Negara, 30 Januari 2013
“Jangan lupa tertawa ketika membaca
ceritaku ini.” tertulis jelas dengan tulisan tangan yang rapi pada sampul buku
tulis lusuh yang hari ini genap berusia 5 tahun berada padaku. Buku cerita
komedi karangan sahabat sejiwa yang diberikannya padaku sebelum kami berpisah
menuju ke kota perantauan masing-masing. Di tempat yang sama inilah ia
memberikan benda berharga bagi kami berdua. Taman bermain dengan ayunan
berwarna merah menjadi saksi abadi bagaimana kita berdua memang ditakdirkan
untuk berakhir sebagai sahabat.
Sampai sekarang, aku belum bisa
menyelesaikan proses membaca buku cerita komedi yang Riri berikan padaku. Aku
tak ingin menghabiskan ceritanya sekaligus. Membaca sedikit-sedikit lebih
membuatku mengerti dimana letak kelucuan dari cerita karangannya yang sampai
sekarang belum bisa buatku tertawa. Hanya satu hal yang bisa buatku tertawa
saat membaca karyanya yakni tentang bagaimana bodohnya di Riri dengan ide
cerita komedinya yang lebih bisa dibilang sebagai karya esai.
Banyak cerita yang dituliskan oleh
Riri. Mulai dari cerita bagaimana awal kami bertemu di terminal Arjosari. Saat
itu aku yang kebingungan mencari bus untuk ke Pasuruan harus bertambah bingung
dengan kelakuan Riri yang dengan bodohnya berpura-pura menjadi kernet bus demi
mendapatkan tumpangan gratis. Jujur, dia terlalu ganteng dan bersih untuk
menjadi seorang kernet bus ekonomi menuju Pasuruan. Ada apa sih dengan pria sok
lucu ini? Membuat berbagai cerita garing tentang kehidupan ku, dia, dan kita
yang entah kan berakhir seperti apa.
Ah! Apa sih yang aku tertawakan cerita
karangan monyet satu ini kan tidak lucu. Tapi, setidaknya biarkan aku tertawa
saat aku berusaha mengenangnya. Sebagai bentuk hadiah rasa sayangku padanya.
Rasa sayangku sebagai sahabat ini menjadi bukti akan keberadaanku dan
keberadaannya yang nyata. Bukan sekedar rasa ilusi di dada yang hanya
menyesakkan jiwa. Seperti rasa sayang Riri pada dunia bintang yang pada
akhirnya membuatnya terkubur dalam gundukan tanah merah.
***
“Mi, aku diterima jadi wartawan di tv
swasta Jakarta! Hebat kan aku!” ucap Riri dengan bangga.
“Ck, ngalahin kerjaanku aja kamu!
Tapi, selamat ya!” ucapku sambil menyalaminya.
“Hari pertama aku besok lusa, aku akan
meliput aksi pendakian gunung Salak oleh segolongan mahasiswa. Doakan aku ya!”
“Aku agak khawatir sih Ri, tapi ya aku
yakin kamu bisa kok! Yakin!”
“Baiklah Tuan Putri Cantik, kakanda
berjanji akan kembali dengan selamat! Selama bertugas kakanda titipkan buku
cerita karangan kakanda ini pada adinda.” Riri bersujud dihadapanku dan
memberikan aku sebuah buku lusuh layaknya seorang pangeran memberi hadiah pada
seorang putri.
“Alah gak usah sok jadi pangeran kamu!
Hahahaha!”
“Jangan lupa tertawa ya ketika membaca
ceritaku ini Mi!” ucap Riri tuk yang terakhir.
***
Sudah 5 tahun sejak saat itu, Riri tak
pernah lagi meminta bukunya kembali. Apa dia tidak tahu betapa aku mengharap
dia kembali dan mengambil buku ini lagi? Ah, jangan menangis. Seharusnya aku
tertawa membaca buku ini. Tertawa yang keras hingga ke atas sana hingga Riri
mendengarnya. Iya, aku seharusnya tertawa. Ini kan buku cerita komedi bukan
kisah tragedi!
Tetapi, mengapa akhirnya seperti ini? Mengapa ia harus pergi ke Sang Kuasa
dengan cara tragis seperti itu? Aku belum rela dia pergi sebelum dia cerita
kelanjutan kisah buku ini! Bukan! Aku belum merelakan ia pergi karena aku tidak
sempat mengucap.. ah jangan! Kita ini kan sahabat! Ya kita sahabat sejati sejak
masih SD. Apabila satu kata itu terucap aku hanya akan merusak persahabatanku.
Sudahlah, sudah! Cukuplah buku ceritamu menjadi hadiah terindah darimu Ri.
Tenanglah kau di sana. Aku pun kan berusaha tenang di sini!
***
Comments
Post a Comment