Malang, 01 Januari 2013
Langit masih cerah. Matahari masih dengan semangatnya
memancarkan sinar panasnya. Taman bunga matahari tempat dimana aku berada kini
terlihat segar. Namun, aku sedang tidak merasa secerah hari ini. Saat itu ia
datang, sahabatku sekaligus orang yang paling ku hormati, Kakek Apel.
“Kenapa Nak Rachel? Kamu terlihat tidak ceria.” Tanya
Kakek Apel padaku. Suaranya terdengar serak. Bukan karena sakit. Itulah ciri
khasnya yang membuat anak-anak kecil yang baru bertemu dengannya menjadi takut.
Padahal dia orang yang sangat baik. Itu menurutku sih.
“Aku gagal lagi kek. Dongeng yang aku kirimkan ke majalah
Kota Applefield tidak diterbitkan. Padahal aku sudah bekerja keras untuk
mengarangnya. Aku juga ingin seperti Oliver yang karyanya sering terbit. Ini
tidak adil!” ucapku datar.
Kakek Apel membelai rambutku yang keriting panjang dan
berwarna merah dengan lembut. Bisa ku lihat betapa keriputnya tangan Kakek
Apel. Ia lalu duduk di sebelahku. Aku hanya terdiam.
“Nak, apa kamu suka menulis dongeng?”
“Aku suka menulis. Aku selalu menyukai menulis kek.”
“Lalu, alasan kamu menulis dongeng apa?”
“Aku suka dongeng. Aku ingin menjadi penulis dongeng
terkenal kek.”
“Oh itu bagus, terus kenapa kamu pengen jadi penulis
terkenal? Supaya kamu dikenal orang?”
“Umm... aku ingin bisa menjadi yang terbaik di bidang
yang aku kuasai kek. Menjadi penulis terkenal menjadi bukti kalau aku hebat.”
“Lalu, apakah kamu sudah merasa menguasai bidang
menulis?”
“Be..belum kek. Dongengku saja sudah berkali-kali
ditolak.” Ucapku sedih.
“Nak, kamu tahu kenapa ayahmu bekerja sebagai petani
walaupun sebenarnya ia bisa menjadi seorang kaya raya jika menjual lahannya?”
Aku berpikir sejenak mencari jawaban yang menurutku
tepat. “Ayah suka tanaman. Ayah suka menjual hasil kebunnya. Ayah suka
membuatkan aku salad buah dari buah yang dipetikanya di kebun kek.” Dengan
penuh semangat aku menjawab pertanyaan kakek.
“Hmm... jadi karena suka ya? Lalu apakah Ayahmu terlihat
menikmati pekerjaannya sebagai petani?”
“Tentu saja kek! Ayah selalu bersemangat jika berkerja di
kebun. Ayah selalu terlihat bahagia. Pembeli sayuran dan buah-buahan pun senang
karena hasil kebun Ayah selalu segar. Berapapun uang yang diterima Ayah, Ayah
selalu ikhlas. Ia bilang asalkan pembelinya senang dan bahagia karena hasil
kerjanya, itu saja sudah membuatnya merasa puas.”
“Lalu, apakah kamu menikmati penulisan dongengmu? Apakah
kamu merasa ikhlas menulis dongeng?”
Aku kembali
terdiam. Aku tidak tahu jawabannya. Aku hanya tertunduk dan menatap tanah.
“Nak Rachel, di dunia ini ada yang jauh lebih penting
dari kepuasan pribadi akan hal-hal duniawi. Seperti yang dilakukan Ayahmu yang
dengan tulus bekerja di kebun dan menikmati apa yang dilakukannya. Dari
kacamata orang biasa, pekerjaan Ayahmu itu tidak akan bisa membuatnya kaya
raya. Tetapi, ada yang lebih penting dari pada harta bukan? Ia menemukan
kebahagiaan di setiap cangkulan tanahnya. Ia merasa senang saat memetik buah
mangga dari pohonnya. Ia merasa puas saat membagikan kebahagiaan itu pada
pembeli buah-buahan. Itu semua karena Ayahmu melakukannya dengan penuh
ketulusan tanpa mengharap imbalan.” Kakek Apel tersenyum padaku setelah
mengatakan hal yang sungguh tak teringat olehku. Ia kembali mengucap rambut
keritingku yang terkuncir ekor kuda dengan pita berwarna biru sebagai penghias
“Hmm.. ucapan kakek persis ucapan Ayah. Ayah pernah bilang
jika kita setulus hati memberikan yang terbaik, maka orang di sekitar kita pun
akan senang. Namun jika kita terpaksa dalam mengerjakan pekerjaan, maka..”
“Orang yang kita sayang belum tentu merasa senang. Iya
bukan?”
“Iya kek. Kenapa aku lupa dengan hal sepenting ini?
Baiklah, mulai sekarang aku tidak akan tergila-gila menerbitkan
dongeng-dongengku cuma karena ingin bersaing dengan Oliver itu. Aku ingin
membuat karya yang penuh ketulusan hati sehingga pembaca akan merasa bahagia.
Sama seperti Ayah dan Kakek Apel yang selalu membuatku bahagia. Terima kasih
Kakek! Kakek selalu bisa mengerti aku.”
“Nah, berusahalah Nak. Kakek yakin kamu pasti bisa!”
Aku dan kakek lalu berjalan bersama menelusuri jalan setapak
dan menuju dimana Ayahku serta orang-orang yang aku sayang berada. Warna senja
mulai menghiasi penjuru langit. Namun, semangatku masih secerah mentari di
siang hari.
Seminggu kemudian...
“Ayah lihat! Dongengku masuk majalah! Hore...” teriakku
saat membaca majalah Kota Applefield. Aku pun berlari menuju Ayahku yang sibuk
memetik buah anggur.
“Selamat Ya Chel. Itu bukti ketulusanmu menulis.”
“Terima kasih Ayah. Aku mau ke rumah Kakek Apel. Aku ingin
Kakek Apel membaca dongengku Yah!” ucapku penuh semangat.
“Kalau begitu, Ayah titip buah anggur ini ya. Tolong
berikan ini pada Kakek Apel. Bilang ini sebagai rasa terima kasih dari Ayah.”
Ucap Ayah dengan suaranya yang lembut lalu memberikan sekeranjang kecil anggur
padaku. “Jangan lupa kalau mau menyeberang jalan, minta tolong sama Pak Polisi
ya.”
“Tenang saja Yah, aku kan sudah kelas 5. Aku bisa
menyeberang sendiri kok! Ucapku penuh percaya diri.
Aku pun berlalu menuju ke rumah Kakek Apel yang berada di
seberang jalan tak jauh dari rumahku. Di sepanjang jalan, aku bisa melihat
beberapa penduduk Kota Applefield yang sedang membaca majalah yang sama dengan
yang aku pegang. Aku berharap mereka membaca dongeng karyaku. Dongeng itu
kubuat setulus hati bukan hanya demi diriku. Dongeng yang menceritakan kebaikan
seorang Kakek itu tercipta untuk seluruh penduduk Kota Applefield. Dongeng itu
aku tulis demi mengabadikan kebaikan seorang kakek berjanggut putih dan
bersuara serak yang melambaikan tangannya padaku saat aku berlari menuju ke
rumahnya.
Nice story izza :)
ReplyDeleteSesuai dengan reaksi yang Saya pilih. Keren.
ReplyDelete@hajarw : terima kasih hajar, kamu ikutan 30 hari bercerita gih... aku, fakhri, sama fatimah ikutan lho jar.. :D
ReplyDelete@Nurfaisyah : Terima kasih ya cha.. komenmu mendukung banget,.. :D