Malang, 11 Januari 2013
“Ko, kenapa
kamu tidak belajar? Jam 2 kan ada ujian Semantics?” tanya Aki padaku yang
tiba-tiba saja muncul entah darimana saat aku sedang bersantai duduk di taman
kampus.
“Ah! Hatiku
tenang-tenang saja jadi tidak apa-apa.” jawabku santai pada Aki yang terlihat
mulai sibuk menjawab soal-soal buku Semantics karya John Saeed yang tebalnya
cukup untuk dijadikan bantal.
“Kamu ini!
Kenapa kamu santai sekali! Ini UAS lho ko! Semantics pula!”
Aku tak
menghiraukan ucapan Aki yang makin lama semakin membuat telinga berdenging.
Sudahlah, buat apa aku harus pusing-pusing mempelajari isi buku yang hanya
seperempat isinya dapat ku mengerti. Kenapa pula aku harus membuat diriku repot
menghafal isinya seperti yang dilakukan gadis berkacamata di sebelahku ini.
“Ko! Kelas
kita sudah terlanjur dianggap malas sama dosen. Mungkin nilai kita paling jelek
diantara anak-anak kelas lain. Paling tidak nilai kita nanti harus B. UAS ini
harapan terakhir ko! Kamu tidak mau bukan dapet C di KHS?”
“Jelas
nggaklah! Kan dosennya sudah ngasih Final Project buat UAS. Jadi, tidak perlu
ujian tulis segala kan?”
“Tapi dosennya
udah bilang kalau kelas kita ada ujian tulis. Ini serius ko. Kita ada 2 ujian
Semantics!”
Konsentrasiku
dalam pencarian inspirasi untuk menulis buyar gara-gara ocehan “miss panic”
ini. Ingin rasanya ia ku suruh pulang lalu membakar buku itu lalu abunya
dicampur air kemudian air itu digunakan untuk mandi. Ah, pikiran dukun macam
apa itu! Tanpa mempedulikan betapa panik dirinya, aku merebut buku semantics
itu. Ku baca sejenak, mengangguk, lalu menutup buku itu dan menaruhnya ke dalam
tas Aki.
“Eko
Laborator! Apa-apan coba! Aku lagi serius belajar!”
“Heh Aki
Mobil! Kan udah dibilangin tenang aja! InsyaAllah Semantics bakal fine! Percaya
aja! Gak usah komplain terus! Sakit telinga dengernya!”
“Sejak kapan
kamu yakin gitu? Dapet wangsit darimana?” ledek Aki
“Biar tampangku
macam Limbad kayak gini aku juga manusia yang punya hati ki. Biar aku cowok
yang secara teori lebih pake akal ketimbang hati, tetep saja ada beberapa hal
krusial yang penyelesaiannya pake hati. Semantics ini contohnya. Di saat
anak-anak lain bingung karepe dewe gara-gara ini, aku tenang-tenang saja tuh!
Hatiku lagi tenang nih. Dan aku percaya itu pertanda baik buat UAS nanti.”
“Itu sih hati
kamu doang ko. Hatiku sejak kemarin malam bakar petasan terus nih! Apa itu
pertanda kalo UAS bakal gak lancar?”
“Itu hati kamu
apa otak kamu? Tanya lagi sama mereka berdua sana! Asal kamu tahu aja hati itu
jujur. Kalau hati kamu nggak tenang karena takut sama UAS Semantics mungkin
kamu sudah belajar mati-matian sekarang. Ngapain kamu di sini kalau kamu harus
belajar? Itu artinya hati kamu lagi nggak di UAS.”
“Dari tadi hati melulu! Apa kamu punya jaminan akan
kebenaran hati kamu?”
“Kamu ini cewek tapi kok susah ngertinya ya sama hal
beginian? Nah, gini aja, kamu masih suka sama cowok kan?”
“Aku masih normal ko! Mau digebuk pake ini buku?” ucap
Aki sambil mengangkat buku Semantics-nya tinggi-tinggi dan bersiap
menjatuhkannnya ke mukaku.
“O..Oke, aku ganti pertanyaannya. Kalau kamu suka sama
cowok, kamu pasti ngerasain pake hati kan? Bukan otak kan?”
“Ya, jelas dong! Yang ngerasain kan hati!”
“Nah, kamu punya jaminan gak tentang kebenaran perasaan
di hati kamu? Gimana cara kamu meyakinkan cowok yang kamu suka kalau kamu
sayang sama dia?”
“Kan aku yang ngerasain jadi cuma aku yang tahu. Terus,
ya aku bilang ke dia buat percaya sama aku kalau aku suka sama dia. Jaminan ya
nggak ada. Paling cuma rasa saling percaya.”
“Itu dia maksudku dari tadi Aki Mobil! Gak ada jaminan
yang pasti karena cuma si pemilik hati yang tahu! Hati itu personal. Tidak ada
yang tahu apa yang ada di dalamnya selain Yang Mencipta dan yang punya. Yang bisa aku lakukan
cuma buat kamu percaya sama aku! Udah deh, percaya aja Semantics nanti
InsyaAllah bakal fine-fine aja.” Jelasku dengan nada agak jengkel pada si Aki
yang lemotnya sudah tak terkendali lagi.
Aki terdiam. Sepertinya ia sedang berpikir. Ia pandangi
buku yang tadi hampir mendarat di wajahku lalu menaruhnya di dalam tasnya. Aku agak
terkejut. Mungkinkah apa yang aku katakan berpengaruh padanya?
“Okelah, aku percaya. Lagian hari ini terlalu cerah untuk
dihabiskan dengan membaca buku kuliah.” ucap Aki lalu merebahkan tubuhnya yang
kurus ke atas rerumputan taman yang hijau.
***
“Eko...eko... kamu benar! Semantics tidak ada ujian
tulis! Ya, ampun hati kamu benar! Lega nih rasanya.” teriak Aki yang berlari
menuju ke arahku yang sedang berdiri di depan mading kampus. Bisa ku lihat
ekspresi senangnya ia. Benar kan suara hatiku? Hati memang selalu jujur.
“Terbukti kan? Dalam menghadapi hal sulit di luar nalar
sekalipun, gunakan saja hati sebagai alat. Hati itu selalu jujur sama
pemiliknya ki. Kalau terasa tenang ya InsyaAllah hal lain juga akan berjalan
lancar. Kamu sih hatinya disimpen buat cowok terus! Akhirnya musti pake hati
orang lain saking gak kompatibelnya.”
“Eh, iya-iya sorry. Sebenarnya aku juga merasa ada suara
hatiku yang menyemangati dan berkata semua akan baik-baik saja. Namun, ternyata
saat itu akalku justru muncul dan mendominasi isi otakku. Ah, terima kasih ya
buat hati kamu ko. Kamu bikin aku percaya sama hati lagi.” ucapnya ceria dengan
senyuman mengembang di wajahnya.
“Kalau gitu traktir 2 mangkok bakso ya buat merayakannya!”
pintaku pada Aki.
“Sorry ko, hatiku bilang untuk rajin menabung. Lain kali
aja ya.”
“Hati apaan ki? Bilang aja kamu nggak mau iya kan!”
“Yang berjasa kan hati kamu. Bukan kamu kan? Buat apa
traktir kamu?”
“Apa?!”
---THE END---
P.S : Cerita ini terinspirasi dari pengalaman UAS Semantics tadi yang Alhamdulillah gak jadi UAS tulis. Thanks buat Allah SWT yang berikan aku petunjuk berupa ketenangan hati yang menjadi nyata.
Jadi ini ceritanya gak jadi UAS tulis? Oh God.
ReplyDeleteBtw empunya blog ini cowo ya, Mas? ._.
Iya, UAS tulisnya gak jadi. Maaf, saya cewek kok. Kenapa? Sudut pandang cowok tidak seperti itu ya?
ReplyDelete