Malang, 03 Januari 2013
Jauh dari hiruk pikuk kota yang padat dengan kendaraan
dan manusia yang berlalu lalang, terdapat sebuah hutan yang dipenuhi oleh
berbagai pepohonan dan bunga yang wanginya terbawa angin sampai ke tempat yang
jauh. Hutan yang terletak di pinggiran Kota Applefield itu terlihat masih
sangat alami. Udara yang masih terasa segar saat dihirup dan hawa sejuk
pepohonan masih terasa. Suara-suara serangga dan burung-burung yang menyanyi
merdu terdengar dari dalam hutan tersebut. Salah satu serangga dengan bunyi
yang paling nyaring dan disukai oleh serangga lain adalah Jinjing si Jangkrik.
Jinjing yang bertubuh mungil dengan warna coklat kehitaman yang menutupi
seluruh tubuhnya sudah tinggal di hutan sejak ia menetas dari telurnya. Ia
merupakan satu-satunya jangkrik di hutan itu. Namun, Jinjing tak pernah
menyadari hal itu. Jinjing tak pernah merasa kesepian karena serangga-serangga
lain selalu menemaninya setiap saat.
Namun, akhir-akhir ini Jinjing sering dilanda
kebingungan. Kenapa dirinya terlihat berbeda dari teman-temannya? Kenapa tidak
ada serangga lain yang sama dengan dirinya? Kenapa hanya ia yang bisa berbunyi
nyaring seperti itu? Jinjing tak menemukan jawaban atas pertanyaan yang sering
mengganggunya tersebut. Ia merasa sedih karena iri dengan teman-temannya
seperti Rico si Belalang yang memiliki orang tua dan adik yang sangat mirip
dengannya. Ia pun memutuskan untuk mencari tahu adakah serangga lain yang sama
dengannya. Pertama, Jinjing mendatangi Bibi Koko si Kecoa ramah di rumah batunya yang
sederhana.
“Bibi, apakah aku sama dengan bibi? tanya Jinjing.
“Tentu tidak, aku tidak bisa berbunyi sepertimu dan kamu
tak bertubuh ramping sepertiku. Kamu bukan kecoa.” ucap Bibi Koko dengan nada
suara halusnya yang menenangkan.
Jinjing tak merasa puas dengan jawaban dari Bibi Koko. Ia
pun menelusuri hutan untuk menemukan serangga yang sama dengannya. Ia berjalan
terus sampai ia bertemu dengan seorang Paman Kumbang Badak yang berbadan besar
yang saat itu sedang mengumpulkan pucuk daun.
“Paman, jenis serangga apakah Paman ini?”
“Haha... dari ukuran tubuhku yang besar ini kau pasti
tahu bahwa aku adalah Kumbang Badak. Aku memiliki 3 tanduk yang kuat dan sayap
yang bisa membawaku terbang Nak.” ucap Paman Kumbang Badak dengan penuh
kebanggaan.
“Itu berarti aku tidak sama denganmu?”
“Tentu saja kita berbeda Nak! Kamu bukan Kumbang Badak!”
Jawaban dari
Paman Kumbang Badak tak membuat Jinjing merasa lega. Ia kembali berjalan
menelusuri hutan. Hari semakin gelap dan Jinjing mulai merasa lelah dan lapar.
Ia lalu beristirahat di bawah daun keladi berbentuk hati yang besar dan memakan
bekal berupa pucuk dedaunan yang sebelumnya telah ia siapkan. Kegelapan mulai
menutupi hutan. Di saat gelap seperti itu, Jinjing selalu membunyikan bunyinya
yang nyaring. Tak tahu mengapa ia tak pernah merasa kesepian ataupun takut saat
bunyinya berbunyi. Bunyi khas yang sudah sangat tak asing bagi dirinya.
Saat Jinjing sedang menikmati heningnya malam
yang bertaburkan milyaran bintang, Jinjing mendapati sebuah cahaya terang yang
perlahan mendekat ke arahnya. Jinjing berpikir itu adalah sebuah bintang yang
jatuh dari langit. Jinjing tak berhenti menatap cahaya yang semakin mendekat
itu dengan pandangan mata yang penuh kekaguman. Cahaya itu lalu hinggap di daun
keladi tempat Jinjing bernaung. Jinjing yang penasaran mencoba menaiki daun.
Saat ia berada di atas ia mendapati bahwa cahaya itu bukanlah bintang. Itu
adalah cahaya dari seekor serangga. Serangga yang nampak asing bagi Jinjing itu
lalu mengalihkan pandangannya pada Jinjing yang masih terkagum-kagum.
“Bunyi yang
indah itu apakah berasal darimu?” tanya serangga asing itu.
“Iya benar dan
apakah cahaya indah itu milikmu?” tanya Jinjing.
“Cahaya ini?” serangga
itu lalu menunjukkan cahayanya lagi. “Tentu saja, aku kan Kunang-Kunang!”
“Apa itu
kunang-kunang?”
“Kunang-kunang
adalah serangga bercahaya. Aku selalu mengeluarkan cahaya di malam hari. Kalau
kamu? Kamu serangga apa?”
“Berarti aku
tak sama denganmu ya?” tanya Jinjing pada Si Kunang-Kunang
“Sepertinya
begitu. Aku tak bisa mengeluarkan suara sepertimu. Kamu juga tak bisa
mengeluarkan cahaya sepertiku. Kita berbeda.”
Jinjing
terdiam. Ia lelah dengan segala usaha sia-sia pencarian jati diri ini. Ia sudah
tak tahu lagi harus mencari kemana. Ia hanya bisa duduk menatap bintang yang
jauh di atas sana. Ia merasa sedih. Ia merasa putus asa. Ia pun memutuskan
untuk kembali ke rumahnya di hutan.
“Hei, tetaplah
di sini. Aku ingin mendengar bunyimu lagi.” ucap Kunang-Kunang Kecil itu.
“Tidak! Aku
sudah lelah berbunyi sendiri. Setiap malam aku berbunyi, setiap malam selalu
sendiri. Aku tidak mau!”
“Ku mohon
berbunyilah untuk malam ini. Teman-temanku di bawah sana sangat senang
mendengar bunyimu. Lihat! Mereka sedang menunggumu.”
“Pergilah
dariku! Aku sudah tak tahan melihatmu yang dikelilingi oleh teman-teman yang
sama denganmu. Aku tak kuat harus melihat pemandangan dimana aku selalu
tertinggal di belakang! Aku lelah!”
Kunang-kunang
kecil terdiam. Ia lalu terbang mendekati Jinjing yang hendak menuruni daun
keladi. Kunang-kunang kecil lalu memancarkan cahayanya dan menari di udara. Jinjing Si Jangkrik yang
sedih menyaksikan bagaimana cahaya itu menari. Sekali lagi Jinjing terpukau
akan keindahan si Kunang-Kunang. Kunang-Kunang kecil itu lalu mendarat di atas
daun dan berdiri di hadapan Jinjing.
“Aku tak tahu
siapa dirimu, tetapi dari bunyimu aku tahu kamu itu baik. Aku memang baru
bertemu denganmu tetapi aku senang bisa membuatmu tersenyum. Aku mengerti
perasaanmu yang ingin tahu siapa dirimu dan dimana teman-teman yang sama
denganmu. Aku juga pernah sepertimu. Merasa lelah dengan kesendirian. Lelah
bercahaya sendiri di malam gelap. Namun, kamu tahu, sampai sekarang aku tak
tahu dengan pasti siapa aku, bagaimana asal-usulku, siapa teman-teman yang sama denganku dan siapa keluargaku.”
“Tidak
mungkin! Lalu siapa yang kamu maksud dengan teman-temanmu itu?”
“Mari ku
tunjukkan padamu!”
Kunang-kunang
kecil menggapai tangan Jinjing dan mengajaknya menuju ke ujung daun keladi.
Kunang-kunang itu lalu menunjuk ke bawah dan meminta Jinjing melihat ke arah
yang ditunjuknya. Jinjing terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ternyata di
bawah sana tak ada serangga yang sama dengan si Kunang-Kunang. Belalang,
Capung, Kupu-Kupu, Kumbang, Kecoa, Semut, dan beberapa jenis serangga lain
rupanya sedang berkumpul di bawah menikmati cahaya bintang.
“Jadi, yang
kamu maksud teman-teman adalah mereka?” tanya Jinjing.
“Benar. Aku
sudah tidak mempermasalahkan apakah mereka sejenis denganku atau tidak. Selama
mereka mau menerimaku apa adanya dan aku nyaman bersama mereka, aku sudah cukup
merasa senang. Aku juga tidak mau ambil pusing siapakah diriku sebenarnya. Aku
adalah aku. Si serangga bersinar di malam hari. Aku yang hidup saat ini adalah
aku. Aku tidak perlu mencari tahu lagi. Jawaban itu sudah ada di
sini di hatiku. Hanya saja butuh waktu untuk mengetahuinya.” Kunang-Kunang kecil mendekapkan
tangannya ke dadanya. “Namun, aku yakin aku pasti akan bertemu dengan
teman-teman yang sama denganku suatu hari nanti. Aku yakin kamu juga sama kok!”
Jinjing
tertegun mendengar ucapan Kunang-Kunang. Ia baru menyadari bahwa ia juga
memiliki teman-teman yang mau menerimanya. Teman-teman yang berbeda dengannya
itu selalu ada di setiap saat untuk Jinjing. Bibi Koko si Kecoa, Rico Si
Belalang, Martha si Kupu-Kupu Kuning dan beberapa serangga lain selalu
memujinya saat ia membunyikan bunyinya yang nyaring. Ia merasa sedih karena ia
baru tersadar akan hal seberharga itu. Ia menangis namun bukan tangisan sedih.
Ia merasa sudah menemukan apa yang ia pertanyakan selama ini. Akhirnya jawaban
atas keraguan itu terjawab berkat Kunang-Kunang Kecil. 'Ternyata benar, sejak awal aku tak butuh siapa aku sebenarnya.' ucap Jinjing dalam hati.
“Hei, bagaimana
jika kamu menari lagi. Akan ku iringi dengan bunyiku.” ucap Jinjing. Kini ia
tak terlihat sedih. Senyuman mulai menghias wajahnya.
“Jangan
panggil aku seperti itu! Aku juga punya nama. Panggil aku Sasa!” ucap
Kunang-Kunang kecil itu dengan nada protes.
“Baiklah Sasa,
panggil aku Jinjing. Sebagai bentuk rasa terima kasihku aku akan menghiburmu
malam ini.”
“Terima kasih?
Untuk apa?”
“Sudahlah!
Atau kamu ingin aku berubah pikiran?”
“Eh? Jangan!
Aku tak ingin melewatkan bunyi indahmu itu!”
“Haha..aku
cuma bercanda!”
Jinjing dan
Sasa menari dengan bahagianya di malam yang penuh bintang itu. Cahaya kecil
Sasa meliuk-liuk di udara dan menghasilkan cahaya kekuningan yang indah. Bunyi
nyaring Jinjing menjadi musik pengiring tarian Sasa. Tak hanya Sasa dan Jinjing
yang menikmati indahnya malam tersebut, serangga-serangga lain pun terhanyut
akan keharmonisan bunyi dan tarian dari Jinjing dan Sasa di malam yang penuh
bintang. Di sanalah mereka berada di tengah perbedaan jenis namun masih dalam
harmoni yang damai dan tenang. Tak peduli siapa mereka sebenarnya, di malam itu
mereka berbaur bersama.
Special For #30haribercerita Readers... :)
Comments
Post a Comment