Malang, 02 Januari 2013
Ketika mataku terbuka, hamparan bunga lili putih menjadi
pemandangan pertama yang ku lihat. Angin sepoi-sepoi mengayun kelopak bunga
yang berkilau diterpa cahaya bulan. Ku amati diriku masih berpakaian piyama di
tengah taman bunga lili yang terasa tak asing buatku. Ku alihkan pandanganku ke
seluruh penjuru lalu ku temukan sebuah gazebo berwarna putih. Pandanganku terlihat
kabur. Namun, aku bisa melihat seorang wanita cantik berambut panjang berwarna
keemasan sedang bermain piano bersama seorang anak laki-laki di gazebo itu.
Mereka tertawa bersama. Aku ingat pemandangan ini. Aku tahu sosok wanita itu.
“Anakku Daniel,
kamu jangan berhenti bermimpi. Mimpi adalah petunjuk bagimu untuk menuju masa
depan. Sama seperti bintang di langit yang menjadi petunjuk arah bagi pelaut
seperti Ayahmu.” Ucap wanita itu dengan nada suara lembut pada anak
laki-lakinya.
Ya, aku tahu siapa wanita itu. Aku tahu siapa anak laki-laki
itu. Daniel nama pemberian Ayahku. Wanita itu tak lain adalah Ibu yang selama
ini ku rindukan. Tak kuasa air mataku jatuh. Akhirnya, aku bertemu dengannya di
gazebo taman bunga lili ini. Aku ingin duduk di sampingnya. Aku ingin mendengar
melodi indah itu lagi. Namun, sekuat apapun aku berlari menuju ke gazebo itu,
yang ku dapati hanyalah bayang yang semakin kabur. Ibu semakin jauh. Tawa Ibu
terdengar sayup hingga tak terdengar lagi. Aku berteriak memanggilnya. Namun,
hanya gelap yang tersisa hingga mataku terbuka dengan pemandangan langit-langit
kamar yang berhiaskan lampu kristal mahal. Mimpi? Ya, ternyata semua hanya
mimpi. Mimpi akan kenangan yang muncul kembali.
***
“Daniel, berusahalah yang terbaik saat resital piano
bulan depan! Kakek sangat berharap kamu bisa meneruskan prestasi keluarga kita
yang selalu menjadi nomer satu di setiap resital. Mainkanlah lagu karya Chopin
ini. Kamu harus bermain dengan sempurna.” Ucap kakek tegas. Di atas meja kerja
kakek yang terlihat antik dan mahal itu terdapat lembaran-lembaran notasi lagu.
Ini pasti lagu yang dipilihkannya untuk ku mainkan.
“Baik kek.” Ucapku datar
“Kakek sangat beruntung memiliki cucu penurut sepertimu.
Tidak seperti Ayahmu itu yang meninggalkan biolanya dan memilih menjadi pelaut.
Dia bilang menjadi pelaut adalah mimpinya. Mimpi? Hal menggelikan macam apa
itu! Pada akhirnya ia mati karena mimpinya!” nada suara kakek terdengar kesal
setiap ia membicarakan Ayah. Aku hanya bisa terdiam. Aku tak memiliki reaksi
apapun. Kesal karena Kakek menjelek-jelekkan Ayahku? Tidak, justru aku
sependapat dengannya. Mimpi tak akan mengantarmu menuju kesuksesan. Itulah yang
selalu kakek ajarkan padaku sampai sekarang.
***
Aku tak ingin membuang banyak waktu untuk bermain-main.
Aku harus meneruskan latihan pianoku supaya aku bisa bermain dengan sempurna di
resital minggu depan. Aku selalu berlatih bersama piano klasik nan mahal milik
kakek yang terpajang di bagian tengah rumah besar bergaya rumah mewah abad
pertengahan eropa. Saat aku berjalan menuju ke ruang pesta di mana piano itu
berada, samar aku mendengar dentingan piano. Dentingan berirama itu memainkan
lagu yang sudah sangat lama tak ku dengar. Aku tahu irama lagu itu. Lagu yang
membuatku ingin kembali ke masa saat aku berusia 7 tahun. Lagu kenangan akan
Ibu kembali mengalun lembut.
Aku berlari menuju arah irama itu berasal. Ku lihat ruang
pesta, tidak ada yang sedang memainkan piano. Ku telusuri kamar demi kamar,
tetapi tak kutemukan sumber suara itu. Siapa? Mungkinkah Ibu yang memainkan
lagu ini? Jantungku berdebar kencang. Nafasku semakin berat. Irama Fur Elise
itu makin terdengar jelas dari ruangan di ujung koridor. Aku berlari semakin
cepat. Namun, entah kenapa ruangan itu semakin jauh terasa. Ibu? Mungkinkah itu
engkau? Ku buka kedua pintu kayu besar itu dengan segenap tenaga. Aku langsung
mengambur ke dalam.
“Ibu?!” teriakku.
Ku lihat sebuah piano putih terletak di tengah ruangan
tak terawat itu. Mataku tak sabar ingin melihat sosok wanita yang selama ini
aku cari. Namun, tak ku temukan ia duduk di sana. Seorang pria dewasalah yang
kini duduk di kursi itu dengan jemarinya yang masih di atas tuts-tuts piano. Ia
terlihat terkejut. Tak lama sebuah senyuman terlukis di wajahnya yang terlihat
tua. Dia adalah pamanku, George.
***
“Maafkan aku karena telah memainkan lagu yang membuatmu
teringat akan Lili, Ibumu. Aku tak tahu jika kamu akan langsung datang ketika
aku memainkan Fur Elise.” Ucap Paman dengan gaya bicaranya yang khas seperti
seorang penyair. Paman George masih duduk di kursi putih itu. Tangan kanannya
membelai piano itu bagai belaian seorang Ayah yang membelai putranya.
“Tidak apa-apa Paman. Ada apa sampai Paman menyempatkan
datang ke Kota Applefield? Bukankah Paman menjadi penyair di negara tetangga?”
“Aku ingin mengucapkan selamat tinggal pada piano putih
yang sering dimainkan Lili ini. Aku mungkin tak akan bisa memainkannya lagi.”
Aku tergelak. “Kenapa? Paman akan pergi jauh?”
“Piano inilah yang akan pergi jauh. Kakekmu mengatakan ia
akan menjual piano ini pada sebuah toko alat musik. Aku tak bisa menghalanginya
karena apa yang ku katakan tak akan di dengarnya. Padahal, piano ini adalah
saksi dari mimpi Lili dan Gabriel Ayahmu. Piano ini juga penuh kenangan buatmu
kan?”
“Tidak apa-apa jika ia memang akan dijual.” Ucapku datar.
Aku tertunduk. Diam.
Ekspresi wajah Paman George terlihat terkejut mendengar
ucapanku. Namun, pandangan matanya terlihat seperti mengasihaniku. Ia lalu
meraih tanganku dan mengajakku di duduk di sampingnya. Ia lalu meletakkan
jemari tanganku di atas tuts piano itu.
“Daniel, kamu tahu kenapa Ayahmu menikah dengan Ibumu?”
“Mereka dijodohkan oleh Kakek.” Jawabku seadanya.
“Memang benar, tapi bukan itu. Rupanya kamu masih belum
tahu ya?” Ucap Paman diselingi tawa. Aku menatap Paman. Aku bingung dengan
ucapannya tadi.
“Dulu, ayahmu
adalah pemain biola yang hebat. Namun, ia dengan berani menghadap Kakekmu dan
berkata bahwa ia berhenti bermain biola dan akan mengikuti impiannya untuk
menjadi pelaut dan berkeliling dunia. Jelas, kakekmu marah dengan apa yang
diputuskan oleh Ayahmu. Tetapi, Ayahmu tidak gentar. Ia sudah bersikeras untuk
mewujudkan impiannya. Keteguhan hati ayahmu itulah yang membuat Ibumu jatuh
hati walaupun pada awalnya ia menolak dijodohkan. Aku pernah mendengar dari
Lili adikku bahwa Ayahmu sudah lelah berusaha mewujudkan kesuksesan yang berlawanan
dengan kata hatinya. Sebelum ajal menjemputnya, ia ingin sekali mewujudkan
impiannya itu. Tak lama setelah memutuskan untuk berhenti, Ayah dan Ibumu lalu
menikah. Karena keluarga ini tak mau menerima Ayahmu akhirnya mereka pindah ke
rumah peninggalan keluarga Ibumu. Piano ini dulunya terletak di sana. Namun,
sebelum Ibumu meninggal ia meminta piano ini diletakkan di rumah ini agar kamu
bisa memainkannya.”
“Kenapa?
Kenapa Ayah melakukan itu? Aku tak mengerti Paman! Kalau saja ia tidak pergi ke
laut ia tidak akan mati. Jika saja ia masih bermain biola ia pasti tak akan
meninggalkanku dan Ibu. Mimpi? Mimpi apa itu?” emosiku tak terkendali setelah
mendengar cerita itu. Aku tak bisa menerima kenyataan yang terjadi.
Paman terdiam.
Lagi-lagi ia memandangku dengan pandangan lembut. Aku pasti terlihat
menyedihkan di hadapannya.
“Daniel,
pernahkan kamu melihat Ibumu sedih saat bercerita tentang Ayahmu dan mimpinya?”
Aku terhenyuk mendengar pertanyaan itu. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku.
Tak kuasa air mataku jatuh di atas tuts piano.
“Ibumu tidak
sedih karena ia percaya pada Ayahmu. Ibumu bahagia karena melihat Ayahmu yang
menjadi manusia utuh dengan mimpinya itu. Aku pernah mendengar ini dari Lili ‘Memilih jalan untuk mewujudkan impian
bukanlah penyesalan. Mimpi itu bagaikan bintang...”
...di langit yang menjadi penunjuk arah.” Tanpa kusadari aku melanjutkan ucapan Paman George. Aku
ingat aku pernah mendengar Ibu mengatakan ini saat ia mengajari aku bermain
piano ketika aku masih kecil. Ibulah yang mengenalkan aku dengan piano putih
ini. Dengan penuh ketulusan ia mengajariku dan memainkan lagu Fur Elise karya
Ludwig Beethoven bersamaku. Ialah orang pertama yang membuatku jatuh cinta
dengan piano. Ia juga yang menginspirasiku untuk memiliki impian. Impianku
sendiri. Mimpiku untuk bisa bermain piano dan membuatnya bahagia. Mimpiku untuk
bermain piano di berbagai negara sehingga aku bisa menyusul Ayah dan
menunjukkan alunan melodi indah dari jemariku padanya. Bagaimana aku bisa lupa
akan hal berharga seperti ini. Air mataku tak bisa dibendung lagi. Tuts-tuts
piano putih itu pun basah karenanya. Namun, melodi indah Fur Elise mengalun
lembut nan syahdu saat jemariku menari di atasnya. Melodi indah itulah yang
membuat mimpiku tercipta.
Sebulan kemudian...
“Apa kabar Tuan Rozebelt, apakah anda menemani cucu anda
di konsernya yang pertama di Paris ini? Saya dengar ia berhasil di resital
bulan lalu setelah memainkan Fur Elise yang membuat penonton menangis. Ia
sangat hebat untuk remaja berusia 15 tahun.” ucap seorang pria yang dikenal
sebagai pianis senior ternama Tuan Robert Langdon.
“Benar sekali Tuan Langdon. Saya juga menitikkan air mata
saat itu. Saya tak menyangka ia menolak lagu yang saya pilihkan dan memilih Fur
Elise untuk dimainkan. Ternyata ia bermain dengan sempurna.” Ucap kakek dengan
penuh kebanggaan. “Mari duduk Tuan Langdon. Sebentar lagi Daniel akan tampil.”
Kakek lalu berlalu menuju tempat duduk eksklusif yang telah disediakan
untuknya.
Tepuk tangan para penonton terdengar riuh saat aku mulai
memasuki panggung mewah bermandikan cahaya itu. Inilah impianku. Bermain piano
dan menghibur orang-orang di berbagai negara.
Perancis menjadi negara pertama yang akan menjadi saksi usahaku
mewujudkan mimpiku. Lagu karya Chopin Etudes Op. 10 No.3 in E Mayor menjadi
lagu pembukaku di malam yang penuh bintang itu. Lagu itu aku persembahkan untuk
Ayah dan Ibuku yang kini ada di atas sana. Ku harap mereka bisa mendengar
melodi indah dariku ini. Di malam penuh bintang itu, ku mainkan alunan lagu
untuk jiwa yang memiliki mimpi.
“Anakku Daniel,
kini impianku telah terwujud. Anakku kini telah memiliki mimpi dan berusaha
mewujudkannya. Itulah impianku. Impian sederhana namun seterang bintang yang
jauh di atas sana. Salam Ibu."
Special for #30 Hari Bercerita Readers... :)
Comments
Post a Comment