Negara, 18 Januari 2013
Aku harus diam! Diam saat engkau
melemparkan piring demi melampiaskan emosimu. Diam saat engkau berteriak
memanggil-manggil nama anak-anakmu. Diam saat engkau menangis mengeluhkan
kondisimu. Diam saat engkau berkata “sesuatu” terhadap Ibuku yang tak bersalah.
Diam saat engkau berharap aku berhenti sekolah. Diam saat engkau menanyakan
“Apakah aku sudah punya pacar atau tidak”.
Dalam diamku aku berteriak “Bisakah engkau
memujiku atas pencapaianku?”. Walaupun aku diam, aku ingin berkata “Lihat, aku
dapat IP bagus semester ini!”. Aku diam tetapi aku ingin menangis dalam
pelukanmu dan berbisik “Aku gagal dalam kompetisi menulis esai tingkat
nasional”. Aku memang diam tetapi aku ingin bicara dari hati ke hati padamu.
Aku diam namun tetap berharap aku bisa mendengar nasehatmu yang hangat.
Aku harus diam! Bukan hanya karena
pendengaranmu yang sudah melemah. Tetapi karena aku tak tahu bagaimana cara
bicara denganmu. Usia kita berdua terpaut setengah abad lebih. Jalan pikiranmu
jauh berbeda denganku yang telah terkontaminasi dengan pemikiran modern. Engkau
masih berpikir sebagai wanita aku tidak membutuhkan pendidikan setinggi langit.
Sedangkan aku berpikir, pendidikanlah yang aku butuhkan demi masa depanku.
Engkau mungkin berpikir di usia segini aku harusnya menikah dan memiliki
keluarga sendiri. Jauh berbeda dengan pemikiranku yang menomer sekiankan
pernikahan. Sudahlah, kita memang jauh berbeda. Aku sampai tidak tahu satu
kesamaan pemikiran apa yang kita miliki.
Haruskah aku selalu diam? Saat aku
mulai merindukan sosokmu yang selalu tersenyum dan tertawa saat aku dan
teman-teman kecilku berlarian di rumah panggungmu. Aku masih ingat saat engkau
merasa senang dikala aku menginap di rumahmu setiap akhir pekan. Aku masih
ingat saat engkau meributkan kain batikmu yang aku gunakan sebagai tenda. Aku
masih ingat saat engkau memberiku uang receh untuk membeli cemilan berupa mie
bungkus dan chiki. Aku merindukan dirimu saat itu. Aku sangat menyukai dirimu
yang waktu itu. Kemana dirimu yang waktu itu?
Diam! Aku merasa akulah yang tak
mengerti dirimu. Seharusnya aku bisa mentolerir dirimu di usia tuamu. Aku
semakin dewasa dan engkau semakin senja. Seharusnya aku bisa menerima kondisi
fisik dan jiwamu yang telah jauh berbeda. Aku tak tahu apa yang membuatku tak
bisa menerimamu. Aku tak tahu bagaimana cara untuk bisa menerimamu. Aku semakin
tak bisa mengerti bagaimana cara tuk bisa mengerti dirimu dikarenakan aku telah
tinggal jauh darimu. Aku tak bisa meminta dirimu tuk memaklumi kondisiku. Aku bahkan
tak sanggup tuk meminta dirimu memberi maaf padaku.
Aku memang diam! Diam yang
menyakitkan. Diam yang membingungkan. Diam yang membuatku terperangkap dalam
lingkaran ketidaktahuan akan dirimu. Aku tak tahu sampai kapan aku akan diam.
Namun dalam hatiku, aku ingin segera keluar dari diamku dan bicara denganmu
dari hati ke hati layaknya seorang cucu kepada neneknya.
Lakukan saja, tapa harus terlalu berfikir bahwa harus diam. Bahwa semuanya akan baik-baik saja kalau engkau diam. Sesungguhnya, beliau ingin bicara banyak padamu :)
ReplyDeletenice ! :D
sepertinya memang benar, selama ini aku yang menghindari beliau. Terima kasih ya sudah berkunjung :)
ReplyDelete