Malang, 22 November 2012
Tuhan...terima kasih karena Engkau
telah menurunkan hujan malam ini. Aku senang bisa bermain bersama hujan yang
turun dengan bersahabat. Aku senang dia menemaniku berjalan menyusuri jalan
demi jalan kecil yang sudah tak asing lagi bagiku. Air sucimu benar-benar
membuatku merasa tenang dan tidak sendiri.
Malam ini entah kenapa kedua kakiku
ingin segera beranjak dan mengajakku pergi meninggalkan dunia maya yang aku
cintai. Ah tidak hanya kakiku, perutku pun sepertinya meminta sesuatu untuk
dicerna. Ia memintaku membelikan sesuatu karena di peraduanku sudah tak ada
sisa makanan. Oke aku pergi dan akan menemukan sesuatu untuk dimakan lekas itu
aku kan kembali.
Aku berjalan di tengah rintiknya
hujan ketika cahaya-cahaya lampu bersinar di sana-sini. Udara dingin masih
setia menyelimutiku yang tertutup oleh jaket dan jilbab putihku. Tersirat di
benakku “Kemanakah aku akan pergi? Ah apa yang harus aku makan untuk malam ini?
Aku sedang tidak ingin makan nasi. Aku juga sedang tak ingin makan mie ayam
favoritku. Lalu apa? Mungkin makanan manis!”
Makanan manis apa yang aku cari?
Sudahlah, yang penting rasanya manis seperti gula pikirku sembari berjalan
melewati rumah-rumah dan warung-warung makanan dan minuman. Aspal yang aku
injak basah. Sensasi dingin terasa menjalar naik dari kaki ke bagian atas
tubuhku. Sesekali mata sang kuda besi menyorot ke arahku dan tubuhnya
melewatiku pelan. Kuda besi itu berlalu meninggalkan cipratan air di celana
hitam yang aku miliki sejak aku masih di bangku SMA. Tidak, aku tidak apa-apa.
Ku lanjutkan lagi perjalananku demi
menemukan penjual makanan manis. Aku masih berada di jalan yang dekat dengan
tempat tinggalku di Kota Bunga ini. Aku tak menemukan penjual makanan manis
sejauh apapun aku berjalan melewati jalan-jalan tersebut. Tapi, kakiku tak
terasa lelah, mataku belum merasa bosan memperhatikan pemandangan sekitar, telingku
tidak terganggu dengan suara tawa anak-anak yang sedang berkumpul bersama
keluarga mereka, dan aku masih ingin melanjutkan perjalananku.
Di tengah perjalananku, aku teringat
akan rumah penuh kenangan di pulau tetangga. Aku teringat saat-saat dimana
kedua orang tuaku disibukkan oleh air hujan yang menembus atap rumah kami. Ah
sungguh nostalgia. Meskipun sangat merepotkan, aku sangat merindukan saat-saat
itu. Apakah di sana juga hujan seperti di sini? Jika iya, apakah hujan di sana
mengingatkan mereka akan kenangan-kenangan masa lalu seperti yang aku alami? Ah
hujan! Sungguh Maha Besar Tuhan yang memberimu kekuatan istimewa seperti ini.
Ah aku sudah terlalu jauh berjalan.
Aku berada tidak jauh dari gerbang besi hitam besar yang aku lewati setiap
hari. Haruskah aku memutar balik? Hujan masih bersahabat denganku. Aku masih
ingin melihat yang lain lagi. Tapi, perutku tak mampu menunggu.
Aku berjalan melewati jalan yang
sama. Aspal yang basah, tanaman-tanaman dalam pot yang tertutup butiran-butiran
air hujan, lampu-lampu terang pinggir jalan, dan beberapa orang yang berlalu
lalang masih menghiasi jalan itu. Kemana aku harus mencari? Aku tak menemukan
makanan manis dimanapun? Begitu tersadar aku keluar dari jalan kecil. Aku
berada di jalan besar menakutkan. Haruskah aku melanjutkan pencarianku di jalan
besar ini?
Aku berjalan di pinggiran jalan yang
setiap saat bisa membunuhku. Aku ragu tapi aku harus mencari. Ah! Aku menemukannya!
Senyum lega itu sirna ketika aku tahu bahwa orang itu menjual gorengan bukan
makanan manis. Lelah mulai terasa di kakiku. Tapi hujan rintik masih
menemaniku. Ia menemaniku mencari.
Pandanganku teralihkan oleh tulisan “Terang Bulan”. Ah aku temukan makanan
manisku. Tapi, apakah aku harus menggadaikan nyawaku untuk mendapatkan jajanan
manis nan lezat yang selalu membuatku ingat akan rumahku nan jauh di seberang
pulau. Kuda-kuda besi itu pasti tak mau mempersilahkan aku untuk menyebrang
dengan aman dan membiarkanku mendapatkan
terang bulan. Tidak, aku takut. Aku tak mau kuda-kuda besi itu menghantam
tubuhku. Aku masih ingin berjalan di muka bumi. Aku masih ingin berjalan
ditemani sang hujan. Maaf perutku, makanan manis untukmu mungkin lain kali
saja.
Aku berjalan kembali melewati jalan kecil sepi nan damai. Dengan melipat
kedua tanganku yang kedinginan aku berusaha mencari tempat penjaja makanan yang
sesuai dengan seleraku malam ini. Wewangian sedap menggodaku untuk mengeluarkan
uang untuk membelinya. Wangi nasi goreng, ayam goreng, jamur goreng, dan sosis
goreng sempat buatku tak tahu harus memilih yang mana. Tidak, aku tidak ingin
makan mereka malam ini. Aku berjalan lagi hingga melewati rumah tempat
tinggalku. Dan aku sampai ke sebuah meja display yang memperlihatkan
potongan-potongan roti bundar, dan selada. Ada tulisan di sebuah kertas ukuran
A4 yang tertempel di dinding kaca meja display itu. “Burger Beef” ituah yang
tertulis. Ah ini bukan makanan yang familiar untukku. Tapi, apa salahnya
mencoba? Seorang wanita kurus berambut sangat pendek dan berkacamata menyapaku
hangat dan menanyakan burger mana yang mau aku pesan. “Beef Burger satu mbak!”
ucapku pada wanita dewasa itu. Pada akhirnya pilihanku jatuh pada “Beef Burger”
seharga Rp 5.500. Aku tak kecewa. Itulah yang terjadi. Apa yang aku cari tak
selalu harus aku temukan. Apa yang aku inginkan tak selalu harus tercapai. Sama
seperti pencarian makanan manis di tengah hujan malam ini yang pada akhirnya
berakhir di sebuah kios “Burger”.
Pukul 21.14 dimana penulis merasa lapar kembali setelah
menghabiskan sebundar “Beef Burger” berukuran sekepal tangan kecil si penulis.
Comments
Post a Comment