Negara, 14 Januari 2013
Sore di hari Sabtu tanggal
13, ku ucapkan salam terakhir pada kota dimana aku menuntut ilmu. Ah,
sebenarnya aku tak perlu mengucap salam terakhir karena seminggu lagi aku kan
kembali. 7 hari akan ku habiskan di kota kecil nan sepi di bagian barat Pulau
Bali. Negara dengan huruf “a” terakhir dibaca “e” layaknya nama Kuta adalah
nama kota itu. Bus malam inilah yang akan mengantarku ke sana. Namun, aku harus
menunggu kedatangan bus. Proses menunggu inilah yang buatku bisa mengamati berbagai
hal.
Aku menunggu bus malam
bernama Midas ini di sebuah tempat tunggu yang sungguh jauh dari perkiraanku.
Ternyata tempat menunggu bus berpindah ke dekat pintu keluar bus. Bangunan
panjang sederhana dengan tiang kayu dan atap asbes itulah tempatnya. Ku pikir
mungkin pemindahan tempat menunggu ini hanya sementara terkait dengan proses
pembangunan terminal. Aku agak kesulitan awalnya menemukan tempat ini
dikarenakan ini pertama kalinya aku naik bus malam selama semester 5 berjalan.
Yah...perubahan yang tak diduga ini sempat buatku kebingungan mencari letak bus.
Aku sampai harus beberapa kali bertanya pada bapak-bapak penjual tiket.
Selama menunggu bus, aku
perhatikan hanya segelintir manusia yang tampak seusia denganku. Sebagian besar
penunggu adalah orang-orang dewasa bersama dengan anak-anak kecil yang mungkin
anak mereka. Aku pikir dalam suasana libur panjang seperti ini, pasti ramai
mahasiswa yang naik bus malam ke Bali. Ternyata dugaanku jauh dari kenyataan.
Menunggu di sana punya tantangan sendiri
bagiku. Debu yang berterbangan akibat terjangan bus disertai dengan asap
berbagai jenis rokok yang diisap oleh para pria menjadi aroma semerbak di
bangunan non permanen itu. Perutku serasa mual saat udara yang terakumulasi
tersebut masuk ke tubuhku. Argh...aku ingin cepat naik ke dalam bis agar tak
mencium asap rokok yang ku benci itu. Sayangnya bus yang akan ku tumpangi belum
datang. Jadilah aku menunggu hingga pukul 16.30 WIB.
Apa yang kau lakukan saat
menunggu bus datang? Bagiku hanya satu hal yang bisa aku lakukan saat menunggu
bus yakni mengamati. Demi membunuh waktu, ku amati saja apa yang terjadi di
tempat menunggu itu. Beberapa saat setelah duduk, beberapa orang menawariku
tiket bus. Ku tolak saja mereka, kan aku sudah punya tiket. Seorang pria subur
berkacamata yang juga petugas bus Midas menyapaku dan mengingatkanku akan
keberangkatan bus pukul 17.00 WIB. Aku berterima kasih saja padanya dan duduk
di tempat yang sama. Seorang pria asing juga menyapaku dan bertanya tanaman apa
yang ku bawa. Aku bilang saja anggur. Beberapa pengemis berjalan di depanku.
Ada dua orang nenek yang menyodorkan sebuah wadah bekas mie padaku di dua waktu
yang berbeda. Ku masukkan koin-koin yang tersedia di dompetku ke dalamnya. Kedua
nenek itu mengatakan sesuatu dalam Bahasa Jawa yang sebenarnya tak dapat ku
mengerti artinya. Namun, aku tahu ucapan itu adalah doa. Doa yang ku aminkan
agar diwujudkan oleh-Nya.
Lewat beberapa orang
pengamen. Pertama lewat dua orang buta, satu laki-laki dan seorang lagi
perempuan. Mereka berjalan berbarengan dengan yang perempuan berada di depan.
Musik yang keluar dari alat pemutar musik yang dibawa oleh si pria adalah musik
jawa. Musik itu diiringi nyanyian dari si perempuan. Kalau boleh jujur, musik
dan nyanyiannya tak terdengar merdu. Namun, keberanian mereka berdua patut diancungi
jempol. Menurutku, mereka sudah berani pass their limit dalam hidup mereka.
Biar gerak mereka terbatas, mereka tetap mau berusaha mencari penghidupan
sendiri. That’s what I
called as extraordinary people.
Kegiatan menungguku berakhir
saat busku tiba. Akhirnya, aku benar-benar pergi dari Malang saat bus Midas itu
berangkat tepat pada pukul 5 sore. Bersama dengan penumpang bus yang sebagian
besar adalah orang dewasa, aku memulai perjalanan satu malam menuju ke pulau
impian dimana rumahku berada.
P.S Ã I don’t know what to write guys. So,
this is what is on my mind. I’m too tired to write properly. 10 hours in bus made my head dizzy like a
spinning merry go round.
Comments
Post a Comment