Cinta, Novel, dan Kamu
“Haruskah aku membaca novel percintaan ala remaja labil supaya aku tahu apa
itu cinta? Supaya aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta?” tanya gadis
berjilbab merah yang duduk di depanku tanpa diduga. Masih dengan membolak-balik
halaman demi halaman novel kisah cinta ala remaja tahun 90an yang baru saja dibelinya
di toko buku di Jalan Basuki Rahmat Kota Malang, Shania tak mempedulikan
minuman hangat rasa coklatnya yang kini mulai dingin. Matanya terlihat hanya
fokus pada deretan kalimat dalam karya sastra itu.
“Aku tidak tahu harus menjawab apa. Seharusnya kamu bertanya pada orang
yang lebih tahu tentang cinta atau apalah itu.”melahap sebuah beef burger dan
menatap ke arah patung badut yang duduk di atas kursi panjang sekiranya dapat
membuatku kabur dari pertanyaannya. Pada kenyataannya aku benci sekali melihat
maskot tempat makan cepat saji yang kali ini menjadi lokasi makan siang kami.
“Kenapa? Bukankah Surya punya pacar? Pacarmu yang cantik bikin kamu cinta
dia kan?” ucapnya dengan pandangan mata yang sepertinya meragukan diriku.
Sejenak aku terpikir berbagai hal asing yang berkecamuk dalam otakku yang
berkaitan dengan pertanyaannya. Cinta? Pacar? Apakah kedua hal tersebut harus
saling berkaitan? Aku sendiri tak mengerti apakah aku mencintai dia yang
sekarang menjadi pacarku. Aku sendiri tak tahu bagaimana perasaan cintaku
terhadapnya. Kenapa Shania menanyakan hal-hal yang tak bisa aku jelaskan secara
logis? Bagiku yang telah terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran realis, cinta
dan pacar kini tak lagi harus berkaitan. Bisa saja bukan, seorang pria membina
hubungan spesial dengan lawan jenisnya tak berdasarkan kata ajaib yang
diagungkan oleh manusia ini. Apakah cinta benar-benar saling terkait dengan
hubungan? Ingin aku menjawab pertanyaannya dengan pemikiranku ini. Namun, aku
tak yakin pemikirannya yang identik dengan sastra setuju dengan pendapatku.
“Cinta atau tidak itu tidak ada hubungannya dengan kamu Shan. Ada apa
denganmu sampai kamu bertanya soal cinta padaku?”
“Aku hanya ingin tahu pendapatmu tentang
bagaimana rasanya dicintai dan mencintai seseorang yang berharga buat kamu.
Kamu yang sudah punya pacar mungkin dapat membantuku yang buta akan kata yang
bagaikan sihir candu ini. Aku ingin merasakannya walaupun hanya sekali dalam
seumur hidup.” Saat mengatakan ini pandangan matanya begitu lembut menatap ke luar
dimana semua terlihat basah akibat guyuran air hujan yang masih jatuh dengan
derasnya. Situasi restoran yang tenang
dengan suara hujan tak setenang otak dan batinku yang tak tahu harus menjawab
apa.
Mungkin memang benar bahwa “cinta” adalah kata sihir yang dapat menjadi
candu. Sifat candu yang membuat pengkonsumsinya merasa senang namun memabukkan
dan membuat ketagihan bisa menjadi sifat cinta. Seseorang akan merasa begitu
bahagianya ketika benih cinta mulai tumbuh dan bersemi di hati. Saking kuatnya
perasaan tersebut, seseorang dapat mengabaikan segala hal duniawi. Setidaknya
itulah yang sering digambarkan dalam komik serta novel percintaan ala remaja
yang sering aku baca ketika masih berada di bangku SD hingga SMA. Entah apakah
hal tersebut hanyalah karangan si penulis demi mendongkrak penjualan komik dan
novel yang pangsa pasarnya adalah ABG. Namun bisa jadi hal tersebut adalah
gambaran perasaan seseorang yang benar-benar sedang mengalami jatuh cinta.
Perasaan berdebar di dada yang tak dapat kau kendalikan ketika bertemu dengan
dirinya yang kau suka. Perasaan tak rela ketika melihat dirinya bersama dengan
orang lain selain dirimu. Aku sendiri tak dapat mengetahui dengan pasti apakah
perasaan seperti itu memang ada. Ataukah aku yang sudah lupa?
“Bukan berarti kamu harus meminta jawaban padaku kan? Aku bukanlah pujangga
cinta yang dapat dengan leluasanya mendeskripsikan apa itu cinta melalui sajak-sajak
indah. Aku bukanlah orang yang mengagungkan cinta di atas rasional. Kamu tahu
itu. Tetapi kenapa kamu selalu menanyakan cinta padaku?”nada suaraku agak
meninggi pertanda aku mulai jenuh dan kesal dengan obrolah bertopik cinta ini. Alasannya
hanyalah karena aku tak memiliki referensi yang dapat ku jadikan jawaban atas
pertanyaan demi pertanyaan yang ditanyakan Shania. Jika boleh memiliki aku
lebih suka membahas isu sosial atau politik yang kini sedang menjadi topik
hangat di media massa. Latar belakang
dan pengalamanku sebagai ketua EM Universitas Brawijaya Malang sangatlah
menunjang dalam hal-hal tersebut.
“Karena itulah di awal tadi aku mengatakan haruskah aku membaca novel cinta
ala remaja supaya aku tahu cinta. Jujur saja sudah banyak novel percintaan yang
aku baca selama ini. Mereka sangat bagus. Pencitraan cinta ada berbagai macam.
Mulai yang indah nan megah sampai cinta yang sangat menyakitkan dan membunuh.
Tetapi, itu hanyalah apa yang aku baca di buku. Semua itu hanyalah pencitraan
yang tergantung pada masing-masing pengarang. Aku ingin tahu cinta dari orang
yang mengalaminya. Dan aku ingin tahu itu dari orang yang dekat
denganku.”ucapnya masih dengan pandangan lembutnya yang kini beralih pada novel
“Perahu Kertas” karya Dewi “Dee” Lestari. Mendengar respon darinya aku hanya
bisa menggaruk kepala dan mengacak rambutku yang kini telah panjang. Aku tak
habis pikir kemana pembicaraan ini akan berakhir.
“Lalu, apakah dengan mengetahui dari orang lain kamu mengetahui arti cinta
yang sesungguhnya? Apakah itu memuaskan rasa ingin tahumu?”
Kedua bola mata Shania memandangku dengan pandangan terkejut. Tak lama ia pun
mengalihkan pandangannya ke arah toko es krim yang berdiri sejak jaman
penjajahan Belanda yang terletak di seberang jalan. Ekspresinya membuatku
merasa agak bersalah. Sepertinya pertanyaanku membuatnya merasa lebih tak
nyaman lagi.
“Tidak, itu tidak akan pernah memuaskan rasa penasaranku. Meskipun aku
bertanya pada seluruh manusia yang hidup di dunia ini, aku tidak akan menemukan
jawabannya.” Pandangannya menuju pada sebuah burger daging bersaus merah yang
digenggamnya. Tetapi, pikirannya seperti sedang berpetualang dalam
imajinasinya.
Suasana yang diam seperti ini
sejujurnya membuatku merasa tak nyaman. Kemana Shania yang selalu ceria
menceritakan isi novel yang sering ia baca? Kemana diriku yang selalu bisa
menjawab pertanyaannya? Terima kasih pada obrolan mengenai cinta ini. Kami yang
sudah mengenal sejak masih di Sekolah Dasar, hari ini bagaikan dua orang asing
yang tak mengenal satu sama lain.
“Sur, apa kamu mencintai pacarmu?
Tolong jawab ini dengan jujur.”
Seketika aku terdiam. Mataku memandang ke arah
jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Jam tangan yang
kini sudah memiliki banyak goresan beserta kenangan bersama orang yang sampai
sekarang masih spesial buatku.
“Aku cinta padanya Shan. Tapi aku
lupa bagaimana caraku mencintainya dulu. Mungkin aku mencintainya dengan cara
yang berbeda sekarang. Sejak saat dia mengucapkan kata cinta untuk terakhir
kalinya sebelum pergi ke surga, aku sudah memutuskan untuk merelakan dia pergi
sebagai caraku untuk mencintai Aina.”aku mengakhiri ucapanku dengan helaan
nafas panjang. Itulah yang ada di pikiranku mengenai cinta. Merelakan orang
yang aku cintai hidup bersama Yang Kuasa di tempat terbaik di dunia.
“Jadi Kak Aina masih kamu anggap
sebagai pacar walaupun ia sudah meninggal 5 tahun yang lalu? Jadi itu adalah cinta bagimu? Kamu
menyedihkan.”
“Apa maksudmu Shan? Ini tidak seperti
dirimu yang biasanya.” seketika aku meletakkan segelas kopi hangat yang belum
sempat aku seruput isinya.
“Ya, kamu masih menjaga cintamu hanya
untuk dirimu sendiri. Kamu hanya membaginya bersama Kak Aina yang telah tiada.
Kamu egois. Kamu pikir kamu akan bahagia kelak? Kamu pikir itu yang diinginkan
Kak Aina? Kamu itu tampan, postur tubuhmu juga tinggi, di kampus kamu
berprestasi dan seorang aktivis. Dengan kepopuleranmu, kamu pasti dicintai oleh
gadis-gadis. Paling tidak pasti ada satu yang benar-benar kamu sukai kan? Satu
yang ingin kamu bagi cintamu bersamanya.”
“Egois? Gadis lain? Apa maksudmu? Jika
memang itu caraku mencintai seseorang walaupun orang itu telah tiada,
biarkanlah seperti itu. Setiap orang punya caranya sendiri untuk mencintai orang
yang berharga chan.”
“Tidak!” ucap Shania dengan kerasnya. Aku
tak menyangka sama sekali apa yang terjadi padanya. Kedua bola matanya
menatapku tajam. Aku tak bisa berkutik untuk membalas ucapannya. Aku hanya bisa
terdiam dan bertanya-tanya dalam benakku apa yang terjadi padanya.
“Aku tak bisa berdiam diri Sur. Kamu
itu sedang butuh pertolongan. Kamu butuh itu lebih dari aku. Kamu pikir selama
ini aku tidak tahu kondisimu? Aku tahu semua. Aku tahu kamu merasa kesepian.
Aku tahu kamu sering menitikkan air mata saat kamu memandang foto Kak Aina. Aku
ingin menolongmu.” ucap Shania sambil mengusap kedua pipinya yang basah akibat
hujan yang turun dari kedua mata coklatnya yang indah.
Mendengar ucapan Sachan, aku kembali
terdiam. Batinku merasa sakit sekaligus lega. Sakit yang ku rasa adalah hasil
dari kebohongan yang selama ini telah menyakiti diriku terlebih seseorang yang
berada di sekitarku. Perasaan lega menjadi obat rasa sakit karena ternyata ada
orang yang mengerti perasaanku lebih dari diriku sendiri. Akhirnya aku
menyadari bahwa kini sudah tak seharusnya aku menyembunyikan perasaan
kesepianku. Akhirnya aku bisa lepas dari kungkungan rasa cinta untuk memuaskan
diriku sendiri. Maafkan aku Aina, rasa cintaku memang sempat hanya untukmu.
Namun, kini aku ingin membagi rasa cintaku untuk orang lain. Ini bukan hanya
demi kebahagianku. Aku lakukan ini demi kebahagiaan orang yang selama ini
selalu memberiku arti untuk dicintai dan mencintai.
“Kamu benar-benar ingin menolongku Shan?
Kalau iya, pertama hentikan dulu tangismu. Kamu sudah 20 tahun, malu kalau
dilihat orang.” wajah Shania terlihat kesal mendengar ucapanku. Itulah salah
satu jurusku untuk membuatnya ceria. Aku lebih suka melihat wajah kesalnya
daripada wajahnya yang menangis.
“Kamu ingin tahu rasanya jatuh cinta
bukan? Kamu bisa membantuku dengan itu.”
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”
“Bagaimana kalau kamu mencoba
mencintaiku. Dengan itu mungkin jawaban yang kamu cari akan kamu temukan. Aku
juga akan mencoba mencintaimu mulai dari sekarang. Mungkin belum bisa dikatakan
sebagai perasaan cinta sebagai kekasih. Tetapi, cinta sebagai teman. Terima
kasih karena sudah mengkhawatirkan aku.”
“Aku tak perlu belajar atau mencoba
lagi Sur. Aku juga tak membutuhkan deskripsi cinta dalam novel, puisi, dan
komik. Aku hanya butuh kamu. Jawabanku ada padamu.”
Wajah Shania memerah. Aku pun
demikian. Hawa panas terasa merambat ke wajahku di tengah dinginnya udara
sehabis hujan. Melihat Shania yang tersipu malu dengan senyuman manis dan
lesung pipit di pipi kirinya, aku menjadi salah tingkah. Aku bahkan melakukan
kesalahan dengan tidak sengaja melahap burger milik Shania yang rasanya pedas.
Melihat aku yang kepedasan, Shania tertawa dengan lepasnya seakan beban yang
selama ini ia tanggung terbang ke langit luas. Ia terlihat sangat bahagia,
begitu pula yang aku rasakan.
---THE END---
P.s : Cerpen karya zaturania yang dibuat pada tanggal 28
Desember 2012.
Comments
Post a Comment