Malang, 25 Januari 2013
Dunia Buku Penghubung
Aku selalu bisa melihatnya berada di tempat yang sama. Ia duduk di kursi
berwarna merah dengan 2 atau 3 tumpuk buku di atas meja panjang berwarna
coklat. Aku bisa melihat berbagai ekspresi wajahnya. Terkadang aku melihatnya
membolak-balik lembar demi lembar sambil sesekali mencatat dengan wajah yang
sangat serius. Tak jarang aku melihatnya wajahnya yang lucu karena menahan geli
saat membaca komik Shinchan. Aku melihatnya gadis berambut pendek sebahu,
berkulit sawo matang, dan mengenakan jaket baseball berwarna biru itu hampir
setiap hari di duniaku dunia buku yang selalu ramai ini.
Perpustakaan kota ini menjadi saksi
habisnya waktuku untuk membaca. Tak hanya buku mengenai psikologi yang secara
langsung berhubungan dengan jurusanku, majalah dan komik pun telah aku salin ke
dalam memori otakku. Aku tak pernah bosan berada di sana. Entah apakah petugas
perpustakaan yang bosan akan kedatangan seorang lelaki berstatus mahasiswa
semester 7 ini ke bangunan khas Belanda berwarna kuning dan oranye itu. Aku tak
terlalu peduli, yang ku butuhkan adalah tempat di mana aku bisa tenang membaca
dan mengerjakan tugas akhirku.
Namun, akhir-akhir ini konsentrasiku
sering buyar karena kehadiran seorang gadis yang sering datang ke perpustakaan
sejak akhir bulan September lalu. Aku masih ingat bagaimana ia sempat
kebingungan saat alat pemantau buku berbunyi dengan kerasnya. Ia terlihat
begitu panik karena ia mengira ia telah melakukan kesalahan yang mengakibatkan
alat itu berbunyi. Syukurlah kepanikannya dapat teratasi sesegera mungkin
ketika aku menghampirinya dan mengecek bahwa gadis itu sedang tidak membawa
buku tanpa izin. Ternyata memang alat itulah yang sedang bermasalah. Wajahnya
terlihat lega ketika seorang bapak paruh baya yang juga seorang petugas
perpustakaan meminta maaf atas hal tidak menyenangkan yang terjadi pada gadis
itu. Ia pun berterima kasih padaku walaupun sebenarnya aku merasa tidak
melakukan sesuatu yang spesial. Namun, aku tahu dari ekspresi wajahnya bahwa ia
sangat tulus memberikan rasa terima kasihnya padaku.
Dua bulan telah berlalu sejak saat
itu. Selama itu pula, aku masih tetap mengunjungi perpustakaan setiap hari.
Dulu aku tak begini. Aku hanya mengunjungi perpustakaan paling tidak seminggu
dua kali. Namun, entah kenapa dunia bukuku kini terasa memiliki daya tarik
tersendiri. Hal itu bukanlah buku atau komik jepang baru. Saat aku menyadari
bahwa aku selalu duduk di kursi yang sama dan memandang ke arah yang sama, aku tahu
bahwa ekspresi wajah gadis itulah yang buatku betah berlama-lama dan tak
keberatan duduk di kursi yang sama setiap hari. Namun, keraguan mulai merasuk
ke hati dan pikiranku. Apakah hanya ini yang dapat ku lakukan? Jujur, aku ingin
tahu namanya. Aku ingin mengenal siapa dia. Tetapi, aku tidak memiliki
keberanian untuk bertanya. Bahkan aku tidak berani untuk duduk di kursi merah
di sampingnya.
Sudah beberapa hari ini, aku tak
melihatnya di sana. Dia tidak terlihat duduk di kursi merah seperti biasanya.
Tanpa ku sadari mataku berusaha mencari. Mencari sosok yang menjadi alasanku
untuk duduk di kursi yang sama. Sosok gadis berjuta ekspresi wajah yang selalu
buatku merasa betah menatapnya lebih lama. Ku amati orang-orang yang duduk di
sekitar kursi itu, tak kutemukan dirinya. Bersama kedua kakiku, aku menelusuri
gang demi gang sempit di antara rak-rak besar dengan deretan berbagai buku
berharap ku temukan dirinya berdiri di hadapan salah satu rak buku. Terlalu
banyak orang di sana. Bagaimana caraku menemukan gadis mungil itu? Kepalaku
terasa berputar. Keringat dingin mulai membasahi wajahku. Ternyata efek
begadang mengerjakan makalah baru terasa ketika tubuhku mulai bergerak terburu-buru
seperti ini. Aku dapati diriku duduk di sebuah kursi merah namun bukan kursi
merah yang sama dengan yang sering aku duduki. Aku melepas kacamata dan
memejamkan mataku berharap rasa lelah ini menghilang dan membiarkan aku
mencarinya lagi.
Aku menemukannya. Aku melihatnya duduk
di kursi merah menghadap ke meja panjang berwarna coklat dan sebuah rak buku
besar di belakangnya. Aku senang. Aku lega. Aku ingin menyapanya. Namun aneh,
tidak ada buku bergambar ikan dan komik Shinchan di hadapannya. Aku melihatnya
menatap ke arahku dengan senyuman di wajahnya. Aku ingin duduk di sebelahnya.
Tetapi, kenapa ia semakin jauh dari pandanganku? Aku tak bisa mengejarnya. Sejauh
apapun aku berlari, aku tak mampu menggapainya.
“Nak, ayo bangun! Jangan tidur di sini! Ini kan perpustakaan bukan kamar
tidur!”
Suara lelaki yang terdengar berat membangunkanku. Ternyata suara itu milik
seorang Bapak petugas paruh baya yang bernama Pak Rohim. Pandanganku memang
masih terasa kabur namun aku sangat mengenali suara Pak Rohim dengan baik. Aku
tersadar sesaat setelah memperhatikan sekitarku. Aku hanya bermimpi. Mungkinkah
itu menjadi pertanda bahwa aku kan kehilangannya?
“Kalau kamu ke sini cuma buat tidur lebih baik kamu pulang saja. Buku itu
kalau sudah selesai kamu baca, biar Bapak kembalikan ke rak!”
“Buku apa Pak?” tanyaku bingung karena aku tak merasa sedang membaca buku.
“Buku bergambar ikan mujair yang kamu jadikan bantal itu lho!” ucap beliau
sambil menunjuk ke buku yang ternyata berada di hadapanku.
Aku memperhatikan buku itu sejenak sebelum menyerahkannya ke Pak Rohim.
Rasanya buku bergambar ikan mujair itu tidak asing buatku. Kepingan demi
kepingan ingatan mulai menghujam otakku yang masih malas untuk berpikir dimana
aku pernah melihat buku itu. Tangan berkulit sawo matang dengan jari yang kecil
yang membolak-balik kertas dan ekspresi wajah serius seseorang berambut pendek
terlintas di benakku. Ya, ini buku yang selalu dibaca gadis itu. Kalau buku itu
di sini berarti gadis itu berada di perpustakaan saat itu juga. Aku tak jadi
mengembalikan buku berjudul “Budidaya Ikan Mujair” itu kepada Pak Rohim. Aku
berkata padanya bahwa aku membutuhkan buku itu untuk mengerjakan tugas. Pak Rohim
yang mengetahui bahwa studiku tak ada hubungannya dengan ikan apalagi ikan
mujair hanya memasang wajah yang nampak meragukan alasanku. Namun, pada
akhirnya ia membiarkan aku membawa buku itu dan berlalu begitu saja.
Lembar demi lembar halaman buku itu
aku buka. Ternyata, tak ku temukan satu petunjuk pun mengenai gadis yang biasa
membaca buku ini. Apa mungkin ia membaca buku yang berbeda namun masih dengan
judul yang sama? Lalu, bagaimana caraku agar bisa bertemu dengannya? Aku tak
mau terlalu banyak berpikir. Aku bangkit dari kursi dan bersemangat mencari
gadis itu di antara pengunjung perpustakaan lagi. Namun, sepertinya
keberuntungan tak berpihak padaku. Suara seorang petugas wanita yang terdengar
dari speaker yang berada di tiap sudut perpustakaan mengisyaratkan bahwa
perpustakaan akan segera ditutup. Aku baru tersadar bahwa hari itu hari Sabtu
dimana perpustakaan tutup tepat pada pukul 16.00 WIB. Tubuhku lemas. Semangatku
mencari gadis itu bagai hilang bersama hujan yang turun dengan derasnya di luar
sana. Aku tertunduk sembari berjalan menuju meja tempat pengembalian buku. Berat
rasanya melepas buku yang menjadi satu-satunya petunjuk itu. Ingin ku bawa
pulang buku ini dan ku beri pesan pada petugas bahwa jika ada seorang gadis
yang mencari buku itu, suruh ia datang padaku. Namun, bagaimana mungkin aku
yang hanya seorang penakut ini berani melakukan hal di luar imajinasi seperti
itu.
“Perpustakaan sudah mau tutup mbak.
Besok saja mencari buku itu!” terdengar suara Pak Rohman yang memecah
lamunanku.
“Tapi Pak, saya butuh buku ikan mujair
itu untuk penelitian saya. Kalau tidak tugas akhir gizi saya bisa gagal.
Seminggu lagi saya harus sidang! Tolonglah Pak.”
Lamunanku hilang seketika saat
mendengar suara seorang gadis yang mengatakan buku ikan mujair. Aku tahu suara
itu. Itu suara gadis yang ku cari. Gadis berjuta ekspresi dan pembaca buku ikan
mujair. Pandanganku langsung ku alihkan ke arah gadis yang berada di pintu
masuk itu. Ia tak menyadari keberadaanku yang sedang membawa apa yang ia cari.
Aku sudah cukup lama menunggu. Aku sudah cukup lama menahan diri. Sampai saat
ini, aku masih menyesal mengapa aku terlalu takut untuk mendekati dirinya yang
dengan curangnya sudah mendominasi alam pikiranku. Dengan pikiran yang masih
kacau aku berjalan menuju tempat gadis itu berada.
“Ini buku yang kamu cari kan?
Sayangnya, aku mau pinjam buku ini.” Ucapku datar.
“Eh? Aku baru tahu kalau kamu juga
baca buku seperti ini. Aku pikir kamu mahasiswa jurusan Psikologi.” Ucapnya
setengah terkejut. Namun, justru ucapannya lah yang membuatku lebih terkejut.
“Darimana kamu tahu? Aku tidak pernah
mengatakan siapa aku padamu kan?”
“Kamu kan yang biasa duduk di kursi
merah dan membaca buku psikologi orang tua itu kan? Aku juga pernah melihatmu
waktu kamu menjadi pembicara di seminar penelitian psikologi beberapa waktu
yang lalu di kampusmu. Namamu kalau nggak salah...”
“Adi. Salam kenal.” Ucapku gugup
dengan tangan kananku dalam posisi sedang akan menjabat tangan kanannya.
Ekspresi wajahnya terlihat terkejut lalu bengong saat melihat apa yang aku
lakukan. Akhirnya, aku melihat berbagai ekspresi wajahnya yang ku rindukan.
“Panggil saja aku Adinda, Adi! Senang
berkenalan denganmu.” ucapnya sambil menjabat tangan kananku dengan tangan
kanannya yang mungil. Ia tersenyum. Ia terlihat bersinar di mataku.
Aku membalas senyuman gadis manis
bernama Adinda ini dengan ekspresi lega. Akhirnya, aku bisa menggapainya.
Akhirnya, aku menang dari ketakutan dan keraguan yang selama ini menghalangi
jalanku. Ini memang baru permulaan. Namun, di dunia buku ini kami terhubung.
Selama dunia ini ada, selama itu pula aku kan selalu terhubung dengannya.
***
P.s : Sebenarnya cerpen ini pernah aku kirimkan ke sebuah tabloid. Namun sepertinya tidak dipublish! Daripada nganggur di laptop, akhirnya aku posting saja. Jangan sungkan memberi komentar kalian teman!
Comments
Post a Comment