickinson! Kereta kuda sebentar lagi akan
berangkat, silahkan menempati tempat duduk anda.” Ucap seorang pria berpakaian
pelayan.
“Terima kasih Robert. Ah..Akhirnya aku bisa kembali
pulang ke Desa Sugar Ginger. Aku sudah lelah dengan perjalanan mencari berita
ini! Aku tak sabar bertemu mereka bertiga.”
“Silahkan beristirahat selama perjalanan Tuan. Ini akan
menjadi perjalanan yang panjang.” ucap pria berpakaian pelayan itu lagi.
“Tentu tidak, buku dongeng merpati ini selalu bisa menghiburku
sejauh apapun aku pergi.” ucap pria bernama Ferdinand dengan senyuman di
wajahnya.
Mereka pun berlalu menuju ke arah dimana matahari terbit.
Mentari tak lama lagi kan kembali ke peraduannya. Dan perjalanan kereta kuda
pun ditemani oleh warna jingga sang langit di ufuk barat.
Special for #30haribercerita
Readers...
Comments
Post a Comment