Hai semua! Izza kembali! Aku menulis ini pada tanggal 15 September 2024 yang mana berarti aku sudah berada di Amerika Serikat tepat selama satu bulan lamanya. Wah ingin rasanya aku berkata Time flies atau Gak terasa ya sudah sebulan. Tapi nyatanya, semua amat terasa. Aku merasakan tiap putaran waktu, tiap pergantian hari, tiap berkurangnya uang saku, dan tiap pergantian warna dedaunan di pepohonan yang aku lewati setiap hari.
Setelah sebulan menjalani kehidupan baru ku sebagai Fulbright FLTA Indonesia di Indiana University Bloomington, aku merasakan ada banyak hal yang menyenangkan bagi diriku sendiri. Seperti yang sudah aku bahas sebelumnya bahwa aku bertemu dan berteman dengan banyak orang baru dari berbagai latar belakang, mendapatkan ilmu baru, dan mengunjungi acara serta tempat-tempat menarik. Di beberapa kesempatan aku bahkan berhasil mewujudkan impian masa kecil ku seperti menonton konser musik klasik dan mengunjungi salah satu kota besar di Amerika Serikat.
my very first classical music concert |
what a dream come true |
Monument Circle Indianapolis |
Indianapolis |
Selain mencoba hal-hal baru dan membuai hati yang berkaitan dengan profesi ku sebagai pengajar Bahasa Indonesia, aku juga harus beradaptasi dengan banyak sekali kejutan terutama yang berkaitan dengan cara bertahan hidup di Amerika Serikat. Nah ini nih yang sangat menantang dan agak pusing juga dibuatnya. Kalau kalian sering melihat di sosial media seperti mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri dengan modal beasiswa lalu jadi semacam influencer dengan postingan jalan-jalan ke sana-sini mungkin kesannya kayak wah enak banget ya bisa jalan-jalan di luar negeri dengan gratis. Itu yang bagus-bagus aja yang mereka posting di akun Instagram mereka yang estetik atau akun TikTok dengan ribuan pengikut. Iya gak salah sih. Kan posting yang seperti itu bisa meningkatkan personal branding. Asal jangan ego aja yang naik.
Sebenarnya untuk hidup sebagai mahasiswa bermodalkan beasiswa dari beberapa sponsor itu tantangannya luar biasa. Ada yang bikin geleng-geleng kepala bahkan air mata tumpah ruah. Banyak hal di luar persiapan dan ekspektasi terjadi. Banyak yang bikin beberapa orang termasuk aku merasa kayak kok gak ada yang ngasih tahu aku soal ini sebelum aku berangkat? Kalau ada suka pasti ada duka. Kalau ada postingan foto estetik dengan background kampus top luar negeri pasti ada hal sedih atau mengecewakan yang bisa saja disembunyikan.
Sampai saat ini aku menjadi pengajar Bahasa Indonesia di Indiana University Bloomington dan tinggal satu atap dengan 4 FLTA lainnya Alhamdulillah aku tidak menemukan hal-hal yang mengganggu ku. Di tulisan ku sebelumnya aku bercerita bahwa aku selalu dipertemukan dengan orang-orang baik, aku diperlakukan dengan amat kekeluargaan bahkan oleh orang asing sekali pun, akses untuk ini itu dipermudah, dan aku merasa aman selama tidak pulang kemalaman atau pergi sendiri terlalu jauh. Sejauh ini, tidak ada keluhan yang berarti dari aku pribadi. Namun, aku sempat mendengar cerita yang bertolak belakang dengan apa yang aku alami dari rekan-rekan FLTA yang lain. Sayangnya, aku tidak memiliki hak untuk membagikan cerita tersebut jadi mungkin kisah mereka akan mereka bagikan sendiri di kesempatan lain. Justru tantangan aku rasakan ketika aku harus menjaga pola makan dan jenis makanan yang aku konsumsi.
Di Amerika Serikat pada umumnya bahan makanan lebih banyak dijual di supermarket besar. Kalau pun ada toko kelontong biasanya produk yang tersedia kurang bervariasi dan bahkan bisa saja harganya lebih mahal. Makanan dengan label halal susah ditemukan. Semua produk daging serta olahannya sudah masuk mesin pendingin. Sayuran dan buah untungnya dalam kondisi segar. Lalu ini yang agak membuat aku kurang nyaman. Makanan manis luar biasa banyak dan rak untuk mereka gede-gede pula. Ya wajar aja obesitas dan diabetes jadi masalah kesehatan yang paling sering ditemukan di Amerika Serikat karena akses untuk makanan manis dan cepat saji sangat terjangkau.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Sudah jelas aku tidak bisa mengikuti kebiasaanku sehari-hari saat aku tinggal di Indonesia. Jadi mau tidak mau aku harus beradaptasi dengan kebiasaan dan gaya hidup orang Amerika. Aku belanja kebutuhan sehari-hari seminggu sekali di supermarket Kroger yang jaraknya dekat dari rumah. Aku biasa jalan kaki atau naik bis kota untuk pulang pergi belanja. Alhamdulillah karena aku memiliki Crimson Card aku bisa menikmati fasilitas bis kota secara gratis. Aku selalu membeli bahan makanan pokok seperti sekantong atau dua kantong beras ukuran 1 kg, satu lusin telur, satu bungkus sosis ayam (perhatikan ingredients-nya ya kawan-kawan), satu bungkus roti tawar, satu sisir pisang, sayur mayur seperti bayam dan jagung, kadang makanan ringan seperti keripik kentang Lays ukuran jumbo.
Jujur saja aku tidak suka menyetok makanan dalam kurun waktu lebih dari satu minggu karena aku pikir kadar gizinya sudah pasti sudah banyak menguap atau bahan makanan itu sudah dalam kondisi kurang baik atau kadaluwarsa. Aku juga selalu berusaha menerapkan gaya hidup berkelanjutan walaupun tak sempurna. Untuk masalah air minum aku tidak perlu khawatir. Di Bloomington, air keran bisa diminum. Di kampus juga disediakan water fountain. Jadi aku hanya perlu membawa botol minum lalu mengisi ulang kapan saja aku butuh. Aku tidak mau membuang-buang makanan. To me, food waste is dumb! Oleh karena itu, aku selalu membeli bahan makanan yang sudah pasti akan aku konsumsi. Walaupun, aku tidak suka memasak (sadly, I don’t find joy in cooking) tetapi selama makanan sederhana yang ku masak bisa dikonsumsi, halal, dan memenuhi kebutuhanku aku bisa makan apa saja. Untungnya, kebiasaanku ini memiliki dampak positif. Aku bisa menjaga kesehatanku karena aku selalu memastikan kadar gizi setiap makanan yang aku konsumsi dan tentunya menghemat pengeluaran. Selain itu, di kampus sering diadakan kegiatan yang menyediakan makanan gratis. Ini salah satu opsi penghematan dana untuk makanan.
Perihal keuangan, InsyaAllah aku bisa memastikan bahwa uang saku yang aku terima setiap bulan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan ditabung tentunya dengan berbagai perhitungan dan catatan. Dibandingkan dengan rekan-rekan FLTA di negara bagian lain, uang saku yang aku terima tidak “sebesar” yang mereka terima. Jadi bagaimana aku mengaturnya? Sebenarnya mudah saja. Satu, aku menghindari makan di luar. Dua, aku tidak membeli barang yang tidak aku butuhkan. Dua hal ini sebenarnya kebiasaanku selama aku tinggal di Indonesia. Aku selalu mencari pilihan dan alternatif lain selain membeli. Mengenai makan di luar, aku hanya melakukannya saat ada event keluarga dan pertemanan. Beli starbucks tiap hari? Big No! Selain pemborosan aku juga masih memboikot mereka. Toh bisa menyeduh kopi asli Indonesia di rumah dengan bubuk kopi yang aku bawa. Kualitas lebih terjamin dan rasa juga lebih enak.
Hidup di Amerika Serikat dengan sumber keuangan dari beasiswa memiliki tantangannya sendiri. Jangan dikira aku bisa jalan-jalan ke sana-sini lalu posting foto-foto atau reels estetik terus-terusan. Sekali lagi, itu hanya yang bagus-bagus saja. Banyak hal dibalik foto-foto kampus megah, gedung klasik dan perkotaan mewah itu yang belum terekspos. Masalah keuangan, birokrasi dengan universitas, beban belajar dan mengajar, ibadah, makanan, ekspektasi yang runtuh, belum lagi homesickness bisa saja dialami oleh beberapa mahasiswa dan pengajar di sini. Bisa saja mereka memposting foto-foto tersebut untuk menghibur diri supaya beban di kepala dan hati terangkat. Bisa saja mereka sedang berusaha memberi kabar pada keluarga mereka bahwa mereka baik-baik saja supaya keluarga yang ditinggalkan tidak khawatir walaupun sebenarnya ada banyak hal yang berkecamuk di hati dan kepala. Ya tapi ada juga sih yang melakukan hal itu demi keuntungan pribadi dan menaikkan ego. Ya sudahlah setiap orang memiliki tujuannya masing-masing. Mari kita bersama-sama bijak dalam menggunakan teknologi dan sosial media untuk kebaikan diri kita sendiri dan orang lain.
Semoga tulisan ini bisa memberi kalian sedikit banyak perspektif kehidupan seorang pengajar Bahasa Indonesia di Amerika Serikat. Semoga bagi kalian yang sedang mempersiapkan diri untuk merantau ke negeri Paman Sam mendapat gambaran seperti apa yang akan kalian hadapi nanti. Ini semua berdasarkan pengalamanku pribadi selama sebulan aku tinggal di Bloomington, Indiana. Ceritaku pastinya akan berbeda dengan rekan FLTA lain jadi jangan kaget kalau apa yang aku ceritakan tidak relevan ketika kalian mendengar cerita dari mahasiswa dan pengajar lain yang juga tinggal di Amerika Serikat. Silakan mengikuti blog ini jika kalian tertarik membaca tulisan-tulisan sederhana aku mengenai suka duka menjadi FLTA di Indiana University Bloominton. Jika kalian berminat bisa ikuti aku di akun Instagram @zaturania untuk versi visual dari blog ini. Sampai jumpa!
Semangat terus kak izza
ReplyDelete