Malang, 24 Oktober 2012
This
time, I try to post one of my works. I don’t think it will be read by anyone
of you. But, it’s better than let it deceases in my laptop. This is my first
short story that I’ve posted in a certain website (i don’t know whether it
still exist or not).
This is
my first time posting short story in my blog. So, it feels uneasy for me. Okay...never
mind. Please enjoy your reading guys. o(^_^)o
Antara Ria Ian
“Ian,
cewek yang biasa duduk di situ gak ada!” ucap seorang pemuda bertubuh gempal
pada seorang temannya.
Temannya pun mulai memperhatikan
sekeliling taman tersebut. Ia terlihat seperti sedang mencari sesuatu atau
seseorang. Ia memperhatikan ke seluruh penjuru taman dengan seksama. Namun,
pada akhirnya ia tertunduk menatap sapu tangan putih yang ada di genggaman
tangan kanannya.
“Nggak ada ya? Sayang sekali padahal
aku mau balikin sapu tangan ini.” ucap lelaki muda berkacamata yang disapa Ian
ini dengan nada penyesalan.
“Besok pagi coba aja ke sini lagi,
mungkin dia di tempat yang sama lagi. Udahlah jangan sedih gitu. Cinta itu
harus diperjuangkan bro..”
“Aku gak yakin besok pagi dia bakal ke
sini lagi Dod. Dia kan pelukis. Mungkin dia udah bosen melukis di sini lagi.”
“Kalau belum dicoba kan kita nggak
tahu. Pokoknya besok pagi kita kesini lagi buat nemuin cewek itu. Aku temenin
kamu deh Ian. Aku sebenarnya penasaran cewek macam apa yang bikin kamu
klepek-klepek kayak gini.”
“Males aku ngomong sama kamu Dod!
Niatku tuh cuma balikin sapu tangan ini sama bilang terima kasih ke cewek itu
karena udah nolongin aku pas jatuh dari motor kemarin pagi. Aku gak sempet
bilang terima kasih soalnya dia keburu pergi.”
“Iyo Mas Bro, aku cuma bercanda. Yok
Muleh!”
Kedua pemuda itu pun pergi meninggalkan
taman. Sebelum pergi, pemuda bernama Ian memandangi taman dan sebuah bangku
antik yang terletak di pinggir taman. Pandangan matanya seakan menyiratkan
bahwa ia ingin bertemu gadis pemilik sapu tangan putih tersebut. Gadis berambut
pendek, berwajah bayi atau baby face, berkulit putih dan memakai topi rajutan
berwarna abu-abu. Iya, itulah gambaran gadis penolong yang masih diingat jelas
oleh Ian. Setelah beberapa saat akhirnya Ian pun pergi bersama Dodi dengan
perasaan kecewa.
Setelah mereka berdua pergi, gadis yang
penampilannya mirip dengan apa yang diingat oleh Ian muncul dan duduk di bangku
taman. Ia ditemani oleh sebuah buku sketsa dan kotak pensil. Beberapa orang
yang mengenalnya menyapa dan menanyakan kabarnya. Gadis manis itu hanya
tersenyum dan membuat gerakan-gerakan tangan dan jari-jemarinya. Beberapa orang
yang melihatnya pun tersenyum dan membalas gerakan tangannya dengan gerakan
tangan dan jemari pula. Gadis itu pun tersenyum kembali dan terlihat begitu
senang.
***
Keesokan paginya, kedua pemuda tersebut
kembali mengunjungi taman. Masih dalam misi yang sama yakni bertemu dengan si
gadis penolong Ian. Pada awalnya mereka tak tahu bahwa gadis itu selalu duduk
di bangku taman yang sama. Sebelumnya mereka kebingungan harus mencari dimana
gadis itu biasanya. Namun, seorang anak kecil yang sering bermain di taman
memberi tahu Ian bahwa gadis yang dicarinya selalu duduk dan menggambar di
tempat yang sama setiap pagi. Mengetahui hal tersebut, Ian merasa lega. Ia pun
berharap setidaknya ia bisa mengucap terima kasih dan mengembalikan sapu tangan
gadis itu ketika bertemu.
Beruntung, pagi itu si gadis penolong
Ian sedang duduk di bangku yang sama ditemai dengan buku sketsa dan kotak
pensil. Gadis itu terlihat sedang fokus menatap ke arah taman lalu kemudian
jari-jemarinya mulai menari bersama pensil di atas kertas buku sketsa. Sejenak
Ian memandangi gadis itu dari kejauhan. Entah kenapa Ia merasa tak asing dengan
wajah gadis itu. Temannya pun terheran-heran dengan sikap Ian.
“Woi, Ian! Bengong aja ni bocah. Tuh
cewek yang kamu cari ada di sana! Samperin aja!” ucap Dodo sembari mendorong
Ian menuju gadis itu.
“Apaan sih Dod? Bentar dulu! Aku
bingung musti ngomong apa ke dia. Apa gak usah aja kali ya?”
“Ya elah, apa musti aku yang ke sana
dulu? Kamu gak gentle bro!”
“Berisik ah! Udah kita pulang aja!” Ian
pun beranjak meninggalkan taman itu. Saat ia akan menaiki sepedanya, tiba-tiba
saja Dodo merebut sapu tangan putih yang sedari tadi berada di tangan Ian.
Setelah merebut sapu tangan tersebut, Dodo berlari ke arah gadis si pemilik
sapu tangan itu.
“Woi, Dod! Balikin tuh sapu tangan!”
teriak Ian dengan kerasnya.
Ia pun terburu-buru meletakkan sepeda gunung
kesayangannya lalu berlari mengejar Dodo. Namun terlambat, Dodo telah menemui
gadis itu. Tampak Dodo memperlihatkan sapu tangan putih kepada gadis itu dan
menunjuk ke arah Ian. Gadis itu pun menoleh ke arah Ian. Ia terlihat tersenyum
saat pandangannya tertuju pada Ian. Ian hanya mematung di tempatnya berdiri
yang tak jauh dari gadis itu. Melihat wajah manis gadis yang tersenyum itu, ia
terlihat sedikit terpesona. Ian pun melontarkan senyumnya pada gadis manis
penolongnya itu. Tanpa Ian sadari, Dodo sudah berada di sebelahnya sedari tadi.
“Wah, pangeran berkacamata kita rupanya
terpesona akan cantiknya si gadis pelukis. Ehem..!” ledek Dodo dengan sedikit
akting yang terlalu dibuat-buat. Ia pun menepuk pundak Ian beberapa kali. “Udah
samperin aja sana!”
“Kamu tadi ngomong apa aja sama dia?
Awas kalau kamu ketahuan ngomong yang jelek-jelek tentang aku!” ancam Ian
dibarengi dengan kepalan tangan kanannya.
“Wes.. sabar bro! Kalau mau tahu tanya
aja sama orangnya langsung! Udah sana!”
Dodo mendorong Ian menuju gadis itu
sekali lagi. Ian pun berjalan menuju gadis itu. Ian terlihat menoleh ka arah
Dodo beberapa kali. Ia terlihat seakan meminta Dodo untuk menemaninya. Dodo
hanya menggelengkan kepalanya dan melakukan gerakan tangan seakan ia sedang
mengusir seekor kucing. Saat ini, Ian tak memiliki pilihan lain selain menemui
gadis itu sendiri.
Gadis itu tepat berada di hadapan Ian
saat itu. Jarak mereka saat itu hanya satu meter. Saat gadis itu mengetahui
keberadaan Ian, ia pun menoleh ke arah pemuda itu. Nampak wajahnya yang manis
dan putih tersenyum kepada Ian. Ian hanya termangu menatap gadis yang selama
ini berada dalam gambaran-gambaran di kepalanya. Gadis itu masih terlihat sama
di hadapan Ian seperti saat pertama mereka bertemu di hari kecelakaan itu.
Gadis berkulit putih, berambut pendek, dan mengenakan topi rajutan berwarna
abu-abu. Ian tak bisa berkata apa-apa saat pandangan mereka bertemu. Untuk
beberapa saat, mereka berdua hanya terdiam dan saling menatap satu sama lain.
Melihat kejadian yang ada di hadapannya, Dodo menjadi sedikit kesal. Ia tak
berharap Ian hanya diam saja. Dodo menginginkan Ian mengajak gadis itu
berbicara. Dodo pun menelepon Ian yang sedari tadi mematung di depan gadis itu.
“Ha..Halo?” ucap Ian yang masih setia
memandangi gadis itu.
“Woi, jangan diem aja Ian! Ajak dia
ngomong! Kamu ini malah ngelamun!” teriak Dodo dengan kencangnya yang membuat
Ian kaget dan terbangun dari lamunannya.
“Ah kamu Dod, gak penting. Aku tutup
nih!” ucap Ian yang dengan segera mematikan ponsel miliknya.
Setelah menutup telepon dari Dodo, Ian
menyempatkan diri menarik napas panjang. Dengan penuh rasa percaya diri Ian
mencoba untuk mengajak gadis itu bicara.
“Kamu ingat sama aku nggak?” tanya Ian
kepada gadis itu. Suaranya terdengar bergetar dan seperti orang yang gugup.
Gadis itu hanya mengangguk dan
menunjukkan sapu tangan putihnya.
“Iya, aku cowok yang dulu kamu tolong
pake sapu tangan itu. Terima kasih ya sudah nolongin aku waktu kecelakann itu.
Ehm! Kalau boleh tahu nama kamu siapa?”
Gadis itu tak menjawab pertanyaan Ian.
Ia hanya menunjuk ke arah ujung kertas sketsanya. Rupanya di sana tertulis nama
panggilan si gadis itu.
“Oh, jadi nama kamu Ria. Namamu mirip
sama namaku. Namaku Rian tapi biasa dipanggil Ian. Kamu suka menggambar di
sini?”
Gadis bernama Ria tersebut tak menjawab
pertanyaan Ian. Ia hanya menggangguk lalu tertunduk memandangi gambar
buatannya.
“Kalau aku lihat, gambar buatanmu terlihat
bagus dan profesional. Wah kamu pasti berbakat sekali ya! Wah..” sanjung Ian
disambut dengan tawanya.
Gadis itu pun tersenyum mendengar
sanjungan Ian. Ria mempersilahkan Ian duduk di sebelahnya. Beberapa kali Ian mengajukan
pertanyaan kepada Ria. Namun, Ria hanya mengangguk jika jawabannya iya dan
menggelengkan kepalnya jika jawabannya tidak. Ian tidak menaruh curiga dengan
cara menjawab Ria. Ian mengira mungkin Ria terlalu gugup atau malu untuk
mengeluarkan suaranya. Namun, kebersamaan mereka tidak bertahan lama. Saat jam
lonceng taman berdentang 7 kali, Ria dengan terburu-buru mengemasi barang-barangnya.
Ian yang berada di sebelah Ria kebingungan dengan sikap Ria. Ian pun
mempertanyakan hal yang membuat Ria terburu-buru. Sempat terpikir olehnya jika
Ria masih anak SMA dan harus berangkat sekolah. Namun, hari itu adalah hari
minggu, hari libur untuk anak sekolahan. Lalu apa yang membuatnya terburu-buru?
Ian menanyakan hal itu, namun tak ada jawaban dari Ria.
Wajah Ria terlihat begitu cemas saat
waktu telah menunjukkan pukul 07.05 WIB. Setelah memberekan barang-barangnya,
Ria pun bergegas akan meninggalkan taman. Saat Ria hendak pergi, Ian memegang
lengan kanan Ria dan menanyakan perihal kepergiannya. Namun, Ria tak menjawab
dan ia berusaha melepaskan dirinya dari Ian sekuat tenaga. Ian masih tak
melepaskan tangannya dari Ria. Ia ingin mendapatkan jawaban dari Ria. Ria
memberontak dan berusaha melepaskan genggaman tangan Ian. Pada akhirnya,
genggaman tangan Ian terlepas. Tetapi, usaha Ria rupanya telah membuat benda
yang sangat penting baginya terjatuh. Ria bertambah panik saat mengetahui benda
itu tak ada. Ia mencari benda itu yang mungkin terbenam di dalam rimbunnya
rumput taman. Ian membantu Ria mencari benda itu walaupun ia tak tahu pasti
benda apa yang sebenarnya dicari oleh Ria. Saat sedang mencari, Ian menemukan
benda aneh yang terlihat seperti alat bantu untuk mendengar. Ian berpikir
jangan-jangan benda itulah yang dicari oleh Ria. Jika memang iya, berarti apa
yang ia dan Ria lalui hari ini mulai masuk akal. Ian pun menujukkan benda itu
pada Ria yang saat itu sibuk mencari di rimbunnya rumput.
“Ini yang kamu cari?” tanya Ian dengan
nada suara rendah sembari menunjukkan alat bantu itu kepada Ria.
Begitu melihat benda itu, Ria terlihat
kaget lalu menundukkan kepalanya. Ia pun mengangguk pertanda bahwa iya itu
adalah miliknya.
Ian menatap Ria lalu tersenyum
kepadanya. “Benda ini sangat berharga. Kamu jangan sampai menghilangkannya lagi
ya.” Ia pun meraih tangan kanan Ria lalu menaruh benda itu di telapak
tangannya.
Ria hanya tertunduk dan sempat
menitikkan air matanya. Setelah menerima alat pendengarnya, Ria pun memasang
alat itu di telinga kanannya.
“Maaf ya, soal sikapku tadi. Aku bener-bener
merasa bersalah.” ucap Ian dengan penuh rasa penyesalan. Ian lalu menyeka air
mata Ria dengan sapu tangan putih milik gadis itu yang tertinggal di bangku
taman.
Ria pun tersenyum dan menggelengkan
kepalanya. Ia pun lalu menggerakkan tangan dan jari-jemarinya seakan memberikan
kode kepada Ian. Saat melihat gerakan jari jemari Ria, Ian teringat akan kode
yang sama yang pernah dilihatnya. Gerakan itu sama seperti gerakan gadis kecil
yang sering muncul dalam ingatannya. Bayangan-bayangan masa lalu yang telah
dilupakannya merasuk kembali ke dalam kepalanya. Saat teringat akan hal itu,
Ian merasakan sedikit sakit di kepalanya. Bayangan-bayangan masa lalunya yang
bagaikan puzzle semakin terlihat jelas. Sosok gadis kecil itu pun semakin
terbayang oleh Ian. Sosok gadis berusia 7 tahun yang entah siapa. Entah kenapa
saat melihat sosok Ria, Ian teringat akan gadis itu.
Ria terlihat sangat khawatir dengan
kondisi Ian. Ia pun menatap Ian dengan pandangan yang menyiratkan sebuah
pertanyaan apakah Ian baik-baik saja.
“Aku nggak apa-apa. Kepalaku cuma agak
pusing. Mungkin gara-gara kurang tidur. Hehe gak usah khawatir.” ucap Ian
kepada Ria. Ian lalu melepas kacamatanya dan mengusap-usap kedua matanya.
Saat melihat wajah Ian tanpa kacamata,
Ria merasa bahwa wajah itu nampak tak begitu asing baginya. Ia seperti pernah
melihat wajah itu sebelumnya. Tetapi, ia tak bisa mengingat dengan jelas
dimanakah ia melihat wajah Ian.
“Lho, kamu bukannya mau pergi Ri? Gak
pa pa nih?” tanya Ian pada Ria.
Ria hanya menggelengkan kepala dan
tersenyum. Ia lalu menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan
kirinya sejenak. Dengan ekspresi wajah yang tenang, ia menatap Ian kembali.
Ekspresi wajahnya seakan berkata bahwa ia tidak apa-apa.
Saat mereka sedang duduk berdua di
bangku taman tempat biasa Ria menggambar. Tiba-tiba saja ada seorang wanita
paruh baya yang terlihat tergesa-gesa menuju ke arah mereka. Melihat wanita
itu, Ria terlihat gelisah. Ian yang masih merasa sedikit pusing tidak menaruh
perhatian pada kedatangan wanita tersebut.
“Ria! Kamu kok masih di sini? Kenapa
nggak pulang sih?! Cowok itu siapa?” ucap seorang wanita paruh baya dengan nada
panik. “Kamu kan sudah tahu kalau udah jam 7 kamu harus pulang! Kamu bikin
bapak khawatir Ri!”
Ria menggerakkan tangan dan jemarinya
kepada wanita itu. Ia memberikan kode yang artinya tidak diketahui oleh Ian.
“Gimana Bapak sama Ibu nggak khawatir
Ri? Kamu masih di sini sampai jam segini udah gitu sama cowok lagi. Dia siapa? Temen
kamu?”
Mendengar ucapan wanita itu, sontak Ian
berdiri dan menyalami tangan kanan wanita itu. “Ah kenalin tante, nama saya Ian.
Ria pernah nolongin saya waktu saya kecelakaan. Jadi saya ke sini mau bilang
terima kasih sama balikin sapu tangannya.” ucap Ian kepada wanita paruh baya
itu yang ternyata adalah Ibu dari Ria.
“Oalah, kamu ta yang ditolong Ria waktu
itu. Ria udah cerita sama saya. Gimana? kamu nggak apa-apa?” tanya wanita itu
dengan nada bicara lebih halus yang jauh berbeda dengan nada bicaranya yang
sebelumnya.
“Alhamdulillah udah sehat kok tante.
Untung aja Ria sempet nolongin saya waktu itu.”
Saat Ian sedang bicara, wanita tersebut
tak henti-hentinya memperhatikan wajah Ian. Ia memperhatikan Ian dengan seksama
dari atas sampai bawah. Ian sedikit merasa aneh dengan apa yang dilakukan oleh
wanita itu.
“Kamu jangan-jangan Ian anaknya Pak
Arif Rahman ya?” tanya wanita itu pada Ian.
“Kok tante tahu sama bapak saya? Tante
kenal ya?” tanya Ian dengan penuh rasa penasaran.
“Masyaallah, Ian! Ini kamu? Ini beneran
Ian yang dulu sering main sama Sarah? Kamu masih hidup ternyata nak. Terakhir
saya denger kabar, kalau kamu di Jakarta.” ucap wanita itu. Wanita itu lalu
memeluk Ian yang agak kebingungan dengan penjelasan dari wanita itu. “Kamu
tinggal dimana sekarang nak?” pertanyaan lain muncul dari wanita itu.
“Maaf tante, tante kenapa bisa tahu
soal saya dan keluarga saya? Tante siapa? Saya merasa tidak pernah bertemu
tante sebelumnya.”
“Kamu nggak inget? Saya dulu tetangga
kamu Ian. Kamu sering main ke rumah saya. Kamu juga sering main sama Sarah
saudara kembar Ria. Tapi, Sarah dan Neneknya meninggal karena kebakaran di
pusat perbelanjaan. Kamu inget Sarah kan? Dia sama seperti Ria.”
Masih dalam keadaan bingung, Ian
mencoba mengingat-ingat nama Sarah. “Sarah? Jadi gadis kecil itu Sarah? Dia
sudah meninggal?”
“Iya, Sarah dan Ria adalah saudara
kembar. Tetapi mereka berdua tinggal terpisah, Sarah tinggal sama saya dan
neneknya, sedangkan waktu itu Ria tinggal sama Bapaknya di Bandung. Karena
kesehatan Ibu saya, dengan ijin suami saya, saya dan Sarah tinggal di rumah Ibu
saya dan menjadi tetangga kamu. Tetapi, Sarah dan Neneknya menjadi korbah
kebakaran saat mereka mengunjungi Mall. Kamu sedih sekali waktu kamu tahu Sarah
sudah meninggal. Kamu kabur dari rumah lalu mengalami kecelakaan. Bapak dan Ibu
kamu lalu membawamu ke Jakarta untuk menjalani pengobatan. Saya nggak menyangka
kalau kamu lupa sama ingatan kamu sendiri.” ucap wanita itu dengan nada bicara
yang bergetar. Ria datang menghampiri wanita yang juga ibunya tersebut. Ia pun
memeluk ibunya yang menangis akibat teringat akan kenangannya bersama Sarah.
“Jadi, dulu saya dan Sarah berteman
baik tante? Maaf tante saya nggak bisa ingat dengan jelas.”
“Kalian berdua sangat akrab. Kamu
sering menemani Sarah berlatih piano. Kamu juga selalu mendukung Sarah sebelum
mengikuti kompetisi. Kamu tidak mempermasalahkan diri Sarah yang cacat secara
fisik. Kamu tetep menjadi temennya walaupun ia sama sekali tidak bisa bicara.”
cerita wanita itu lagi dengan nada suara yang makin bergetar akibat ia tidak
bisa menahan rasa sedihnya.
“Saya bener-bener minta maaf tante,
saya tidak bisa ingat kenangan saya dengan Sarah. Maaf.” Ian merasa sangat
bersalah karena tidak bisa mengingat apapun tentang dirinya dan Sarah. Ia hanya
bisa meminta maaf kepada wanita itu, karena ia telah membuat wanita itu
mengingat kembali kenangan sedih tentang anaknya yang telah tiada.
“Saya bersyukur bisa ketemu lagi sama
kamu nak. Walaupun kamu lupa kenangan akan Sarah, tetapi sikap dan perilaku
kamu masih tetap sama seperti dulu. Kamu punya hati yang tulus untuk menerima
seseorang yang tidak sempurna secara fisik. Ria sama dengan Sarah. Ia tidak
bisa berbicara bahkan untuk mendengar pun sangat sulit baginya. Tetapi, kamu
mau bersikap baik padanya. Kamu anak yang baik Ian. Terima kasih.”
Mendengar ucapan wanita itu, Ian
tersenyum lalu berkata “Tidak ada alasan bagi saya untuk memperlakukan
orang-orang seperti Ria dan Sarah secara buruk tante. Mereka juga manusia ciptaan
Tuhan sama seperti saya. Ria meskipun berbeda dari saya, tetapi ia tetap
istimewa. Ria sangat jenius dalam menggambar. Begitu pula dengan Sarah, Sarah
pasti sangat pintar bermain piano. Walaupun mereka memiliki kekurangan, tetapi
mereka pasti memiliki kelebihan yang nggak semua manusia miliki. Saya justru
merasa mereka sempurna tante.”
Wanita itu menitikkan air mata setelah
mendengar ucapan Ian yang begitu menggugah perasaanya. Ria memeluk ibunya makin
erat dan erat. Ian pun tersenyum melihat kedekatan ibu dan anak tersebut. Ia merasa
bahwa wanita itu pasti menahan beban yang berat dalam membesarkan kedua putrinya
yang “istimewa”.
Ria yang sempat mendengar ucapan Ian,
tersenyum pada Ian. Ian pun terlihat malu saat melihat senyuman Ria yang begitu
manis. Melihat wajah Ian yang memerah, Ria teringat akan wajah yang sama yang
pernah dilihatnya dulu. Ria teringat akan foto anak laki-laki berusia 7 tahun
yang wajahnya merah karena malu ketika difoto. Foto itu ditunjukkan kepadanya
oleh kakak kembarnya yakni Sarah. Begitu menyadari bahwa anak laki-laki itu
adalah Ian, Ria tersenyum lebar. Ia tak pernah menyangka akan bertemu sosok
anak lelaki baik hati yang pernah menjadi teman baik kakaknya semasa ia hidup.
nice short story. keren bangat deh!keep it up!
ReplyDeleteThank you ieyka :) Seneng deh baca komentarmu :D
ReplyDelete